7.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Taehyung kembali ke rumahnya, meskipun pikiran tentang bumbu roman itu belum juga sirna. Dia berdecak pelan dan menutup buku Robert Galbraith—The Cuckcoo's calling—yang tengah dibaca. Semakin keras dia berpikir, rasanya semakin sulit untuk diaplikasikan di kehidupan nyata.

"Kau pulang cepat hari ini?" tanya Seokjin yang muncul dari balkon samping.

Taehyung meletakkan buku dan mantelnya, kemudian menjawab, "Tidak. Aku hanya ingin mengambil sesuatu di kantung celanaku kemarin."

"Maksudmu seperti kumpulan kertas?" tanya Seokjin. Taehyung mengangguk dan Seokjin nampak terkesiap.

"Soal itu, maaf. Aku mencuci celanamu tadi, dan aku kira itu lembaran uang. Tapi setelah aku mengeceknya, ternyata kumpulan kertas dan sudah rusak total. Aku masih menyimpannya kalau kau mau," kata Seokjin yang buru-buru ke balkon. Dia menyerahkan gumpalan yang sudah tak berbentuk seperti kupon makan gratis atau voucher belanja.

Taehyung hanya terdiam, meskipun dia merasa marah dan kesal. Dia tidak bisa menyalahkan Seokjin begitu saja, karena memang sudah tugasnya untuk membereskan hal-hal rumah tangga. Namun, sepertinya Seokjin menangkap sinyal emosi itu. Dia mendekati Taehyung dan menatapnya dengan penuh tanya.

"Kau marah denganku? Apa kertas-kertas itu sangat berharga?" Seokjin bertanya dengan sungguh-sungguh. Taehyung berdecih pelan lalu menggelengkan kepala.

"Sebenarnya aku kesal. Percuma juga marah denganmu, tidak mengembalikan keadaan. Tapi kalau kau mau membantuku keluar dari masalah, aku tidak keberatan," jelas Taehyung parau. Seokjin mengernyit, dia belum pernah melihat Taehyung sesuram ini.

"Jujur, apakah itu bukti transfer gajimu atau apa? Atau coretan ide yang lupa kau pindahkan?" Dari suaranya, Seokjin jelas khawatir. Kim Taehyung mengangkat tangannya, isyarat agar Seokjin tidak bertanya lebih jauh dan tak usah cemas.

"Untuk saat ini, aku tangani sendiri. Lebih baik kau memasak sesuatu, aku lapar."

Namun, Taehyung tidak duduk. Dia mengambil kembali mantel yang sempat diletakkan di kepala kursi.

"Kukira kau ingin makan?" kata Seokjin. Adiknya mengangguk dan menyambar tasnya.

"Aku akan makan setelah membereskan kekacauan ini. Aku pergi dulu."

Empat puluh dua menit kemudian, Taehyung sudah sampai di restoran cepat saji. Dia memesan dua cola, dua burger dan tambahan kentang. Kedua netranya menyapu ruangan yang tidak terlalu padat pengunjung, sampai akhirnya dia berhenti pada sesosok gadis.

Dia berlari terburu. Rambutnya tergerai sementara ujung rambutnya masih tersangkut ikat rambut. Mantelnya terbalik dan beberapa kertas menyembul dari dalam tasnya.

"Maaf menunggu lama," kata Minji sambil berinisiatif untuk duduk di depan Taehyung. Pria itu tersenyum simpul dan menyodorkan cola kepada  Minji.

"Minumlah, kau tampak lelah sekali."

Sebenarnya, tanpa disuruh pun Minji akan menyambarnya cepat atau lambat. Kerjaan di kantornya menumpuk, dan juga ada panggilan dari sekolahan Beomgyu—pemuda itu ketahuan membawa minuman beralkohol ke sekolah. Dia benar-benar kehilangan cairan, sampai-sampai berpikir dia akan pingsan sebelum bertemu dengan Taehyung.

"Maaf aku terlambat. Aku harus mengurus beberapa hal." Minji tersenyum singkat lalu merapikan rambut sebisanya.

"Langsung saja, aku ingin mengambil kupon-kuponku. Kau tidak lupa membawanya, kan?"

Senyum Taehyung spontan memudar. Dia menegakkan punggung, diiringi gerakan menyatukan kesepuluh jemarinya.

"Soal itu, aku ingin minta maaf terlebih dulu."

Minji mengernyit. "Kenapa? Apa kau sudah memakai salah satunya? Tidak apa-apa, Taehyung ssi. Aku memang berencana memberikan beberapa sebagai tanda terima kasihku. Aku juga—"

"Kuponmu hancur seperti ini," potong Taehyung sambil mengeluarkan gumpalan kertas yang masih sedikit basah. Kedua netra Minji membelalak, mulutnya bahkan terbuka karena keterkejutannya itu.

"Kenapa bisa jadi begini?!" teriak Minji spontan.

Taehyung menjelaskan kejadian yang sebenarnya, sementara Minji menyimak dengan saksama. Taehyung pikir, gadis itu akan menerimanya dengan lapang dada dan memaafkannya. Namun, dia mendapatkan reaksi yang berbeda. Minji tampak kesal dan dia terang-terangan menunjukkannya.

"Aku hanya menitipnya sebentar, tapi kau merusaknya seperti ini?!"

Taehyung berdecih pelan, menatap Minji tidak percaya.

"Aku tidak mengerti kau sangat marah terhadap hal sepele seperti ini."

Minji memejamkan matanya, emosinya memuncak dengan waktu yang sangat singkat. Dia berusaha tenang, tapi emosinya tampak akan meledak.

"Hal yang kau bilang sepele itu sangat berarti untukku. Kau tidak tahu apa-apa tentang usahaku, jadi kumohon hentikan bicaramu itu dan bertanggung jawablah!"

Minji pergi begitu saja, walaupun dia sempat menyinggung soal ganti rugi. Hatinya sesak, terlalu banyak hal yang menimpanya seharian ini. Sekuat-kuatnya batu, dia akan terkikis jika tertimpa oleh air hujan setiap hari. Begitulah kondisi Minji saat ini. Dia sangat marah, sampai-sampai dia tidak sadar kalau kedua netranya sudah menangis.

"Nona, tunggu," kata Taehyung yang menghentikan Minji. Gadis itu buru-buru menghela air matanya dan memasang tampang galak.

"Soal tadi, aku ninta maaf. Kau benar, aku tidak pantas bicara sembarangan soal usaha orang lain. Aku akan menggantikannya."

Minji mengernyit. "Tidak dengan uang, oke? Kau harus mencari kupon makan dan voucher belanja sebanyak-banyaknya."

Minji pergi lagi tanpa mendengar apakah Taehyung setuju atau tidak. Namun, Taehyung kembali menahannya.

"Apa lagi, sih?!" teriak Minji kesal.

Taehyung mengedikkan dagunya.

"Mantelmu terbalik. Jadi, sebelum kau semakin malu, lebih baik kau membetulkannya."

Minji melihat lalu buru-buru melepas mantelnya. Taehyung tampak menahan tawa, tetapi sebelum Minji semakin kesal dengannya, dia menjauh dan menyetujui keinginan gadis itu.

~

Unedited



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro