18. Lebih Dekat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Deers, gimana puasanya hari ini? Semoga lancar. Hari Rabu, aku up Bisma dan Kirana yak. Semoga  terhibur dan jangan lupa vote n komennya.

💕💕💕

"Mas, Mas …." Kirana menepuk pipi Bisma yang mengigau tak jelas dalam tidurnya.

Setelah mendapat tepukan terakhir yang cukup keras, mata terpejam Bisma membuka lebar. Napas lelaki itu tersengal dengan dada kembang kempis dan peluh dingin memenuhi wajah.

"Mas?" panggil Kirana lirih. Dia tak bisa menyembunyikan cemasnya.

"Ki-Kiran?" Mata Bisma memicing. Lelaki itu mengangkat tangan dan mengelus pipi wanita di depannya.

Begitu yakin di depannya adalah Kirana, Bisma memutar badan. Disekanya pelan mata yang terasa basah lebih dahulu dan kemudian dia menegakkan tubuh sambil berbalik menghadap Kirana.

Dengan kepalan tangan di depan mulut, Bisma berdeham untuk mengusir rasa kikuk. "Kok bisa di sini?"

Kirana membuang wajah. Pipinya memerah. "Kata Mas Sangka, Mas sakit. Aku … disuruh Papa ke sini." Kirana memelintir kebenaran. Entah kenapa lidahnya menggetarkan kebohongan karena tadi Papa tidak mengatakan apapun. Dia berdecak kesal. Setelah berani melakukan dosa zinah, dia kini sering menjadi pembohong.

Namun, Kirana memilih memutar kebenaran. Dia tidak ingin Bisma besar kepala menganggap Kirana terlalu mencemaskan lelaki itu.

Bisma mengangguk. "Aku nggak pa-pa. Nggak usah repot." Dia menyibak selimut dan menurunkan kaki, untuk duduk di tepi ranjang di sebelah Kirana.

Hati Kirana tercubit. Apakah Bisma tidak menginginkannya datang? Sudah dua hari pula, dia tidak pulang, seolah menghindari Kirana.

"Aku sekarang istri Mas. Udah sewajarnya kan Papa nyuruh nyari tahu di mana Mas. Dua hari Mas nggak kasih kabar dan nggak pulang. Papa sampai cemas nungguin Mas pulang. Apa susah sih ngasih kabar kalau Mas nggak nyaman badannya dan mau istirahat di kos Mas Sangka?" Entah kenapa Kirana menyemburkan kalimat panjang dengan nada tinggi dalam satu embusan napas. Dia kesal karena Bisma tiba-tiba menghilang setelah mereka menikah. Walau pernikahan mereka bukan pernikahan normal, tapi setidaknya dia ingin menjalani pernikahan seperti pasangan lain, selain pelayanan di ranjang, tentunya. Kirana masih belum berani membuka diri karena merasa malu sudah tidak lagi suci di hadapan Bisma. Selain itu dia tidak ingin menjadi pelampiasan nafsu laki-laki tanpa adanya cinta.

Bisma mengerjap. Begitu juga Sangka yang sedang membuat tugas, menoleh menatap Kirana. Menyadari reaksinya yang berlebihan, Kirana  memalingkan wajahnya yang memerah.

"Sori … aku nggak pengin Papa cemas. Mas udah dianggep kaya anak sendiri, karena Dik Adit sejak masuk Seminari Menengah udah keluar dari rumah. Beliau berasa punya anak laki-laki … sulung." Kirana berusaha memberi alibi yang paling masuk akal.

Namun, Bisma justru tersenyum, menanggapi alasan Kirana.

Kirana terkesiap. Baru Kirana sadari lesung pipi Bisma lebih dalam dibanding Bima. Selama ini dia tidak pernah mencermati wajah Bisma sedekat ini.

Lelaki itu lalu mengelus rambut Kirana dengan lembut hingga membuat Kirana salah tingkah. Senyum Bisma yang menyerupai Bima mampu menyibak rindu yang bergelayut di dada.

Tak ingin larut dalam rasa yang aneh, dia menepis tangan Bisma dengan kasar. Wajahnya kini semakin panas. "Apaan sih?"

Bisma menarik tangannya, mendapati penolakan Kirana.

Detik berikutnya mereka sama-sama membisu. Kirana memilih menghindari Bisma yang masih memaku pandang padanya. Dari ekor matanya, Kirana mendapati bayangan Bisma dari cermin lemari, mengulum senyum misterius.

Dehaman Sangka mendistraksi kedua. "Cie, yang pengantin baru. Sok-sok malu-malu. Beruntung banget kamu, Tayo."

"Tayo, Tayo!" Bisma melempar guling ke wajah Sangka.

Kirana terkikik. Tangan kanannya membekap mulut untuk meredam tawa. Tingkah dua sahabat itu mirip anak-anak. Berbeda dengan Bima yang mungkin tidak punya teman akrab karena cenderung diam, kutu buku, dan susah diajak jalan.

"Kamu akhirnya ketawa lagi …." Bisma menatap Kirana dengan intens. Senyum miringnya terbit menampakkan wajah yang sangat mirip kembarannya.

Tawa Kirana terjeda. Dia mengerjap dan menurunkan tangan yang menutup mulut. Dia baru menyadari, sejak kepergian Bima, tawanya lenyap. Entah kenapa, saat dia bisa tertawa lagi, ganjalan di hatinya luruh.

"Kamu lebih manis kalau ketawa gitu. Pantas Bima suka."

Kirana mendengkus untuk menyembunyikan canggung. Dia tak bisa menangkap maksud Bisma. Apakah laki-laki itu memuji atau sekedar basa-basi menggodanya seperti biasa?

"Ran, dua hari nggak ketemu, kamu kelihatan segeran," ujar Bisma.

Kirana menepuk pipinya. "Oh, ya? Emang dua hari ini, nafsu makanku udah pulih."

"Tuh kan? Apa aku bilang! Kayanya kamu yang gantiin morning sickness-nya Kiran. Kamu kena couvade syndrome, tuh," sahut Sangka.

"Couvade syndrome?" Kirana mengernyit. Dia belum pernah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Sangka.

"Yup. Kehamilan simpatik. Mungkin karena Bisma ikut merasakan yang kamu alamin, dia pun ngerasa hal yang sama seperti bumil. Kalau analisisku, bisa jadi juga, dia stress. Dapet istri langsung hamil. Dia bakal jadi bapak di saat dia harus fokus sekolah," terang Sangka.

Kirana menatap Bisma yang kini memalingkan wajahnya memerah. Apa benar Bisma seolah mengambil bebannya sehingga Kirana merasa ringan akhir-akhir ini? Dia menggeleng. Pasti karena kemungkinan kedua. Mengambil istri hamil pasti tidak mudah buat Bisma.

"Ish, mana ada? Udah dibilang, aku kan cuma kecapekan!" sanggah Bisma.

Dalam hati Kirana membenarkan ucapan Bisma karena tidak ingin terlalu kegeeran. Siapa Kirana di mata Bisma? Dia hanyalah pengganggu yang tiba-tiba datang dalam hidup Bisma, hingga membuat lelaki itu harus ikut bertanggung jawab atas dosa yang tidak dia buat.

Tak ingin berpikir terlalu jauh, Kirana lalu buru-buru bangkit. "Kayanya Mas Bisma udah sembuh. Kalau gitu aku pulang."

Namun, saat tungkai Kirana akan mengayun, pergelangan tangannya ditahan Bisma. Kirana menoleh, menatap Bisma yang masih duduk di ranjang dengan dua alis terangkat. "Apa?"

"Aku temenin keluar." Bisma lalu bangkit dan masih menggandeng Kirana berjalan menuju halaman.

Tangan Bisma yang hangat, merambatkan kehangatan di batin Kirana. Dia menatap tangan yang akhir-akhir ini selalu menggandengnya. Yang berbeda dari tangan itu sekarang, di jari manisnya sudah tersemat cincin yang tertoreh namanya.

Angin malam menyambut keduanya saat mereka keluar dari kamar. Suasana kos-kosan laki-laki itu cukup sunyi, menandakan penghuninya sudah terlelap. Kirana langsung masuk ke mobil, sementara Bisma membuka gerbang. Setelah pagar terbuka, Kirana memundurkan mobil perlahan.

Saat melalui Bisma, lelaki itu mengetuk jendela mobil. Kirana menginjal pedal rem, hingga roda tak lagi berputar. "Apa?" tanya Kirana setelah menurunkan kaca jendela.

"Makasih udah datang. Ati-ati ya …." Bisma tersenyum manis di wajah pucatnya.

Kirana mendengkus. Dia menjawab seolah tak peduli. "Ya."

"Besok … aku bakal sempetin ngabarin kamu. Maklum selama ini jomlo, cuma Mami yang neror. Aku hampir lupa kalau udah punya … istri."

Hati Kirana berdesir. Sepertinya Bisma menangkap maksud ucapan spontannya tadi. "Santai. Usahain ngabarin Papa."

Bisma mengangguk, lalu melambaikan tangan saat mobil keluar dari halaman dan menembus kelamnya malam kota Solo.

***

Keesokan paginya, selama Bisma visit dan mengikuti morning report, dia tak berhenti tersenyum. Entah kenapa kedatangan Kirana semalam seolah memberi amunisi semangat. Bahkan saat dia mengalami muntah-muntah pun, Bisma tak lagi merasa lemas seperti kemarin seolah dia ikhlas bila harus menanggung beban Kirana.

"Bro, aku perhatiin kamu happy banget. Kenapa?"

Bisma mengulum senyum sambil melirik Sangka. "Oh, ya?"

"Karena Kirana, ya?"

Bisma kini menarik bibirnya lebih lebar. Dia menatap lorong rumah sakit yang menjadi rumah keduanya. "Mungkin …."

"Aku perhatiin, kayanya kamu suka sama Kirana sudah lama?"

Langkah Bisma tertahan. Bila Sangka sudah berada di mode menyelidik, dia tak akan bisa berkutik. "Apa kelihatannya kaya gitu?"

"Iya! Nggak mungkin tiba-tiba kamu mau nikahin Kirana. Dan penolakan awalmu kemarin, bukan bentuk penolakan, tapi lebih pada … kecewa mungkin?" Sangka memberi tebakan.

Bisma mendesah panjang. Senyuman miris tergambar di wajah. "Suka? Iya … aku emang suka Kirana. Tapi, dia suka Bima. Puas?!" Bisma memelotot.

"Bro …." Sangka menatap sendu Bisma ketika melihat sorot mata yang membuka lebar itu terpancar luka.

"Aku bisa apa? Bima udah nggak ada dan ninggalin Kirana dalam keadaan hamil. Aku marah! Marah sama Bima … kecewa sama Kirana." Bisma mengayunkan langkah kembali.

"Bima tahu kamu suka Kirana?" tanya Sangka penasaran. Selama ini Bisma dikenal sebagai cowok cool yang tidak dekat dengan perempuan manapun setelah putus dengan Keira. Namun, di balik itu, dia menyimpan rasa pada tunangan kembarannya.

"Sori. Aku nggak mau ngomongin itu."

"Sori …." Sangka menepuk pundak Bisma. "Kita makan dulu yuk sebelum ke poli."

Bisma menyetujui ajakan Sangka. Setidaknya sahabatnya itu tidak membahas lagi tentang perasaannya pada Kirana. Perasaan yang menyakitkan karena harus mengalah dan memendam rasa.

Mengingat pesan Kirana, sambil berjalan menuju foodcourt, Bisma merogoh gawainya dan menghubungi nomor Kirana. Sungguh, rasanya aneh menyapa seseorang di hari yang sibuk. Selama ini dia sering melihat Sangka sekedar say hello ke pacarnya. Beberapa teman dan seniornya juga sering kali berbuat demikian di sela kesibukan mereka. Karena status jomlonya, membuat Bisma tak terbiasa untuk menelepon atau hanya untuk mengirim pesan karena selama ini hanya Mami yang meneleponnya.

Jantung Bisma berdetak kencang ketika nada sambung menabuh gendang telinganya. Seketika keriuhan panggilan di pendaftaran tak terdengar karena fokusnya tertuju pada bunyi 'tut' teratur dari speaker handphone-nya.

Begitu suara Kirana terdengar, hati Bisma seolah lumer. Rasa penat, berganti semangat. Inikah rasanya tak memendam cinta? Biasanya dia didera kerinduan dan hanya bisa gigit jari melihat Kirana tertawa di samping Bima. Ya, sebelum pada akhirnya dia melepaskan rasa dan memilih Keira sebelum putus yang terakhir.

"Mas? Hallo??"

Bisma terkesiap mendengar suara Kirana menyapa. Padahal hanya menelepon istrinya dan ia seperti seorang abg yang lagi pdkt sama gebetan.

"Ah … iya. Sori ganggu." Suara Bisma bergetar. Sosok jailnya lenyap, menguap entah ke mana. Dia benci gagu seperti ini. Lebih baik dia bersikap iseng sehingga bisa deket dengan Kirana daripada lidahnya kaku susah menggetarkan kata.

"Ng-nggak. Ini juga mau otw audit ke kecamatan Banjarsari. Ada apa?"

Suara merdu Kirana mendatangkan desir di hati. Bisma menggigit sudut bibir bawahnya untuk menahan senyum yang melebar. "Ehm … ng-nggak pa-pa. Cuma mau ngabarin, hari ini aku pulang cepet. Badanku dah nyaman. Kamu … masih morning sickness?"

"Nggak sih. Udah lebih nyaman."

.

.

.

Sejenak mereka membisu. Hanya embusan napas Kirana yang terdengar tapi mampu mengobrak-abrik batinnya, sehingga otak Bisma tak mampu berpikir akan bercakap apa lagi. Bisma merutuk kenapa dia jadi canggung seperti ini. Padahal biasanya dia banyak bicara. Gara-gara diperhatikan Kirana sekali saja, nalarnya langsung oleng.

"Mas?" Suara Kirana memecah keheningan.

"Ya … ya sudah. Aku mau makan dulu. Jangan lupa makan. Dah!"

Bisma terengah. Dadanya kembang kempis seolah habis lari berkilo-kilometer. Padahal, ada banyak yang ingin dia sampaikan. Seperti 'kalau ngidam sesuatu, omong aja', 'kapan kontrol ke dokter?', atau 'gimana kabar Papa?'. Nyatanya otaknya buntu.

Desah kecewa meluncur dari bibirnya. Bisma lalu mempercepat langkah, mengejar Sangka yang masih menelepon Kai. Namun, saat dia akan mengantongi kembali ponselnya, notifikasi khusus dari Kirana yang jarang terdengar berbunyi.

[Aku sore ini mau kontrol. Mas mau nemenin? Kasihan Papa kecapekan.]

Seketika senyum lebar mengembang di bibir Bisma. Saking lebarnya dia yakin wajahnya seperti Ernie dalam acara televisi anak Sesame Street. Tak ingin Kirana menunggu terlalu lama, jempol Bisma menari di atas permukaan layar sentuh. Namun, baru satu huruf dia ketikan, suara yang sangat ia kenal menyapanya.

"Mas Bisma!"

💕Dee_ane💕

Di KK udah nyampe part 23. Silakan meluncur ke sana.

Cute banget Bisma 😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro