02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku ga begitu paham," gerutu [Nama]. "Sebenarnya apa masalahmu?"

Berlagak seolah tidak mengerti, Karma mengangkat kedua bahu dan membuka koper tidak tahu menahu.

Sesampainya di penginapan, Karma tidak membuang waktu untuk segera menginjakkan kakinya di lantai dingin, menyeret [Nama] dan meninggalkan Terasaka seenaknya.

"Tidak ada." Karma menjawab tanpa menoleh.

"Aku rasa akan menyenangkan menghabiskan waktu bersama," sambungnya. Sesaat [Nama] tertegun, berpikir bahwa Karma mungkin memang merindukan masa-masa mereka menghabiskan banyak waktu bersama, tapi suara jahil di lidahnya membuat [Nama] menarik kembali asumsinya.

"Tentu saja kau berpikir seperti itu." [Nama] memutar bola matanya, jelas-jelas tidak mempercayai pria berambut terang itu.

Melangkahkan kakinya menuju balkon kamar, udara dingin menyebar masuk menerpa kulitnya. Pemandangan pohon sakura besar yang belum mekar menyambutnya.

"Kalau kau pandangi terus, bisa-bisa pohon itu rubuh."

"diam kau."

Terkekeh mendengar tukasan tajam [Nama], Karma melangkah pelan, berdiri di sampingnya.

"Kapan terakhir kali kita bertemu?" tanyanya tiba-tiba. Mengira-ngira berapa banyak waktu mereka terbuang untuk pekerjaan mereka masing-masing.

[Name] entah sedang menghitung hari dan bulan, atau tidak mencoba mengingat sama sekali menjawab, "tidak tahu. Toh juga tidak penting."

Karma melirik wanita di sebelahnya sejenak, senyum kecilnya masih tidak hilang. "Oh, ya?"

"Bagiku hal semacam ini sangat penting." Mata keemasan menatap lurus matahari yang mulai tenggelam, mewarnai langit dengan warna jingga familiar.

"Bagaimana pun kita sudah saling mengenal sejak masih bayi."

"Masih bayi itu terlalu berlebihan, kita baru bertemu saat TK."

"Kau mengingatnya?"

"Tentu saja, sialan. Kau membuatku menangis di hari pertama aku sekolah."

Hari itu adalah pertama kalinya [Nama] mengenal dunia luar, sambil menggandeng ibunya ia tiba dengan harapan mencari lebih banyak teman dan berusaha mencari jati dirinya di masyarakat.

Tapi di langkah pertama untuk menggapai hidup damai dan stabil, bocah berambut semerah api langsung menghancurkan dengan komentar tak diundang.

"Ibu, lihat. Rambutnya seperti sapu lidi."

Setelah itu, [Nama] dikenal sebagai anak yang dapat menangis sekencang pengeras suara.

"Kau belum minta maaf untuk yang waktu itu."

"... mau mandi bareng?"

"Bajingan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro