F. Biasa, Klasik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kamar kos adalah tempat bernaung paling menentramkan di dunia. Tempat favorit Zona yang tidak akan bisa digantikan karena tentu saja dekorasi kamar yang penuh hangat. Jika lampu dimatikan, stiker aneka ukuran berbentuk bintang telah bersinar. Cahaya lembut dari sudut dinding terdapat warm white lamp. Hangat sekali, menambah suasana peristirahatan sempurna.

Zona harus melepas semua penat dan bebannya terkait masalah kampus dengan tidur siang. Dia lebih baik menikmati kedamaian sesaat demi melupakan tatapan kesal teman-temannya di area jurusan Akuntansi. Namun, niatnya urung saat Laras sudah duduk menatap laptopnya sendiri.

Tanpa harus bertanya, Zona hafal jika Laras mengungsi di kamarnya. Teman sekamar Laras sedang belajar kelompok dan rumpi segala macam. Jadi, Laras butuh ketenangan demi bisa menonton serial drama yang bikin air matanya tumpah ruah.

Omong-omong soal Laras, kenapa cewek itu bisa masuk ke kamar Zona selagi sang empu kamar ada di kampus? Tentu saja apa sih yang tidak diketahui Laras? Keduanya terlalu plek ketiplek, lengket dan saling mengandalkan. Segala rahasia tentang Zona, dapat diketahui termasuk letak anak kunci kamar yang sengaja ditinggal di tumpukan rak sepatu. Satu-satunya orang yang bisa mendapat izin keluar masuk hanyalah Laras. Laras sendiri gampang mengambil apa saja di dalam kamar Zona, terutamabl barangnya sendiri yang ditinggal secara sengaja.

Secara tidak langsung, kamar Zona adalah kamar Laras. Hampir semua anak indekos maklum kalau Laras adalah teman sekamar Zona, atau yang lebih ekstrim, Laras itu penunggu kamar yang doyan mojok di kasur sambil nangis tersedu-sedu.

"Maklor depan gang pesenan gue mana?" tagih Laras mencopot headphone-nya.

Zona mematung di depan pintu kamar. Dia lantas menepuk kepalanya sendiri, lupa bahwa Laras memang pesan makanan sejak sebelum Zona berangkat ke kampus.

"Sori, lupa!"

Laras mengerucutkan bibirnya. Sebal setengah mati. Gadis itu sudah pasti kelaparan menyaksikan makanan-makanan Korea yang disuguhkan secara indah.

"Yah kalo gini, gue malah kelaperan terus." Laras menggerutu.

"Pesan sama anak lain aja yang lagi keluar," ujar Zona seraya melepas tas ransel, kerudung paris dan kaus kaki.

Kamar Zona berada di barisan strategis. Kosan berbentuk L terdiri dari 18 kamar yang dibagi dua lantai. Gadis itu berada di lantai bawah, yang mana terdapat satu lorong panjang. Di sisi muka adalah pintu masuk. Sementara di ujung lorong lain adalah tangga untuk akses lantai dua. Siapapun yang wira-wiri bisa dipantau olehnya. Jika ada yang ketahuan keluar, biasanya anak-anak bawah langsung titip segala macam.

"Yuhu.... Titip ke Indah aja. Barusan dia keluar, beli makanan. Lo gak titip juga?"

"Gak deh." Zona menyambar. Pasti suasana bakal canggung karena bukan pertama kalinya Indah sengaja tidak menyapa Zona. Zona tahu diri dan tahu batasnya.

Kalau bukan Zona duluan yang menyapa, adik tingkatnya itu juga tidak bakalan menyapa balik setelah lebih dari tiga hari diam-diaman.

"Gue hari ini nggak masak loh, Na."

Zona otomatis cemberut. Padahal tadi pagi Zona belain belanja banyak sayuran buat santap siang bareng Laras. Ternyata Laras lebih suka sarapan tampang konyolnya Lee Junki.

"Nasi gak ada juga?"

"Gak."

Zona menghela napas lesu. Dia mengintip rice cooker yang colokannya sudah dilepaskan sejak semalam. Demikian wadah nasi yang keraknya belum direndam agar mudah dicuci. Mana wadahnya sudah rusak, keraknya menempel dan rontok kalau direndam lama. Jika seperti ini, dia akan kelaparan sampai satu jam ke depan. Padahal Zona sangat berharap bisa langsung makan di kosan.

Zona bergegas mengganti baju, tetap diam mengerjakan semua pekerjaan yang mestinya dilakukan Laras. Aroma bumbu menambah lapar dan menggugah rasa. Ketika lampu rice cooker beralih ke hijau, Zona langsung mengambil centong nasi.

"Tumben lo makan pedes?" tanya Laras, masih di kasurnya.

Zona memang jarang makan pedas. Gadis itu tidak kuat makan cabe. Pencernaannya lemah. Jika dipaksa makan cabe pun, dia cuma menggigit pucuknya. Setelah itu tidak mau makan apapun. Benar-benar mirip selera anak kecil. Tidak heran di awal kuliahnya, Zona langsung kena radang lambung. Mencari makan itu sulit sesuai selera Zona. Hampir warung-warung sekitar menjual makanan dengan rasa pedas. Akhirnya Zona sering menahan diri untuk tidak makan daripada kepedasan terus.

Sekarang satu cawan sambal tersaji di depannya, berpadu dengan nasi, tempe dan tumis brokoli.

"Lagi pengen."

"Lo gak bakal pengen kalo tiba-tiba lo stres, Zona," kata Laras. "Ada masalah apa?"

Belum sempat berkata apapun, terdengar ketukan pintu di luar. Sebenarnya ketukan itu tidak penting, toh pintu dibiarkan terbuka. Indah berdiri di sana dengan sekantong maklor.

"Nih, Mbak." Indah menyodorkan tas plastik. Mestinya dia langsung masuk saja, tetapi Indah tetap berdiri di sana.

"Masuk aja kali," perintah Laras.

"Ambil dulu Mbak, kebelet banget nih ke kamar mandi." Indah langsung ngacir, meletakkan makaroni telor aroma balado di depan pintu.

"Ini anak gak sopan amat," dumel Laras, beringsut turun dan mengambil maklor. "Aha.... Mashita!" ucapnya meniru lakon drama. Bikin Zona mual melihat temannya kecanduan negara Korea. Baiklah, Laras hari ini pemuja aktor Korea, nanti malam jadi pemuja aktor India. Dia bebas.

Zona enggan perlu berkomentar. Dia sangat memahami bahwa Indah memang enggan masuk ke kamar cewek yang bikin Hoki lupa ingatan siapa pacarnya dan siapa temannya. Tidak heran kalau Indah bisa cemburu dan iri pada kedekatan Zona gara-gara asal mereka yang satu kota.

"Lo jarang makan pedes, apalagi cuma pengen. Asumsi gue, makanan pedes cuma buat mengalihkan pikiran."

"Teori dari mana?" tanya Zona.

"Nih!" tunjuk Laras pada laptopnya. Kebetulan si aktor sedang mengamati ceweknya yang makan kepedesan. Air matanya bukan semata karena tidak tahan kadar capsaicin yang ada pada cabe, tetapi air mata itu bersumber dari semua masalah yang tidak bisa ditanggulangi secara mudah.

"Drama banget. Nggak lah!"

Zona meneguk air minum dengan gugup. Untung tidak keselek. Teori konyol itu ada benarnya.

"Ngaku! Apa yang kau sembunyikan!"

Lah lah....

Laras berlagak investigator. Zona tersangkanya. Dalam suasana lagi makan siang pula. Zona jadi pusing sama tingkah absurd si maniak film.

"Biasa, klasik." Zona mengaku, tetap melanjutkan suapan di mulutnya. Napasnya pendek-pendek disertai keringat yang muncul. Empat biji cabe terlalu menyengat di seluruh rongga mulutnya.

Laras mengerti. Tetap menggigit potongan kenyal maklor. Rasanya memang tidak enak tanpa saos kacang.

"Pantesan lo gak mau titip ke Indah pas gue suruh lo beli makan di luar aja," gumamnya.

Kata klasik berarti masalah si Indah. Laras sama pahamnya dengan Zona. Tidak heran cewek ini paling gergetan menyuruh Zona buat menjauh dari Hoki. Sudah terhitung dua kali Laras mendamaikan kedua cewek itu—utamanya Indah yang childish banget.

"Masalahnya apa lagi?" tanya Laras, semakin bosan.

"Tahu deh. Tapi kata Zona tadi, Indah ngajakin putus gara-gara gue. Emang gue cewek kaya gimana sih, sampai si Indah ini rusuh melulu."

"Lo? Cakep aja kalah sama Indah."

"Gue akuin."

Keduanya cekikikan. Zona dan Laras sepakat, kali ini membiarkan Indah bertindak semaunya. Cewek itu yang menimbulkan masalahnya sendiri, juga harus menyelesaikan pula. Perkara tegur sapa atau tidak, terserah amat bagi sepasang sahabat yang lengket sejak awal tahun kuliah.

"Tapi hebat ya lo, bisa temenan sama cowok sekeren Hoki. Kan dia jadi idola di kalangan maba. Emangnya lo gak pernah gitu naksir dia?"

"Gak."

Satu kata penuh dusta itu membuat Zona gemetar. Dia tidak hanya membohongi orang lain. Namun, yang paling menyedihkan adalah dirinya sendiri. Demi melindungi ancaman dari kehilangan seorang cowok yang disukainya, Zona lebih suka terluka sendirian.

"Kalo Hoki, pernah naksir lo gak?"

"Enggak. Katanya gue bukan tipe idealnya." Zona mengedikkan bahu. Dia mencoba mengingat kapan Hoki pernah bicara seperti itu.

Ternyata hampir setiap waktu Hoki mengatakannya, terutama karena saat ada pertanyaan apakah mereka pacaran atau tidak.

Pahit sekali rasanya mendengar kata itu, langsung dari Hoki. Pemuda itu pernah bilang kalo hubungan mereka bakal awet sebagai teman seumur hidup. Matanya tidak pernah melirik Zona kalau bukan karena mengandalkan otak gadis itu. Bagi Hoki, Zona adalah gudang informasi tentang dunia cewek.

Zona menunduk, hanyut dalam kenangan saat patah hatinya yang pertama.

***

First Writing : 03 Agustus 2019

Trying to be better  : 20 Maret 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro