2. Sowan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Penyesalan memang selalu hadir di belakang. Tak ada isyarat, bahwa dia akan datang. Namun, kita tidak bisa memutar detik waktu yang berdetak ke belakang, bukan?"

***

Mungkin usul Papa ada benarnya. Keluarga Bima harus tahu. Tapi, masalahnya kalau sudah tahu mau apa? Bima sudah berpulang dan laki-laki itu tak bisa mempertanggung jawabkan kesalahan mereka berdua.

"Solusi gimana, Pa?" tanya Mama melengking. Alisnya sudah menukik karena didera rasa penasaran. Biasanya memang Papa selalu memberi ide aneh yang membuat Mama tambah pusing.

Papa mengembuskan napas kasar sejenak. Dia menatap Kirana yang pura-pura masih tertidur lalu melanjutkan ucapannya. "Bima ... punya kembaran bukan?"

Sepertinya, Kirana mulai paham kemana arah pembicaraan ini. Dan, sebelum semua menjadi keruh, Kirana pun lantas menyudahi sandiwaranya.

"Enggak, Pa!" pekik Kirana. Dia seketika menegakkan separuh tubuhnya dan menyibak selimut.

Ekspresi Mama langsung kecut begitu melihat Kirana yang tampak segar. Suara sekeras itu sangat tidak cocok dengan kondisi seseorang yang baru saja pingsan.

"Enggak, Pa!" Kirana memohon. Kedua telapak tangannya saling bergesekan naik turun sambil memberi tatapan memohon belas kasihan. Ide Papa kali ini sangat absurd.

Alis Mama mengernyit. "Nggak piye (gimana)?"

Kirana melirik Mama yang ternyata belum bisa mencerna maksud Papa. "Nggak mau ngikutin ide Papa, Ma. Kiran tahu maksud Papa. Mas Bisma nggak salah apa-apa. Dia nggak berbuat ... nggak seharusnya dia yang menanggung akibat."

"Bis ... Bisma?" Kepala Mama meneleng. "Kenapa kamu nyebut ...? Tunggu Mama paham sekarang. Maksud Papa, Bisma yang diminta gantiin kembarannya gitu buat nikahi Kirana?" Mama memang terkadang telat menangkap maksud pembicaraan bila kepalanya panas. Namun, kali ini sepertinya Mama berusaha mendinginkan otak agar bisa berpikir jernih.

Papa mengangguk, menjawab pertanyaan Mama.

Seketika Mama membeliak. Matanya kemudian mengerjap berulang saat otaknya menimbang saran Papa. Sesudahnya Mama tak bereaksi seperti biasanya bila tidak menyetujui ide random Papa. Melihat diamnya Mama, Kirana menggeleng berulang. "Nggak, Ma. Jangan ...." Mata Kirana memerah. Bagaimana bisa dia menikahi kembaran tunangannya? Terlebih Bisma orangnya terlihat ramai, gaul, dan ... playboy! Sangat bertolak belakang dengan kepribadian Bima yang tenang, pendiam, dan sangat posesif.

"Semua sudah terjadi. Mau gimana lagi? Hanya ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan muka keluarga kita," kata Papa.

"Tapi ... tapi ... pernikahan itu kan didasari cin ... ta ...." Kirana berusaha mengelak.

Papa terkekeh miris. "Cinta bisa datang karena terbiasa. Orang zaman dulu buktinya bisa langgeng sampai kakek-kakek dan nenek-nenek, padahal pernikahan mereka dijodohkan. Setelah menikah, komitmen untuk memelihara janji pernikahan yang diperlukan."

Kirana hanya bisa mengembuskan napas kasar. Percuma juga berdebat sama Papa. Terlebih Mama sepertinya menyetujui usul konyol Papa. Kirana tak habis pikir, kenapa Papa bisa tercetus ide ajaib seperti itu.

Kasihan Mas Bisma ....

Perasaan itu menyusup di hati Kirana. Laki-laki playboy yang setahu Kirana gonta-ganti pacar itu, harus dipaksa berkomitmen? Ah, yang ada Bisma seperti di penjara atas nama pernikahan!

"Ran, menyesali yang sudah terjadi nggak bakal berguna. Yang ada sekarang, kamu harus berani melangkah demi jabang bayimu. Dia nggak berdosa ... jangan sampai kamu berbuat dosa lagi dengan menghilangkan nyawanya," kata Papa sambil tersenyum sendu.

***

Kata orang, penyesalan memang selalu hadir di belakang. Tak ada isyarat, bahwa dia akan datang. Namun, kita tidak bisa memutar detik waktu yang berdetak ke belakang, bukan? Mau tidak mau, Kirana harus menanggung apa yang dia perbuat dengan Bima. Termasuk menyetujui saran Papa untuk pergi ke rumah orang tua Bima. Walau langit suram seperti siang ini, tak ada alasan baginya untuk membatalkan niat Papa.

Jujur, Kirana malu dan juga takut saat dia dan orangtuanya sudah tiba di depan rumah orangtua tua Bima. Pagar hitam tinggi menyambut mereka itu tak lagi membuat senyumnya terurai seperti dulu saat Bima mengajaknya berkenalan dengan orangtua lelaki itu.

Kirana berharap, pagar itu tak dibuka sehingga mereka tak perlu mengakui kesalahannya dan Bima, lalu menimpakan segala tanggung jawab pada kembarannya. Namun, semesta tidak mendukung. Tak berapa lama kemudian Mbok Ngatmi—pembantu setia keluarga itu—membukakan gerbang untuk mereka.

Mobil akhirnya terparkir di car port yang cukup menampung 4 mobil SUV. Papa dan Mama sudah turun lebih dulu. Sementara, badan Kirana masih membeku di tempat duduknya, tak mengikuti orangtuanya yang sudah berada di luar mobil.

"Mbak, ayo!" Mama membukakan pintu kabin kedua.

Kirana menggigit bibir. Peluh tipisnya mulai membasahi pelipis. "Ma ...."

"Uwes (Udah) ... turun dulu gih." Mama menggapai tangan Kirana dan menariknya.

Rasanya, Kirana ingin lenyap saat itu juga. Dia ingin meleleh, diguyur hujan yang mulai deras di hari Minggu siang. Alam seolah mendukung batinnya yang mendung.

Setelah mereka masuk, Mbok Ngatmi mempersilakan untuk duduk di sofa berukir Jepara. Sambil menanti tuan rumah, Kirana mengedarkan pandangan pada foto yang berjajar rapi di dinding ruang tamu yang memperlihatkan keharmonisan keluarga kecil tersebut. Wajah cerah Papi Kresna, Mami Rosa, Si Kembar Bima dan Bisma, terbingkai di sebuah frame warna perak yang cantik. Seketika hati Kirana berdesir saat melihat potret Bima yang sedang tersenyum lebar dalam setelan jas. Dia merindukan senyum Bima yang selalu bisa melumerkan batinnya.

"Wah, ada Kirana ...." Sapaan wanita paruh baya bertubuh langsing itu membuat lamunan Kirana buyar. Dia tersenyum sambil berdiri untuk menyambut Mami Rosa.

Tak lama berselang, seorang pria tinggi besar dengan kumis tipis datang di belakang sang istri. "Gimana kabarmu, Kirana?"

"Baik, Pi ... eh Om ...."

Papi Kresna berdecak. Mungkin panggilan papi atau mami, sudah tidak relevan lagi, mengingat Bima telah pergi dan tidak bisa menikahinya sehingga dia hanyalah mantan calon menantu saja. Namun, kedua orangtua Bima berkata bahwa Kirana masih boleh memanggil mereka 'papi' dan 'mami' walau Bima telah tiada karena sudah dianggap putri sendiri.

Kelima orang itu kemudian duduk. Setelah berbasa-basi sejenak, akhirnya tibalah Papa mengungkapkan maksud kedatangan mereka. Sementara itu,  Mama ikut membantu meletakkan alat bukti di atas meja, untuk memperkuat perkataan Papa.

"Hamil?"

Mami Rosa dan Papi Kresna membeliak lebar dengan rahang yang tertarik gravitasi bumi. Kedua pasang mata itu menatap lima stik yang menunjukkan dua garis di atas meja jati berukir berlapis kaca.

"Tapi ... tapi?" Mami Si Kembar yang kulitnya masih kencang itu terbata. Dia mengambil satu batang alat pendeteksi kehamilan dengan tangan bergetar. "Bima seminggu lalu ... meninggal."

Mata Mami Rosa berkaca. Entah bahagia atau justru sedih mendengar kabar calon mantu yang sudah menjadi mantan seiring kepergian salah satu anak kembarnya itu, mengandung benih Bima.

"Oleh karena itu, kami datang ke sini. Jujur kami bingung. Mas Bima sudah pergi. Kepergiannya menyisakan kesedihan bagi kami khususnya Kirana. Namun, yang tidak kami kira ternyata dia sudah menabur benih lebih dulu sebelum semuanya disahkan Tuhan." Papa menatap kecewa ke arah Kirana, putri satu-satunya, yang hanya bisa menunduk. Perasaan wanita muda berusia 25 tahun yang baru saja lulus Sarjana Ekonomi itu, carut marut.

"Lalu bagaimana bisa Bima bertanggung jawab kalau sudah pergi?" Kini Mami Rosa berdecak. Dia mengembuskan napas kasar sambil menyandarkan punggung dengan kasar di sofa berlapis kulit cokelat.

Keheningan melingkupi ruang tamu luas itu. Semua orang hanyut dalam keterkejutan yang entah membawa sukacita atau justru kecewa.

"Satu-satunya cara ... biarlah Mas Bisma yang menikahi Kirana." Suara berat Papa memecah sunyi.

"Apa?" Mami Rosa membeliak. Dia menatap suaminya. "Pi, gimana ini? Masa ... Bisma ...."

Mami Rosa sampai kehilangan kata-kata saking terkejutnya. Dan, beberapa menit kemudian, ruang tamu mewah itu kembali sepi. Aura dingin menyergap kebisuan kelima orang itu.

Papa kembali membuka mulut, karena tak mendapati jawaban dari keluarga Antaboga. "Bagaimana, Pak Kresna?"

Papi Kresna mendesah panjang. Dia lalu menatap Papa. "Mau bagaimana lagi ya, Pak? Walau terdengar aneh, saya setuju dengan usul Pak Daud. Daripada janin itu lahir tanpa ayah atau terpisah dari keluarga kami, maka memang usul Pak Daud itu yang terbaik. Bagaimanapun anak yang dikandung Kirana adalah anak Bima. Darah daging keluarga Antaboga."

Kirana menggeleng. "Pi, Kiran tahu niat baik Papi Kresna. Tapi, tapi ... Kiran nggak bisa. Mas Bisma sudah Kiran anggap kakak sendiri."

"Kiran, kamu harus memikirkan janinmu," ujar Papi Kresna tenang. "Seperti Papi, orangtuamu pasti sangat kecewa dan terluka."

"Nduk, ini pilihan terbaik buat kamu, janinmu dan keluarga kita. Kamu nggak punya pilihan lain," sahut Papa segera.

Kirana menggeleng dengan wajah yang kini bersimbah air mata. Dia melirik ke arah foto Bisma yang merangkul Bima saat wisuda penggelaran dokter mereka. Walau wajah Bisma dengan Bima identik, tapi Bisma bukanlah Bima. Hatinya tak tertuju pada laki-laki itu. Lalu bagaimana bisa dia menikahi Bisma?

"Kiran nggak bisa, Pa. Kirana ...."

"Kiran, kamu mau mempermalukan keluarga kita. Trah Wiryokoesoeman itu berdarah biru. Kamu akan mempermalukan Papa di seluruh keluarga besar. Lagipula ... apa jadinya bila jemaat tahu kalau anak pendeta hamil di luar nikah?" Suara Papa meninggi. Kirana tahu bahwa bila Papa sudah berseru seperti ini ucapannya seperti titah raja yang harus dituruti.

"Ran, kamu sebaiknya nurut sama Papa. Sudah baik, Pak Kresna menyetujui usul Papa. Nggak gampang jadi single parent ... dan pikirkan juga janinmu. Dia akan jadi anak tanpa ayah kalau kamu nggak segera menikah. Ehm?" Mama kini meraih tangan Kirana dan menarik dagunya dengan lembut. Kedua alisnya terangkat dan memandangnya penuh harap.

Lidah Kirana kelu. Bola matanya bergulir bergantian dari Papi Kresna dan Mami Rosa. Otaknya kusut, tak bisa berpikir lagi. Pernikahan indah yang dia bayangkan bersama Bima kini hancur berkeping. Tak ada cinta di hatinya untuk Bisma—laki-laki gaul yang banyak digandrungi cewek-cewek. Lalu bagaimana dia bisa menjalani biduk rumah tangganya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro