27. Makan Malam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers ... jumpa lagi dengan Bisma n Kirana. Ada yang menanti? 🤔 Kuy, berikan jejak cintanya😘

💕💕💕

Bisma mengurai pelukan setelah Kirana menumpahkan air matanya. Dia memutar tubuh dan mengangkat dagu sang istri.

"Kok nangis?" Alis kiri Bisma terangkat. Dia sedikit membungkuk, mengikis jarak wajah di antara mereka.

Kepala yang mendongak membuat pandangan mereka bersirobok.

"Kenapa baik sama aku?" Suara Kirana bergetar.

Bisma mengernyit. "Apa salah baik sama istri sendiri?"

Kirana menggeleng berulang. Dia memang istri Bisma. Segala perhatian Bisma memang sudah selayaknya dicurahkan pada Kirana. Tapi justru semua perlakuan sang suami membuat beban yang mengimpit dadanya. Membuat rasa bersalah kembali merongrong jiwa.

Bisma tersenyum sambil menangkup pipi Kirana dengan kedua tangan besarnya. Dia mengusap pelan pipi basah wanita itu dengan ibu jarinya. "Ish, heran banget dulu Bima bisa suka sama kamu. Jelek banget kalau nangis!"

Kirana mendengkus. Alih-alih tersinggung dia justru semakin tergugu.

"Lha malah mewek! Piye to ki (gimana to ini). Berani ena-ena tapi ternyata masih cengeng," goda Bisma.

"Mas Bisma!" Kirana memukul dada Bisma pelan. Dia tak punya tenaga berdebat dengan laki-laki tinggi itu.

Bukannya menghindari, Bisma justru menarik tubuh mungil Kirana di dalam rengkuhan badannya. Kecupan yang intens merambatkan desir di sepanjang tulang belakang Kirana, seolah ingin melumerkan rangka tubuhnya.

"Kalau ngidam sesuatu aja, bilang aja sama aku. Kan kemarin aku udah bilang pas awal kita nikah supaya bilang kalau butuh apa-apa."

Suara Bisma yang berat terdengar lembut.

"Aku nggak pengin Mas jadi repot kaya gini. Padahal Mas bukan yang ngasih benih. Malah Mas yang suruh tanggung jawab." Kirana meremas daster pendeknya.

"Trus kamu mau Papa yang kerepotan?" tanya Bisma.

Kirana menggigit sudut bibir kiri. Dia menarik pelan tubuhnya dan mendongakkan kepala menatap wajah Bisma. Tangan mungilnya terangkat, mengusap pipi Bisma. "Mas terlalu baik buatku."

"Aku nggak sebaik yang kamu kira. Aku bisa marah, bisa kecewa, kalau marah diem. Kata orang marahku awet kaya kena formalin. Aku juga bisa curang …." Bisma meremas tangan Kirana yang ada di pipinya dan membawanya mendarat di bibir untuk dikecup. "Jadi, kamu jangan sungkan kalau butuh sesuatu. Aku akan ada buatmu."

"Janji?" Kirana mengulurkan kelingking kanannya.

Bisma mengangguk sambil menyambut kelingking Kirana. Jari mereka pun bertaut. "Janji. Ayo, sekarang bikin sambel yang pedes. Aku juga pengin nih. Oh, ya … punya kangkung nggak? Aku pengin plecing kangkung pedes sama tahu. Kalau nggak ada biar aku belanja ke mbak sayur di gang sebelah."

Alis Kirana mengernyit. Dia tak menyangka Bisma juga punya keinginan makan makanan yang sama dengannya. "Ada. Tadi aku udah belanja."

"Ya udah, cepetan masak. Aku kumpulin mangganya."

Kirana termangu, menatap Bisma yang membungkuk mengambil satu persatu mangga muda yang berceceran di rumput. Tak ingin Bisma mendapati matanya yang tak berhenti melelehkan air mata, Kirana pun berbalik dan masuk rumah untuk membuat sambal.

Keinginan Kirana untuk makan mangga muda akhirnya terpenuhi. Dia tidak menyangka mangga yang kini tersaji di depannya ini dipetik dan dikupas oleh Bisma. Tak hanya rujak, Kirana juga menyiapkan plecing kangkung dan menggoreng tahu untuk makan malam mereka. Jangan lupakan kerupuk yang akan meramaikan acara makan malam ini.

Setelah Kirana mandi, dia sengaja menggelar tikar di teras belakang. Pemandangan halaman belakang dengan rerumputan dan lampu taman serta bunga mawar peninggalan Mama, mampu memberi suasana lain pada makan malam hari ini.

Sebenarnya ide itu tercetus begitu saja. Dia ingin menikmati momen kebersamaan dengan Bisma. Kali ini, Kirana enggan untuk mundur. Dia tak rela kehilangan Bisma yang selalu sandaran dan mampu menguatkan jiwanya.

Begitu hidangan sudah tertata, Kirana tersenyum puas. Walau menu yang tersaji di atas tikar yang digelar di teras belakang itu sangat sederhana, tapi Kirana merasa makanan yang akan mereka santap ini sangat spesial. Apalagi kalau yang menemani makan adalah orang istimewa yang selalu membuat hatinya lumer.

"Makan di sini?" Bisma muncul dari pintu belakang. Harum sabun beraroma bunga sakura menguar dari tubuhnya. Rambutnya yang basah menghapus wajah lelah dan menggores kesegaran.

Kirana menengok ke belakang dan mendongak. "Iya. Nggak pa-pa, to?"

Bisma tersenyum. "Nggak pa-pa. Asyik juga. Jadi berasa piknik." Dia pun lalu duduk di depan Kirana.

Sementara itu, Kirana mengambilkan nasi dari panci dalam magic com yang sengaja dia keluarkan. "Segini?" tanya Kirana setelah menuangkan dua centong nasi. Ini kali pertama Kirana melayani Bisma sebagai istri.

"Lagi," kata Bisma mencermati nasi yang disendok Kirana.

"Segini?"

Bisma mengangguk. Dia menerima piring dengan empat entong nasi. "Makasih."

Kirana terkesiap. Dia melirik ke arah Bisma yang menatap gerak geriknya. Ucapan sederhana itu menggetarkan batin. Pipinya bersemu merah karena jantungnya semakin meronta memompa darah ke kepala, hanya karena mendengar ucapan terima kasih Bisma. "Sama-sama."

Saat Kirana hendak mengambil centong, tiba-tiba tangan Bisma terulur dan mencoba mengambil alih piring Kirana. "Biar gantian aku."

Alis Kirana mengernyit, masih mempertahankan piring yang hendak direbut Bisma. "Mas mau nambah? Itu udah banyak banget loh. Ntar buncit kebanyakan nasi."

Bisma terkekeh. "Ini buat istriku. Emang paten ya, cuma istri yang ngelayani suami? Suami itu juga wajib ngelayani istri. Take and give. Biar aku nggak banyak nerima aja."

Kirana menggeleng. "Justru aku yang banyak nerima."

Bisma menarik bibir lebar saat memberikan piring kepada Kirana. "Awalnya aku belum pengin nikah. Kupikir nikah itu bikin ribet sementara aku lagi sibuk. Tapi, dapat istri langsung hamil rasa ribetnya nyenengin juga. Tiba-tiba berasa ikutan stress dan bikin asam lambungku naik. Trus di WA mertua, suruh nyari mangga di belakang rumah karena ngidam."

"Mana ada ribet nyenengin!" Kirana berusaha menangkis ucapan Bisma yang manis. Bisa-bisa kalau Bisma banyak bicara, gula darahnya bisa meningkat.

"Beneran seneng. Kejenuhan sama rutinitas sekolah ilang sejenak. Coba kalau aku nggak punya istri … atau istriku nggak hamil, mana bisa aku manjat kaya tadi. Seingetku aku manjat pohon terakhir pas SMA, waktu mau bolos kelasnya Pak Sulis."

Kepala Kirana meneleng. Matanya mengerjap. "Justru karena itu, aku jadi banyak nerima kebaikan Mas."

Bisma mendesah panjang. Dia menjumput kangkung rebus dan menambahkan sambal plecing ke atas sayur. Sambil tangannya sibuk mengurap bumbu, dia berkata, "Lalu kalau bukan kamu yang nerima kebaikanku, trus siapa?"

"Keira …?"

.

.

.

Seketika suasana hening. Hanya suara desau embusan angin yang mengisi kekosongan. Gerakan tangan Bisma pun terhenti saat mencampur kangkung dengan sambal.

Bisma lalu berdeham, memecah kebekuan. Dia melanjutkan aktivitasnya seolah tak menanggapi Kirana.

"Mas …." Kirana memanggil lemah suaminya.

"Ayo, nikmati dulu makan malam kita. Nanti baru kita bicarakan soal Keira."

Kirana menurut. Dia pun mulai mengambil sayur dan lauk untuk kemudian disantap. Melihat lahapnya Bisma makan masakan sederhana membuat Kirana mengulum senyum menyadari betapa anak kembar dalam satu rahim seorang ibu akan sangat berbeda sifat dan kelakuan.

Dan kini, Kirana mendapati perbedaan dua saudara yang lahir hanya selisih menit. Cara makan Bisma yang apa adanya, sangat berbeda dengan Bima yang suka makan di meja dengan sendok dan garpu. Lelaki di depannya ini makan dengan bersila dan mengangkat piringnya, menyuapkan nasi serta sayur dengan tangan. Bahkan dari segi menu makanan, Bisma cenderung gampang. Tidak pemilih seperti Bima.

"Enak. Puol!" Bisma menyeka hidungnya yang berair karena kepedasan.

Menelan makanannya lebih dahulu, Kirana menjawab, "Ish, macem nggak pernah makan kangkung aja." Kirana menuangkan es lemon ke dalam gelas dan menyodorkan ke hadapan Bisma.

Bisma pun mengangkat gelas itu dan meneguknya sampai tandas untuk mengurangi panas di mulutnya.

"Lama nggak makan ini. Lagian akhir-akhir ini aku pengin makan urap, pecel, atau kangkung seperti ini. Yang jelas, makan yang seger-seger."

Kirana mengerjap. Dia pun juga akhir-akhir ini ingin makan sayuran seperti itu. "Perasaan aku deh yang hamil. Mas ikut-ikutan aja ngidamnya."

Bisma terkekeh. "Mungkin karena hidup sama ibu hamil. Aku juga nggak ngerti kok bisa ngerasain yang dibilang Sangka couvade syndrome. Cuma aku excited banget bakal jadi papa. Mungkin karena kami satu sel telur, apa yang dirasa Bima aku rasain juga. Seperti aku ngrasa anak Bima ini anakku juga."

"Satu telur … tapi sifat Mas beda banget sama Mas Bima." Kirana meneguk gelas berembun yang berisi cairan keruh.

"Tetep aja, telur kan ada putih telur dan kuningnya. Tapi kami ada banyak kesamaan kok. Muka mirip. Suara mirip. Ukuran sepatu sama. Ukuran baju sama. Sampai ukuran adek kecilnya pun sama," jawab Bisma sembari mengunyah.

"'Adek kecil'?" Kirana mengernyit.

"Ini …." Dengan tangan kanan yang belepotan sambal, Bisma menunjuk ke pangkal paha yang terbuka saat bersila. dengan cengiran lebar.

Kirana mengurut arah telunjuk Bisma menunjuk. Sontak pipinya memerah dan dia memalingkan pandangan ke halaman yang tampak temaram disinari lampu. "Ih, Mas Bisma ini loh!"

Bisma tertawa ngakak. Kepalanya mendongak dengan punggung tangan kirinya berada di depan mulut agar sisa makanannya tak menyembur. "Gitu-gitu kamu juga mau dulu pas coba-coba. Emang gimana rasanya? Ck, ck, ck, Dik Bima ternyata berani juga cari sarang sebelum halal."

Wajah Kirana sudah panas. Dia meneguk habis es lemon untuk mendinginkan mukanya yang serasa terbakar oleh rasa malu. Dia hampir lupa bahwa salah satu perbedaan yang sangat mencolok di antara dua anak kembar itu adalah sifat jail yang selalu membuat Kirana tak berkutik. Dan, ucapan Bisma kali ini menohok batinnya karena mengingatkan Kirana bahwa dia sudah tidak suci lagi.

"Makanya itu, Mas Bisma seharusnya nolak nikahin aku. Aku nggak pantes buat Mas." Kirana menurunkan gelas dan menyeka mulut yang basah.

Bisma mendengkus. "Kamu terlalu menghakimi diri sendiri, Ran. Kamu seolah berusaha menghukum dirimu atas kesalahan yang kamu lakukan. Itu yang bikin aura bahagiamu akhir-akhir ini hilang."

"Apa aku berhak bahagia? Kebahagiaanku seolah harus berpijak sama penderitaan orang lain." Kirana menatap Bisma dalam.

Bisma mendesah. Dia meletakkan piring yang sudah bersih dan mengambil potongan mangga muda. Mata Bisma menyipit, menahan asam dan pedas dari sambal, tak langsung menjawab Kirana.

Jakun yang bergerak naik turun menggelontorkan buah mangga yang lumat. Dia kemudian membalas tatapan Kirana dengan sorot teduh. "Apa kamu nyesel sudah berbuat itu, Ran?"

Kirana mengeratkan rahang. "Aku takut jawab." Dia menunduk mengusap perut dengan tangan kiri yang bersih. "Kalau nyesel, aku takut janin ini sedih karena nggak diharapkan. Sementara kalau aku nggak nyesel, aku bener-bener wanita pendosa yang nggak tahu malu."

"Terus … kata hatimu bilang apa?" Satu alis Bisma naik ke atas.

Kirana menggigit bibir. "Aku nggak nyesel karena aku sayang Mas Bima."

💕Dee_ane💕

Kalian punya nggak teman, saudara, atau kenalan kembar identik sehingga susah bedain? Aku suseh banget bedain pasien kembarku. Kudu tak tanya berulang😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro