Interlude : Wanita di Balik Rumor dan Tragedi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruangan yang ditempati Lina cukup luas. Ada sofa berbentuk L dan meja kopi. Brankar tempat Lina berbaring ada di tengah ruangan. Di samping brankar ada meja nakas yang dipenuhi buah dan cemilan. Syams duduk di samping brankar menatap kecut Lina yang menyusui bayi perempuan.

"Mau dikasih nama apa itu bayi?" tanya satu-satunya pria yang berada di ruangan itu.

Lina melirik sejenak pria berambut putih keriting yang duduk di samping brankar.

"Hmn? Aku enggak nyangka kamu masih mau menanyakan nama anak ini. Bukannya nama anak ini sudah tidak penting lagi?" ucap Lina penuh sarkasme.

Tatapan Syams makin tajam. Alis pria itu bertaut dan napasnya makin menderu.

"Aku cuma butuh buat pencitraan. Siapa nama itu bayi?" tanya Syams dengan nada meninggi.

"Nanti kalau akta kelahirannya sudah jadi aku kirim ke kamu."

Syams berdecak lidah dan berdiri mendekati Lina. Masih dengan ekspresi yang sama Syams memegang bahu Lina.

"Masih kurang puas apalagi kamu? Aku sudah menuruti kemauanmu. Sekarang aku mau kita cerai!" tuntut Syams.

Lina menoleh ke arah Syams untuk pertama kali. Bibir wanita itu menjungkit miring ke atas.

"Kamu sudah jadi kepala BPK perwakilan Jawa Timur kan? Kamu yakin mau mengorbankan reputasimu?"

Kepalan tangan Syams makin menguat. Bibirnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu tidak sampai keluar dari tenggorokan. Ia hanya bisa menatap wanita di depannya dengan gigi yang bergemeletuk.

"Bagus kalau kamu sudah mengerti. Pada ujungnya, permasalahan kita tidak perlu diumbar seperti aib selebriti. Cukup hanya kita berdua yang tahu ini Syams. Sekarang kamu sudah dapat posisi yang kamu mau. Pejabat eselon dan auditor. Aku sudah memberimu jalan untuk ambisi dan idealismemu kan? Sedikit diam dan berbohong tidak ada salahnya. Begitu orang-orang melihat kesempurnaanmu, kawan dan lawan akan berdatangan. Itulah seni seorang politisi."

Ucapan Lina seperti duri di telinga Syams. Pria itu ingin membantah, tapi logika menghentikannya.

"Tenang Syams, aku tidak akan merepotkanmu. Kita bisa tinggal terpisah. Kau hanya perlu memastikan datang di waktu-waktu tertentu buat pencitraan. Aku tidak peduli kau mau selingkuh atau punya istri kedua. Lakukan apa yang kau suka. Aku hanya ingin membesarkan anak ini," tambah wanita yang tengah menggendong bayi itu.

Syams hanya bisa diam. Ia berjalan menuju pintu kamar. Tepat saat ia akan memutar daun pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka. Seorang remaja laki-laki masuk ke ruangan itu. Setelah remaja itu masuk, Syams pergi meninggalkan ruangan.

Lina tersenyum memperhatikan si remaja laki-laki yang bingung di depan pintu. Remaja itu membawa sekresek makanan dan sebuah duffle bag. Setelah menutup pintu, remaja itu meletakkan semua barang bawaannya ke meja kopi. Kemudian ia mendekati Lina untuk menengok bayi yang digendong wanita itu.

"Itu bapak-bapak kenapa, cemberut mulu. Padahal Mama habis operasi loh. Masa udah cemberut aja itu orang!" omel si remaja laki-laki.

"Arwin, dia itu ayahmu sekarang. Jadi yang sopan ya sama ayahmu," sahut Lina.

Dahi Arwin mengernyit sejenak lalu ia mengendikkan bahu.

"Iya. ngerti," balas remaja laki-laki itu. "Ngomong-ngomong Mama sudah dapat nama yang pas buat itu dedek bayi"

"Hmn, Mama belum punya ide nih. Bagusnya dikasih nama apa ya?"

"Kebetulan tadi pas pelajaran Biologi, aku ketemu nama yang bagus. Namanya 'Michelia', nama ilmiahnya bunga cempaka. Bagus gak Ma?"

Lina mengangguk setuju.

"Bagus namanya! Kalo gitu sekalian bantu Mama isi formulir buat akta kelahiran ya."

***

Lina bisa melihat keunikan anaknya sendiri. Di usia 11 tahun, Michel masih tidak suka sayuran. Michel menggeser wortel, kubis dan brokoli ke ujung piringnya. Sayur sop jelas bukan kesukaan gadis itu. Sementara ia memisahkan sayuran itu. Lina meletakkan sepiring ayam goreng krispi di depan gadis itu. Tangan Michel langsung melepas sendok dan bergerak meraih ayam goreng. Baru saja tangannya menyentuh ayam goreng, tangan Michel disambut oleh sendok sayur yang mendarat cukup keras.

"Enak banget kamu ya? Habiskan dulu sayurnya, baru makan ayam gorengnya!" tegur Lina.

Michel menarik tangannya dengan bibir manyun. Ia kembali mengambil sendok dan memakan satu brokoli. Lina duduk di depan anaknya dan mengambil piring makan yang tersedia di meja. Belum sempat mengambil nasi, seorang wanita paruh baya yang lebih tua darinya datang. Wanita tua itu mendekati ibu Michel dan membisikkan sesuatu. Mendengar bisikan itu, mengurungkan niatnya untuk makan. Ia dan wanita tua itu pergi meninggalkan meja makan.

Mereka pergi ke halaman depan yang luas. Halaman itu didominasi oleh tanaman anggrek yang menggantung di sana sini. Bunga-bunga anggrek bermekaran memenuhi halaman dengan warna-warna kombinasi putih, kuning, hijau, dan ungu.

"Bibi, di mana barangnya?" tanya Lina membuka suara.

"Di sini Mbak Lina!" jawab wanita tua itu yang tergopoh menuju ke arah bunga anggrek yang bermekaran.

Wanita yang dipanggil Bibi itu mengambil sarung tangan karet sejenak. Kemudian ia menyibak bunga-bunga anggrek yang bermekaran itu hingga terlihat sebuah kaleng makanan bekas dengan selotip hitam. Bibi mengambil kaleng itu dan membuka selotipnya.

Lina berdiri tepat di samping Bibi, menyaksikan kaleng makanan yang mencurigakan itu dibuka. Pertama kali terbuka bau anyir dan busuk tercium. Bangkai burung dan sebuah bungkusan plastik berwarna putih terlihat di dalam kaleng itu.

"Bi. Buka plastik putih itu," titah Lina.

Bibi menuruti dan membuka bungkusan putih itu. Sebuah kertas yang dilapisi plastik terlihat. Bibi meletakkan kertas itu di atas tanah hingga Lina bisa melihat tulisan yang ada di sana.

'JANGAN IKUT CAMPUR DENGAN DANA HIBAH PAK GUBERNUR ATAU ANAK ISTRIMU MATI'

Lina menghela napas panjang setelah membaca isi kertas itu. Wajah khawatir terpeta jelas di wanita itu.

"Syams kayaknya lagi giat-giatnya kerja nih," celetuk Lina.

"Gimana itu Mbak? Ini sudah surat yang ke tiga. Apa bapak sudah tidak bisa dihubungi? Saya khawatir Mbak Lina kenapa-napa," sahut Bibi.

"Bibi tenang aja. Aku sudah berusaha menghubungi Syams, polisi sama pengacara juga. Yang penting kita kumpulkan bukti-bukti ini dulu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro