Rhyme 1 : Bertiga Berlibur ke Bali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arwin dan Michel kini berdiri bersebelahan, menatap buntalan kasur spons dan jok mobil yang tertata rapi di samping sofa ruang tamu. Kakak beradik ini hanya bisa geleng-geleng melihat seorang pria yang hampir berumur setengah abad itu meletakkan bantal dan guling di atas buntalan kasur spons.

"Ayah punya ide aneh apa ini?" tanya si adik perempuan.

"Jangan bilang ayah mau liburan ke Bali pake mobil. Ayah tau gak sih, nyetir dari rumah ke Bali itu 9 sampai 15 jam?" ujar si kakak laki-laki.

Pria yang lebih tua malah tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Seperti anak kecil yang kegirangan melihat mainan kesukaannya.

"Tau kok. Justru karena itu Ayah berpikir, kita harus naik mobil ke Bali. Kan asyik, bisa tidur di mobil. Jadi ayah enggak perlu keluar uang buat booking hotel," jawab pria itu.

Arwin langsung memijat pelipis mendengar jawaban itu. Sedangkan Michel malah terbakar emosi.

"Ayah ini pejabat eselon satu lho! Pelitnya itu loh! Apa gunanya ayah kapan hari pamer beli vila di Bali?!" gerutu Michel.

"Vila-nya lagi disewa orang," jawab Ayah enteng.

"Kayak di Bali kurang hotel aja," omel Arwin.

"Udah. Ikut aja sama ayah," ujar Ayah berusaha meyakinkan dua anaknya.

"Enggak!" balas dua kakak beradik itu berbarengan.

Ayah menghela napas dan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Sedangkan kedua anaknya memberikan tatapan tajam penuh tuntutan.

"Yaudah, ayah booking kamar hotel. Tapi di hotel tempat acara keluarga besar ya?"

Tawaran Ayah disambut anggukan setuju dari kedua anaknya.

"Di mana aja boleh, asal kita enggak tidur di mobil. Kalo perlu, nanti booking kamar yang double bed aja. Biar ayah yang tidur di mobil," celoteh di anak perempuan.

"Kejam sekali anak-anaknya ayah nih," oceh Ayah sambil buang muka.

Alis Arwin terangkat begitu mendengar ocehan pria yang lebih tua.

"Lebih kejam mana sama pejabat eselon satu yang pencitraan jadi gembel?"

***

Setelah dua jam perjalanan, suara deru mesin dan roda mobil dan suara ngorok dari belakang bangku kemudi saling berlomba lebih keras. Di balik kemudi, Michel konsentrasi penuh mengarahkan mobil menuju ke arah exit tol Probolinggo. Di samping kursi kemudi, Arwin tengah asyik mengunyah kerupuk upil.

"Michel, nanti berhenti sebentar ya di rest area yang deket Paiton. Beli kopi dulu," ujar si kakak.

"Oh, kakak mau gantian nyetir? Bagus dong!" sahut Michel girang.

"Kalo kakak enggak ngantuk. Pokoknya kita berhenti dulu di sana. Kakak pengen ngobrol bentar sama Michel."

Si adik tidak menanggapi. Ia menyempatkan melihat jam di panel layar speedometer. Gadis itu mulai memperdalam gas. Jalanan mulai sepi sehingga memudahkan Michel yang mulai melihat ke lajur lawan arah. Saat marka garis putus-putus lajur kanan kosong, Michel mulai mendahului kendaraan di depannya. Hanya dalam kurun waktu sekitar satu jam, Michel berhasil masuk Rest Area Utama Raya.

Kedua kakak beradik itu turun dari mobil. Keduanya menyempatkan diri ke toilet sebentar. Setelahnya mereka menuju kafe. Rest area Utama Raya cukup terkenal karena fasilitasnya yang lengkap. Mulai dari SPBU, supermarket, toilet yang bersih, kafe dan restoran. Michel dan Arwin memesan kopi dan memilih duduk di kursi outdoor.

Arwin menyeruput kopi sejenak sebelum ia mengeluarkan kotak rokok dan koreknya. Si adik perempuan kini memakan kerupuk upil sisa kakaknya. Setelah menyulut rokok, pandangan Arwin tertuju pada adiknya.

"Michel, kamu di rumah gimana? Masih takut gelap?" tanya Arwin memulai pembicaraan.

"Takut gelapnya masa depan? Atau gelap beneran?"

"Gelap beneran."

"Lebih ke gak bisa tidur sih, ketimbang takut gelap. Di rumah sepi. Ayah sama kakak kan pulang dia minggu sekali, itupun kalo jadi pulang. Bosen Michel di rumah sendirian."

Arwin hanya bergumam setelah mendengar penjelasan adiknya. Pria itu menyandarkan punggung ke kursi, kakinya terbuka, kedua tangan rileks di atas sandaran tangan. Ia menatap si adik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelah menghisap rokok, laki-laki itu kembali membuka percakapan.

"Michel. Kalo ayah nikah lagi, menurutmu gimana?"

Si adik perempuan terdiam, berusaha mencerna perkataan kakaknya.

"Ayah nikah lagi? Bukannya yang seharusnya nikah itu kakak? Kakak gak berusaha jadi bujang seumur hidup kan?" balas Michel.

"Ya kakak mau nikah juga. Kakak mau melamar pacarnya kakak. Ayah juga mau nikah lagi," jelas Arwin.

Dahi si cewek berambut uban kini berkerut. Mulut ternganga dan pandangan lurus ke arah Arwin.

"Bentar-bentar, ini ayah beneran mau nikah lagi? Jadi yang ayah obrolin di grup WhatsApp itu beneran?" tanya Michel lagi.

Si kakak memilih diam. Membuat kerutan dahi Michel semakin tajam.

"Kok gitu sih? Emang ayah enggak merasa bersalah? Ayah lho baru muncul di hidupnya Michel pas Mama mati. Dulu ayah kemana aja? Jadi garangan di BPK?"

Sekali lagi Arwin memilih diam. Ia hanya mengamati respon si adik. Gestur dan posisi duduknya tetap tidak berubah. Seakan-akan pembicaraan ini hanyalah pembicaraan basa-basi yang tidak penting.

Michel menghela napas panjang. Air muka gadis itu berubah seketika setelah melihat tanggapan si kakak. Ia menilik jam tangannya lalu berdiri sambil menggendong kerupuk upil yang sedari tadi dicemili.

"Ayok berangkat lagi. Michel pengen nanti subuh nyebrang ke Gilimanuk. Jadi lepas pelabuhan Michel bisa tidur," ujar si gadis berambut uban.

Gadis itu langsung beranjak menuju area parkir mobil. Sedangkan Arwin menghisap rokoknya, lalu menekan ujung bara rokok ke asbak. Pria itu berdiri sambil mengusap tengkuknya yang tidak gatal.

"Duh, besok repot ini. Musuh dua kepala batu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro