15- Kita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dean!" pekik Lifa ketika melihat cowok itu muncul di depan pintu dan tiba-tiba terjatuh.

Buru-buru Lifa mendekati Dean beserta teman sekelas lainnya. Wajah pucat, panas tinggi, serta bibir bergetar hebat seraya mengucapkan maaf menambah kesan menyedihkan cowok itu. Lifa menjadikan pahanya sebagai penyangga bagi kepala Dean.

"Maaf?" Gadis itu berucap lirih dengan mata menatap sedih ke arah Dean yang tak berdaya.

"Fa, minggir. Biar kita bawa ke UKS."

Gani datang membelah kerumunan dan sigap membawa Dean bersama dua teman cowok lainnya. Tak mau ketinggalan, Lifa juga bergegas mengikuti teman-teman yang membawa Dean ke UKS. Dalam hati dia terus berdoa agar keadaan cowok itu tidak terlalu parah dan bisa ditangani oleh obat yang ada.

Ketiga remaja itu meletakkan Dean di atas brankar. Dua dari mereka melenggang setelah pamit pada Gani dan Lifa, jadi tinggallah sepasang sahabat di sana sembari duduk di samping tempat Dean berbaring.

"Gan, sebelumnya Dean pernah kayak gini gak?"

"Gak pernah. Gue baru lihat dia kayak gini."

Lifa menangkupkan wajah seraya menatap wajah Dean yang tenang. Jantungnya berdetak tak karuan hingga membuatnya kesulitan mengatur ritme alat pemompa darah tersebut. Sudah jelas bahwa dia benar-benar menyukai Dean. Lifa menunduk, meringis di dalam hati.

Pasti sulit berada di dekat Dean sebab cowok itu menyukai kakaknya. Lifa menggeleng cepat, berusaha mengusir pikiran yang tak semestinya ada. Dia tidak mau menggeser posisi sang kakak di hati cowok ini. Gadis itu membuang napas panjang, lalu beralih menatap Gani.

"Gan, kenapa gue suka sama Dean?" Lifa tahu pertanyaannya sangat konyol, hanya saja dia masih tidak percaya bahwa hatinya malah memilih Dean.

Gani menepuk pundak Lifa dua kali sambil tersenyum. "Udah takdirnya. Lo, 'kan gak bisa ngatur perasaan buat suka sama siapa aja."

"Lo bener." Lifa kembali menelungkupkan kepala, meratapi nasib.

"Ya udah, lo jagain Dean. Gue masih harus ngecek tim basket," pamit Gani dan kembali menepuk bahu sahabatnya sebelum berlalu dari sana.

Wajah cemberut menghiasi wajah ketika menatap Dean. Tangannya tergerak menyentuh dahi cowok itu dan seketika meringis ketika panas merambat ke kulitnya. Lifa tersenyum kecut mengingat perkataan Gani waktu itu.

Katanya sedari kecil Dean sudah dicekoki berbagai buku pelajaran. Cowok di depannya dididik untuk mengalahkan orang yang berada di atasnya dan menjadi satu-satunya yang terbaik. Akan tetapi, Gani pernah mengungkapkan bahwa Dean sepenuhnya tak menginginkan itu.

Lifa meringis, ke sekolah bagi Dean dalam kondisi tidak sehat seperti ini pasti bukan keinginannya. Tangan kurus gadis itu terangkat, menyentuh rambut Dean dan mengusapnya.

"Pasti berat di posisi lo," ucapnya sambil tersenyum.

"Ma-maaf ... m-maaf."

Lirihan Dean kontan membuat Lifa terperanjat. Lagi-lagi cowok yang masih memejam rapat ini kembali mengucapkan maaf. Gadis itu terdiam sembari berpikir. Entah apa yang membuat Dean selalu mengucap maaf? Sepertinya hal buruk telah menghantui cowok itu.

"Dean," panggilnya.

"Maaf."

Hanya kata maaf yang Lifa dapatkan. Ini memang bukan urusannya, tetapi sikap manusia yang pada dasarnya memiliki rasa keingintahuan tinggi membuat gadis itu semakin memupuk rasa penasaran dan ingin menyelami kehidupan Dean lebih dalam.

"Maaf!"

Lifa lagi-lagi terperanjat saat Dean berteriak dan langsung membuka mata. Bukannya takut, dia kembali mendekati Dean yang napasnya memburu, bulir-bulir keringat muncul di dahi. Dia segera meraih tisu dan menghapus keringat cowok itu.

Belum sepenuhnya selesai, Dean langsung mencekal tangannya. Mata memerah Dean menatap sayu ke arah Lifa. Cukup lama mereka saling tatap, berusaha menyelami pikiran masing-masing. Sampai ketika Dean langsung memeluk gadis itu dan menangis di sana.

Tak ada percakapan apa-apa, yang ada hanya suara tangis Dean memenuhi ruang UKS. Lifa mematung di tempat, kesulitan bergerak karena pelukan cowok ini terlalu erat. Tahu tangannya dapat bergerak bebas, dia menepuk-nepuk punggung Dean hingga membuat air mata semakin berderai deras.

"Nangis aja, Yan. Keluarin aja semua," titah Lifa dengan suara lembut.

"Gue capek, gue gak mau jalani hidup seperti ini."

Lifa mengangguk meski tak sepenuhnya mengerti. Dia tidak ingin menyela dan membiarkan cowok itu mengungkapkan segala isi hati terlebih dahulu. Tak selamanya masalah yang diceritakan meminta solusi, terkadang kita hanya butuh seseorang untuk mendengar keluh kesah yang terkepung di dalam sana.

"Gue mau bebas ...." lirih Dean.

~~~

Hari ini sekolah berakhir tanpa ada pelajaran yang masuk ke dalam otak seorang Dean. Dia tersenyum tipis merasakan perasaan bahagia mengingat ini adalah hari pertamanya ke sekolah tanpa belajar sama sekali. Selain itu, apa yang dia rasa sekarang juga karena kehadiran Lifa. Gadis itu sama sekali tak membiarkannya sendiri saat di UKS.

Sampai sekarang pun ketika menginjakkan kaki di halte bus, Lifa masih berada di sampingnya. Dia menatap gadis itu tanpa berkedip. Sebelumnya dia pernah berada di halte ini bersama Almira karena ingin ke tempat les bersama, tetapi bersama Lifa semua berbeda. Dia di sini karena ingin mengikuti gadis itu pulang.

"Lo yakin mau ke rumah gue?" Lifa menggaruk-garuk kepala saking bingungnya.

Dean mengangguk seraya tersenyum tipis. "Gue gak mau pulang."

Tanpa berbicara lagi, Lifa mengangguk sebagai jawaban dan membuat Dean bernapas legah. Setidaknya dia tidak pergi terlalu jauh, dia ingin ke tempat yang tak ada sang mama di sana.

"Tapi, lo lagi sakit. Harusnya lo pulang ke--"

"Gue bisa istirahat bentar di rumah lo sebelum balik," putus Dean tanpa menatap Lifa di sebelahnya.

"Ya udah, lo bebas ngerepotin gue hari ini."

Mereka kompak saling tatap dan melempar senyum. Ketika bus tiba kedua manusia itu segera masuk ke dalam sana. Keadaan berubah jadi canggung hingga Lifa berulang kali berdeham, sedangkan Dean pura-pura tidur dengan menyandarkan kepala di jendela.

Tak membutuhkan waktu lama, mereka berdua telah tiba di rumah Lifa. Gadis itu menyuruh Dean duduk lebih dulu, lalu kembali keluar dan masuk ke rumah lagi dengan dua buah kantung kresek di tangan. Dia berlalu ke kamar untuk berganti pakaian dan menyediakan hal-hal lain yang dibutuhkan, seperti makanan dan obat.

Selagi menunggu, Dean memperhatikan sekeliling ruang tamu. Dia tersenyum begitu melihat foto di sudut ruangan. Dua anak kecil saling merangkul, bingkai berikutnya ada Lifa dan Almira saling melempar senyum lebar. Di sebelahnya lagi ada foto Almira memegang sebuah piala.

Dean meraih foto tersebut, menatap dengan sorot sedih. Dia tidak menyangka Almira telah tiada. Dia mengusap air mata yang tiba-tiba menetes dan tangannya berusaha mencari sesuatu di dalam tas. Sebuah sticky note terletak di telapak tangan kanannya, dan tangan kiri memegang foto Almira.

"Ra, ini sticky note lo. Maaf karena isinya udah gue baca. Suatu saat nanti gue bakalan kasih ini ke Lifa." Dean mendongak seraya membuang napas kasar. Sampai kapan pun dia akan terus meneteskan air mata jika mengingat Almira sebab rasa bersalahnya.

"Gue gak bisa hidup kayak gini lagi, Ra. Maaf juga karena gue hadir di dunia ini sebagai adik tiri. Harusnya gue gak dilahirkan dan buat segalanya jadi runyam."

"Dean, makan dulu, yuk."

Mendengar suara Lifa semakin mendekat, Dean buru-buru menghapus air mata dan menyimpan sticky note ke dalam tas. Tak lupa foto Almira diletakkan di posisi sebelumnya. Dia segera bangkit saat Lifa datang bersama dua mangkuk bubur dan dua cangkir teh.

"Makan dulu. Nanti gue kasih obat."

Dean tak bisa berkata apa-apa selain memendam perih. Senyum palsu yang dia tampakkan begitu menyesakkan dada.

"Makasih, Fa."

~~~
Day 15

Gak lama lagi ending, nih.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro