4. Kegalauan Bisma

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers! Malam ini nongol lagi. Hiks, ternyata vote n komen masih dikit. Btw, kenapa sih kalian nggak  kasih jejak cinta? Apa ceritanya emang kurang nendang? Tapi, it's ok! Bakalan tetep aku lanjut kok. Selamat membaca.

💕💕💕

Cinta yang tulus itu tak setipis selaput dara.”

***

Jam digital yang melingkar di pergelangan tangan Kirana sudah menunjukkan angka 16. 50. Gara-gara rapat yang molor, maka Kirana baru keluar dari kantor pada pukul 16.45. Padahal dia sudah janjian dengan Bisma pada pukul 16.30. Tak menghiraukan bahwa dalam rahimnya sudah bersemayam janin, Kirana berlari menuruni tangga.

Dengan mengendarai motor matic yang dia beli dengan uang gajinya, Kirana membelah keramaian di jalan Adi Soecipto menuju ke kafe yang berjarak 1 km dari kantornya. Sepuluh menit kemudian, Kirana membelokkan stangnya ke kiri dan perlahan menyelipkan motornya di celah antara deretan motor yang berbaris di halaman.

Suasana kafe cukup ramai sore itu. Hanya terdapat meja yang kosong. Alunan musik Shape of You dari Ed Sheran menyambut Kirana saat kakinya mulai menapak ke dalam ruangan yang sekelilingnya berdinding kaca. Seketika dada wanita itu berdetak kencang. Langkahnya terhenti, sementara otaknya secara reflek memutar memori bersama Bima tentang lagu yang selalu dinyanyikan kekasihnya untuk menggodanya setelah laki-laki itu berhasil menjebol kemurniannya.

Kirana mendesah keras untuk menyingkirkan desir nyeri batinnya. Dia di sini bukan untuk mengingat Bima, karena dia harus menemui kembaran pacarnya. Kirana kemudian mengedarkan pandangan sejenak ke segala arah dan menemukan sosok yang wajahnya sama persis dengan laki-laki yang dia rindukan, sedang menunduk menekuri ipad‐nya.

"Mas …," sapa Kirana takut-takut saat sudah di hadapan Bisma. Pipi wanita itu memerah karena malu. Dia yakin Bisma sudah tahu tentang kondisinya dan sebenarnya itu yang membuatnya enggan datang kalau misalnya dia tidak mendapat serangan pesan pendek sejak jam empat tadi.

Bisma mendongak. Laki-laki itu hanya diam tanpa senyuman. Membalas sapaannya pun tidak. Wajahnya dingin, seolah ada benteng es yang membatasi mereka dan menguarkan aura yang membuat bulu roma Kirana berdiri. Terlebih Bisma menunjukkan ekspresi tegang yang jarang Kirana lihat, mengikis keramahan lelaki itu selama ini.

"Sudah datang?" Pertanyaan retoris itu disambut anggukan Kirana.

Bisma menunduk, mengangkat tangannya dan membaca angka di jam tangannya. "Telat setengah jam."

Kirana meringis sambil perlahan duduk di depan Bisma yang dibatasi meja kecil. Walau hanya melihat sekilas, sorot mata Bisma mampu membuat kuduk Kirana meremang dan peluhnya semakin menetes. Badan Kirana seolah membeku seperti terkena tatapan Medusa. "Sori."

“Mau pesan?” Bisma menyodorkan daftar menu yang sangat terlihat basa-basi. "Tapi aku nggak punya waktu lama karena harus persiapan jaga malam."

Kirana menggeleng. Tenggorokannya terlalu kering menjawab Bisma. Nafsu makan atau minumnya pun hilang. Sebisa mungkin, dia ingin cepat-cepat menuntaskan percakapannya.

"Oke, aku mau bicarakan tentang kehamilanmu."

Telinga Kirana seketika berdenging. Wajahnya terasa panas. Padahal Kirana sudah menyangka sebelumnya bahwa Bisma mengajaknya bicara tentang kehamilannya. Wanita itu hanya bisa melipat bibir dan menundukkan wajah untuk menyembunyikan pipi yang sudah semerah kepiting rebus.

Bisma berdeham. Dia memajukan ipad-nya dan menumpukan lengan yang bersedekap di atas meja. “Kamu pasti udah ngerti niat para orang tua, 'kan? Lalu, kenapa kalian yang berbuat, àaku yang kena akibatnya, huh?”

Kirana meremas tangannya dengan erat. Matanya kini mulai pedas. Pandangannya pun mengabur. Dalam sekali kerjap, bulir bening gugur dari matanya dan mendarat di punggung tangan. Mendengar perkataan Bisma, Kirana merasa kotor dan berdosa. Dia ingin meleleh dan hilang ditelan bumi. “So-sori ….” Suara Kirana bergetar. Sekuat tenaga dia menggigit bibir untuk menekan rasa malu yang berkecamuk di dada. Bahunya mulai bergetar.

Dengkusan keras terdengar dari bibir Bisma. “Malah nangis.”

“Ma-maaf ….” Entah kenapa, hanya itu kata yang bisa digetarkan lidahnya.

Bisma mengembuskan napas sambil mengusap wajahnya kasar. “Tolong dong, jangan nangis di sini. Orang bakal mikir aku ngapa-ngapain kamu.”

Melihat tisu di meja itu habis, Bisma merogoh saku celana kainnya dan mengambil sapu tangan merah marun. Dia mengulurkan kain itu ke hadapan Kirana.

Kirana pun mengambil sapu tangan Bisma dan menyeka matanya. Namun, air matanya seolah enggan berhenti mengalir, sekuat apapun Kirana ingin menghapusnya.

Mereka terdiam beberapa saat, menunggu sampai Kirana bisa mengendalikan tangisnya. Setelah dirasa wanita di depannya itu mulai tenang, Bisma kembali buka suara. “Ran, aku ….” Bisma menjeda ucapannya. Dia mengamati Kirana yang masih menunduk, kemudian membasahi bibir dengan ujung lidah. “Aku nggak bisa.”

Kirana menelan ludahnya. Dia mengeratkan rahang. Rasanya dia seperti sudah terjatuh dan sesudahnya juga tertimpa tangga. Dalam hati, Kirana terkekeh sendiri. Laki-laki mana yang mau menerima dirinya yang tak lagi suci dan sedang hamil benih pria lain? Apalagi Bisma yang terkenal banyak digandrungi cewek-cewek. Bisa jadi, sampai sekarang dia belum berpacaran lagi sejak putus dengan Keira, sahabatnya, dikarenakan belum move on. Atau mungkin juga Bisma mencari perempuan yang setara dengannya. Dokter, pinter, cantik, gaul. Tidak seperti dia yang hanya mempunyai circle pertemanan yang sempit.

Sambil menghela napas panjang, Kirana memberanikan diri mengangkat wajah dan membalas tatapan dokter residen obsgyn itu. “Aku tahu, Mas. Aku sadar diri kok. Lagian aku juga mau bilang, Mas nggak usah repot-repot menerima usulan absurd orang tua kita.”

Bisma terdiam. “Lalu apa rencanamu setelah ini? Janin itu tetap membutuhkan ayah. Tapi, aku harap, kamu menikah bukan hanya demi janin itu, tapi karena memang kamu mencintai laki-laki itu seperti kamu mencintai Bima.” Suara Bisma yang ramah perlahan kembali lagi. Ada sorot iba dari matanya. Dan, Kirana benci dikasihani seperti itu.

“Mas nggak perlu khawatir. Aku bisa kok jagain kenang-kenangannya Mas Bima. Aku juga nggak butuh laki-laki yang terpaksa menerima aku dan anakku.” Kirana kemudian berdiri. “Sepertinya nggak ada yang perlu dibicarain lagi. Kalau gitu aku pamit pulang.” 

***
Bisma menatap punggung Kirana yang menjauh. Ada perasaan bersalah yang menyusup karena membuat wanita itu menangis. Ah, untuk apa merasa bersalah? Itu konsekuensi yang harus Kirana pikul. Lagipula dari pada memaksakan pernikahan ini, lebih baik tidak usah terjadi sama sekali. Yang jelas, Bisma tidak ingin dijadikan pelarian.

Sore ini, Bisma memilih menunggu waktu jaga malam sambil belajar di kos Sangka. Beruntung ia selalu menyiapkan baju di dalam koper yang dia taruh di mobil untuk berjaga-jaga kalau tidak pulang. Mobil dan kos Sangka kini menjadi rumah ketiga untuknya, selain rumah dan rumah sakit tentunya.

"Kupikir koen (kamu) balik rumah." Sangka yang rambutnya masih acak-acakan, membukakan pintu bagi Bisma.

"Nggak." Bisma langsung menyelonong masuk dan setelah meletakkan ranselnya, dia mengambrukkan badan ke ranjang.

Sangka mengerutkan alis. Dia mendorong tubuh Bisma ke tengah dan ikut membaringkan badannya di tepian. "Suntuk banget mukanya?"

Bisma mendengkus. Dia memang susah menyembunyikan apa yang dia rasakan. Bila ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman, wajahnya akan tertekuk dan sorot matanya  pun meredup. Walau Sangka baru beberapa bulan mengenalnya, sahabatnya itu mampu membaca pikirannya.

“Nggak. Cuma rasanya capek aja badanku. Aku numpang tidur bentar.” Jujur, Bisma malu bercerita kalau dia disuruh menikahi mantan calon adik iparnya. Dia bukanlah Santo Yusuf yang dengan legawa menerima Santa Maria sebagai istrinya walau sudah mengandung. Tidak! Bisma hanyalah manusia biasa. Laki-laki yang ingin pernikahan biasa dengan pondasi cinta dengan wanita yang nantinya akan menjadi ibu untuk anak-anaknya.

Alih-alih segar, kepala Bisma justru pening setelah dia tidur satu setengah jam, saat Sangka membangunkannya agar mereka bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. Tidurnya tak berkualitas karena selama tidur, dia dibayang-bayangi wajah sendu Kirana. Bahkan sejak semalam.

Bisma tak lantas bangun. Dia masih mengerjap-ngerjap, mengumpulkan nyawa. Matanya menerawang, menatap langit-langit putih di kamar kos Sangka.

"Nggak! Ini salah mereka. Ngapain aku ikut-ikutan?" Di dalam diri Bisma kembali terjadi pergumulan. Dia teringat beberapa waktu lalu, ketika Bima yang tergolek di ICU setelah operasi trauma kepala, memanggilnya.

"Mas, sori. Aku … aku … salah. Titip Kirana." Kalimat terakhir Bima yang diucapkan terbata sebelum meregang nyawa, masih terngiang di benak Bisma dengan jelas. Dengan kekuatan yang menipis, saat itu Bima menarik lengan Bisma agar laki-laki itu membungkuk.

"Dek, simpan tenagamu." Bisma melirik ke arah monitor pemantau tanda vital yang terpasang di sebelah kanan brankar dengan perasaan khawatir. Padahal, setelah operasi beberapa jam lalu, kondisi Bima stabil.

Kepala yang terpasang sungkup oksigen itu menggeleng. Matanya berkaca. Dengan bibir bergetar, Bima berkata lirih. Sangat lirih. Namun, setiap katanya masih bisa ditangkap oleh pendengaran Bisma itu membuat rahang Bisma mengerat dan tenggorokannya seperti tercekik.

Bisma menggeleng, mengusir kenangan menemani sakratul maut kembarannya yang selalu membuatnya tercabik. Dia menegakkan tubuh dan menatap wajah yang ototnya menegang di cermin lemari tiap kali mengingat peristiwa itu. Dia masih tak habis pikir karena perkataan 'titip Kirana' itu seperti ramalan Bima akan masa depan. Ternyata beberapa minggu kemudian Kirana hamil di saat dia sudah pergi dan para orang tua seolah menitipkan wanita itu agar diperistri Bisma untuk menyelamatkan nama baik keluarga.

Namun, tekad Bisma sudah bulat. Dia tidak mau menikahi Kirana! Titik!!

Lamunan Bisma terdistraksi oleh suara Sangka yang menyuruhnya agar segera mandi. Dia lalu turun dari ranjang untuk membasuh badan dan bersiap berangkat ke rumah sakit bersama Sangka dengan berjalan kaki karena kos Sangka berada di belakang gedung rumah sakit.

Setibanya di IGD, suasana terlihat aman terkendali. Tidak ada penumpukan pasien, sehingga para residen masih bisa duduk di nurse station sambil mengobservasi beberapa pasien. Bisma dan Sangka lalu mempercepat langkah untuk menyimpan tasnya terlebih dahulu di loker ruangan residen sebelum bergabung dengan teman-teman yang lain.

Saat memasuki nurse station, Josua–residen semester tiga, yang juga kakak kelas Bisma sewaktu kuliah kedokteran umum—sudah datang lebih dulu. Bibir Bisma seketika tertarik lebar. Setidaknya, ada satu 'malaikat' di antara para seniornya yang bersikap seperti setan.

Melihat isyarat Josua yang menepuk permukaan kursi di sebelahnya, Bisma dan Sangka segera menghampiri seniornya.

"Ada apa, Bang?" tanya Bisma sambil duduk di sebelah seniornya.

"Ini, ada undangan." Josua merogoh tas dan mengeluarkan selembar amplop pink pastel.

Alis Bisma mengernyit dan membuka amplop itu. Matanya seketika membulat. "Mitoni?"

Josua mengangguk dengan senyuman lebar. "Iya. Aku bakal jadi papa."

Mulut Bisma menganga lebar. Matanya mengerjap. Sementara itu, Sangka yang ikut membaca undangan itu, berkomentar, "Bang Jo hebat, ya. Kami tahu loh cerita tentang Abang sama istri Abang."

Siapa yang tidak tahu tentang kisah Josua dan istrinya. Konon kata para perawat senior yang menjadi fans berat Josua, seniornya ini tetap melamar perempuan yang sekarang jadi istrinya, walaupun istrinya sudah tidak suci karena diperkosa. Bahkan, Josua yang menerima pacarnya sendiri saat dibawa ke IGD dalam keadaan mengenaskan.

Josua hanya terkekeh. "'Cinta yang tulus itu tak setipis selaput dara'. Datang ya. Bawa pacar kalian. Gosip yang beredar tentang kalian, memprihatinkan." Lalu dia berdiri. "Yuk, waktunya operan jaga."

Pada jam-jam awal berjaga setelah mendapat operan dari shift sebelumnya, situasi IGD seperti harapan Bisma. Dia masih bisa sempat membaca bahan ajar dari Prof. Rendy. Tapi, kondisi itu tidaklah lama, karena menjelang tengah malam pasien hamil dengan kegawatdaruratan dan pasien yang hendak melahirkan membludak. Saking banyaknya untuk duduk saja Bisma tidak sempat karena ada saja panggilan senior yang menyuruhnya menganamnesa, mengecek tanda vital ibu hamil dan janinnya, dan pekerjaan yang lain.

"Bisma!"

Bisma meniup udara keras. Dia sebenarnya ingin minum untuk membasahi tenggorokannya sejenak. Namun, niatnya dia urungkan. “Gimana, Mas?”

“Coba kamu cek pasien hamil baru yang datang. Katanya percobaan bundir."

Alis Bisma mengerut. "Bundir? Bunuh diri?"

"Iya, Dok," jawab Bella, perawat muda yang statusnya masih kontrak.

Bisma mengangguk-angguk. Dia lalu melangkahkan kaki selebar mungkin untuk mengejar response time yang ditargetkan kurang dari lima menit hingga pasien diperiksa dokter.

Namun, saat Bella menyibak tirai plastik di bilik triase, seketika mata Bisma membeliak lebar.

💕Dee_ane💕

Bingung deh ... Mana temen2 tahu lagi😪

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro