19.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebungkus plastik besar teronggok di dekat kaki Seokjin. Sementara dia sedang duduk di sebuah ayunan, dengan tangan yang memegang kopi kaleng dari mesin penjual minuman. Kali ini dia tidak sendiri, Minji berada tepat di sampingnya dengan kaleng kopi yang sama. Keduanya tidak banyak bicara, hanya ada suara jangkrik yang mengusik ketenangan mereka.

"Jadi, kau kenal dengan adikku?"

Minji menoleh ke arah Seokjin yang masih menatap lurus kolam air mancur. Gadis itu menghela napas, kemudian meneguk kopinya dengan pelan.

"Jauh dari itu. Kami berpacaran."

Seokjin menoleh cepat, alisnya mengerut karena cukup terkejut dengan fakta yang menamparnya.

"Maksudku, kami setuju untuk pacaran. Aku mempunyai misi, dia pun begitu. Hanya saja, sampai saat ini dia belum menjelaskan misi nya."

Seokjin membuang napas, kemudian menatap Minji ragu. Dia tidak ingin tahu lebih jelas apa misi mereka berdua, itu bukan urusannya sama sekali.

"Apa kau pernah melihatnya bertingkah aneh? Maksudku, apa dia terlihat seperti orang kesakitan?"

Minji mengangguk. "Beberapa saat, aku melihatnya sangat pucat. Bahkan berkeringat hebat. Dia terlihat menjaga jarak, tapi kami memang tidak pernah begitu dekat."

Seokjin menatap Minji dengan lekat. Dia ingin sekali memberitahu kondisi Taehyung yang sebenarnya. Hanya saja, dia tidak yakin hal ini sesuatu yang benar.

"Katakan saja padaku," ujar Minji sambil memalingkan wajah, menyesap kopinya perlahan.

"Apanya?" Seokjin kini menoleh menatap gadis itu.

"Dari kedua matamu aku bisa melihat kalau kau ingin mengatakan sesuatu hal yang penting. Kalau itu memang hal yang harus kuketahui." Minji menatap Seokjin yang masih menatapnya. "Katakan saja."

Ada jeda sebentar sebelum Seokjin menghela napas. Dia menyesap kopi sampai habis dan meremukkan kalengnya.

"Baiklah. Kuharap kau membantunya keluar dari penderitaan ini."

~

Minji tidak bisa berpikir jernih setelah Seokjin menjelaskan semuanya. Dia bahkan menolak untuk diantarkan oleh Seokjin, atau dibuatkan makan malam. Minji butuh waktu sendiri, dan dia harap pikirannya benar-benar matang untuk melakukan hal yang benar.

Gadis itu berakhir duduk di pinggir trotoar, masih dekat dengan gedung apartemen Seokjin.

"Philophobia, kau tahu? Itu sebuah penyakit mental dimana orang tersebut takut akan jatuh cinta."

Minji menarik ponsel di saku dan mulai mengunjungi beberapa situs demi mengetahui lebih jauh penyakit tersebut. Setelah beberapa menit dia membaca, helaan napas terdengar.

"Ternyata seperti itu. Astaga, lalu aku harus apa?" gumam Minji sedikit frustasi. 

Setelah dia melihat ke masa lalu, dia tahu kalau selama ini Taehyung berjuang keras untuk tetap terlihat normal di mata Minji. Bagaimana pria itu rela melakukan skinship meskipun setelahnya dia terasa ingin pingsan.

"Tapi, kenapa saat itu dia menciumku, ya?" Pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Dari hasil riset kecil-kecilan Minji, perbuatan seperti itu akan membuat pria itu terasa sesak dan sengsara setengah mati.

"Kau sedang apa di sini?"

Minji terperanjat ketika suara berat itu memecahkan lamunannya. Dia buru-buru berdiri dan melihat Taehyung yang mengernyit bingung menatap Minji.

"A-aku ingin kerumahmu. Tapi, aku tidak tahu yang mana. Jadi, kuputuskan untuk tinggal di sini." Minji tergagap, dia tidak tahu harus beralasan seperti apa lagi ketika otaknya memaksa untuk banyak berpikir.

"Well, tidak perlu ke rumahku. Kalau kau butuh apa-apa, bisa menelepon dan aku yang akan menghampirimu," jelas Taehyung sambil memasukkan tangannya ke kantung mantel.

"B-baiklah. Kalau begitu, aku pulang dulu." Minji buru-buru melangkah pergi dari hadapan Taehyung. Setelah beberapa langkah berjalan, tangannya ditarik oleh pria itu. 

"Kau pikir akan pulang sendirian setelah bertemu dengan pacarmu?"

Minji menoleh dan menyunggingkan senyum dengan terpaksa. "Aku bisa pulang sendiri."

Taehyung mengangkat sebelah alisnya. "Ada apa denganmu? Kau sedang sakit?" tanya Taehyung setelah keningnya dibanjiri oleh keringat. Ketika Taehyung ingin menyentuh keningnya, Minji buru-buru menahan.

"Kau tahu mengapa dia memilih untuk menjadi penulis? Karena dengan pekerjaan itu, dia bisa berdiam diri di sebuah ruangan dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, dia tidak perlu bertemu orang lain selain editornya. Dia selalu merasa ingin pingsan jika didekati oleh seorang gadis, terlebih gadis itu terlihat menarik baginya."

Penjelasan Seokjin tadi membuat Minji menjauhkan tangan Taehyung. Pria itu mengernyit kesal, lalu berdecih pelan.

"Apa yang terjadi dengan dirimu, huh?" Taehyung terlihat kesal.

"Tidak ada. Sudahlah, aku bisa pulang sendiri."

Meskipun begitu, Taehyung tidak menggubris omongan Minji. Dia tetap naik bus yang sama, hanya saja dia menjaga jarak dan memilih untuk menjaga Minji dari belakang.

Setelah hampir sampai dekat rumah, Minji sudah tidak tahan untuk berpura-pura tidak ada Taehyung di sekitarnya.

"Kenapa?" Minji menghentikan langkah, Taehyung pun melakukannya. Gadis itu berbalik lalu menatap Taehyung yang sedang mengembuskan napas.

"Kau pacarku. Aku harus mengantarmu pulang."

Minji memutar kedua bola matanya dengan malas. "Kita bahkan tidak benar-benar berpacaran. Berhenti bersikap seolah semua ini hal yang sesungguhnya."

Taehyung mendengkus, dia melangkah untuk mendekat hingga tersisa satu langkah lagi dari Minji.

"Kalau begitu, kita tidak usah pura-pura lagi. Kita harus benar-benar berpacaran," kata Taehyung mantap. Minji terperangah, seiring dengan degup jantungnya yang meningkat. Dia akan senang sekali jika hal tersebut benar-benar terjadi. Harinya akan jauh lebih berwarna karena apa yang diinginkannya menjadi kenyataan.

Ya, Minji telah jatuh cinta dengan pria itu. Segala sesuatu tentang Taehyung membuatnya jauh lebih bahagia.

Hanya saja, dia tahu hal ini buruk untuk Taehyung. Lihat saja, pria itu bahkan sudah kembali pucat dengan keringat sebesar biji jagung. Minji menggigit bibirnya, mencegah tangis yang pecah begitu saja.

"Aku tidak melarangmu untuk berpacaran dengan adikku. Hanya saja, beri dia waktu untuk terapi hingga dia benar-benar sembuh. Kau harus memberinya semangat untuk itu, kau paham?"

Ucapan Seokjin terngiang lagi. Minji memberanikan diri untuk mengecup singkat bibir Taehyung sehingga pria itu sedikit terbelalak.

"Mianhae. Tapi, kita harus putus." Minji berkata dengan air mata yang tidak bisa dibendungnya lagi.

~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro