1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baru kali ini dalam seumur hidupku aku membiarkan dunia berjalan sesuai alurnya, bahkan cuaca mendung saat ini kubiarkan begitu saja.

Rasanya agak aneh.

Ingin sekali kugunakan kekuatanku untuk mengubah langit itu. Namun, aku tahu kalau kugunakan kekuatanku seenaknya untuk hal sepele semacam itu, pada akhirnya aku hanya akan terus mengubah kenyataan sesuai dengan apa yang kusuka.

'Sekali saja.... Sekali saja kuingin mencoba merasakan arus dunia ini,' yakin batinku. Karena aku tahu bagaimana datarnya dunia yang bergerak sesuai dengan kemauanku.

Bukan kali ini saja kenyataan kuubah, tapi sudah ratusan kali kuubah kenyataan yang ada.

Sebelum dunia saat ini, aku juga sudah mengubah Bumi menjadi dunia fantasi seperti yang ada pada buku-buku cerita. Awalnya aku penasaran dan ingin menjadi tokoh utama, seorang pahlawan yang disambut meriah setelah mengalahkan raja iblis.

Dan di akhir cerita, semua hal itu terwujud sesuai yang kupikirkan. Aku terus melakukan hal yang sama, mengubah konsep dunia demi kesenangan. Seiring silih berganti konsep dunia tersebut, aku pun mulai merasa bosan. Kebosanan itu muncul dalam sekejap setalah aku menyadari bahwa tak ada satu hal pun yang bisa melawan kekuatanku.

Semua hal, apapun itu, akan berubah sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Mereka tidak punya hak untuk menolak, seolah-olah membuktikan bahwa eksistensi mereka tidak nyata. Semua kesenangan yang kurasakan ini tak lain hanyalah ilusi yang kubuat sendiri.

Orang-orang tidak akan tahu kenapa mereka melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Mereka akan melakukannya secara natural. Tidak akan pernah tahu kalau semua itu akibat keinginanku sendiri.

Aku bisa menjadi apapun.

Aku bisa melakukan apapun.

Aku bisa mengubah apapun.

Akan tetapi aku tidak bisa mengubah pikiran serta emosiku.

Masalahnya berada pada kemampuanku untuk mengontrol kekuatanku sendiri.

Ratusan kenyataan kukorbankan supaya aku bisa menahan kemauanku dalam mengubah sesuatu tanpa sadar. Layaknya tubuh manusia, secara perlahan aku bisa menahan kekuatanku untuk aktif secara tidak sadar.

"Setelah seratus kali gagal, kali ini aku harus bisa menahan diri supaya tidak menghapus ataupun mengubah kekuatan orang lain," gumamku.

Dalam beberapa alur kenyataan sebelumnya, aku selalu tanpa sengaja menghapus kekuatan seseorang kemudian membunuhnya dalam kecelakaan setelah mereka mencoba menanamkan dominasi padaku.

Memang benar sikap mereka tidak layak, tapi reaksi pikiranku terlalu berlebihan untuk hal sepele semacam itu.

'Dunia tanpa pembulian, kah?

Aku ingin sekali memilih konsep dunia yang lebih santai dan tenang, tapi sayangnya aku tidak akan bisa berkembang di dalam dunia yang seperti itu.'

"...." Aku kemudian tersenyum, merasa bangga pada diri sendiri.

Meskipun aku sudah berpikir ingin mengubah dunia, tapi dunia saat ini tidak berubah.

Awan mendung yang masih sama.

Jam di tangan menunjukkan pukul 07.12.

Anak-anak remaja yang bergegas menuju pintu gerbang sekolah.

Dan kebisingan kendaraan yang berlalu di jalan.

Tak satupun hal yang berubah selain dari ekspresiku.

'Ini adalah suatu kemajuan!' batinku bersorak.

Hari ini adalah hari pertamaku sekolah di akademi. -Maksudku aku memang sudah pernah lulus dari akademi. Tapi, hari ini adalah hari pertamaku memasuki kehidupan sekolah tanpa mengubah kenyataan dalam prosesnya.

Aku berjalan cepat menuju gerbang akademi.

Sepasang pilar di sisi kiri dan kanan pintu pagar terlihat menopang dinding yang bertuliskan, "Akademi Pahlawan." sebagai sambutan. Di balik gerbang, ada sebuah gedung tiga lantai yang memanjang ke samping dengan atap segitiga, layaknya sebagaimana gedung sekolah. Di belakang gedung tersebut, masih terdapat satu gedung lagi dengan bentuk yang serupa.

Jika sesuai dengan apa yang aku pikirkan, akademi ini, sesuai namanya, merupakan akademi unggulan yang mendidik calon-calon pahlawan. Anak-anak murid yang masuk ke akademi ini pun termasuk ke dalam golongan anak-anak jenius.

Seharusnya kurang dari seratus orang yang menghadiri akademi ini. Namun, pada kenyataan lain, aku berpikir kalau seratus orang masih sepi untuk mengisi gedung yang besar ini.

Aku pun memutuskan untuk berpikir bahwa sekolah ini setidaknya dihadiri oleh kurang lebih dua ribu orang siswa-siswi. Oleh karena itu, kepadatan di depan gerbang saat bel masuk akan berbunyi bukan hal yang main-main. Lima orang satpam yang bertugas pagi masih kesusahan karenanya.

Aku berjalan sambil mengurusi urusanku sendiri, mencoba untuk tidak memikirkan hal-hal yang dapat membuat kekuatanku aktif secara tidak sadar. -Aku memaksakan diriku untuk membiarkan segala hal berlalu begitu saja.

Sambil terus berjalan, aku memikirkan kekuatan apa yang harus kupilih untuk terlihat biasa saja.

Aku tak ingin kekuatan yang terlalu kuat atau yang terlalu lemah.

Aku tak ingin menjadi pusat perhatian ataupun menjadi seseorang yang diremehkan.

Aku pun menunduk dengan satu tanganku memegang dagu. "Apa ya? Kekuatan pikiran? Mengendalikan elemen? Summoning? Atau teleportasi?" aku bergumam pelan, tenggelam dalam pikiranku sendiri.

"!!!" Tak lama kemudian aku kembali sadar, segera melihat sekelilingku.

Aku takut ada sesuatu hal yang berubah saat aku hanyut dalam pikiran. Setelah kupastikan lagi, aku menghela nafas panjang.

"Syukurlah tidak ada yang berubah...." Aku melihat jam tanganku untuk memastikan berapa lama lagi bel akan berbunyi.

Di luar dugaan!

Aku tersentak. Bukan karena bel yang sebentar lagi akan berbunyi, tapi karena jarum jam yang sedang ditunjuk.

"Kecuali fakta bahwa waktu sama sekali tidak bergerak ketika aku berpikir."

07.13.

Bel yang seharusnya berbunyi dalam beberapa detik sesaat setelah aku melewati gerbang akademi, kini tertunda dua menit.

Aku pun menepuk kening.

'Mengabaikan hal bukan berarti menghentikan kenyataan,' geramku pada diriku sendiri.

Aku memutuskan untuk masuk ke dalam barisan, yang terdiri dari hampir dua ribu orang di halaman, terlebih dahulu sebelum kubuat waktu berjalan seperti semula.

Barisan ini menghadap ke sebuah pentas yang masih merupakan bagian dari gedung akademi yang satu lagi, arah yang sama dengan arah para siswa berjalan ke gerbang depan dari luar akademi.

Di pentas tersebut berdiri tiga orang yang mengenakan setelan jas, layaknya seorang dosen profesional. Mata mereka memantau para murid yang masih berhamburan masuk ke lapangan.

Seperti perilaku anak yang baik, aku berdiri tenang pada bagian belakang barisan sambil menunggu waktu upacara penerimaan dimulai. Tak lama kemudian, ketenangan itu dipecahkan oleh benturan kepala seseorang terhadap punggungku.

"Aduh!" Aku memutar pandanganku ke belakang.

Apa yang kulihat pertama kali adalah jepit rambut berwarna putih yang kontras dengan warna rambutnya yang hitam mengilap. Di sebelah jepit rambut tersebut terdapat tangan yang mengelus-elus sekitar. Setelah beberapa kali elusan, kepalanya mulai terangkat secara perlahan dan mata kami pun bertemu.

"Maaf.... Kukira tak ada orang tadi." Suara ringan yang lembut terdengar sedikit bergetar.

Aku membalasnya dengan tersenyum. "Jangan khawatirkan aku. Lagian aku juga salah karena berdiri di sini."

Bagaimana aku tidak salah? Gadis putih dengan ekspresi yang terlihat datar ini memiliki kekuatan untuk melihat, mendengar, sekaligus merasakan sekitar baik di masa lalu, sekarang, ataupun masa depan. Dengan kata lain, dia bisa melihat, mendengar, sekaligus merasakan segala hal yang berada di sekitarnya.

Dan aku tahu kalau dia mencoba keras memasang muka datar itu.

Jangan tanyakan kenapa aku tahu semua hal ini karena informasi yang seperti ini sudah ada di dalam pikiranku sejak awal. Kalau tidak ada, maka gadis ini tidak akan pernah ada di sini.

Keberadaanku yang berdiri tenang di sini tidak bisa dia rasakan dan aku pun tidak pernah berpikir untuk menonjolkan keberadaanku.

Karena aku yang menciptakan kenyataan ini, aku secara tidak sadar bisa melihat apa yang dipikirkan gadis yang satu ini.

Dia ketakutan.

Dia takut dengan sesuatu yang tidak bisa dia rasakan sama sekali dengan kekuatannya. Manik hitam pada matanya seolah-olah menyuruh dirinya untuk kabur.

Tubuhnya yang dilapisi dengan seragam akademi, kemeja biru gelap dan blaze hitam bergaris emas, terlihat sedikit gemetar.

'Tenang lah sedikit, napa? Kamu pikir aku monster pemakan manusia atau semacam predator?'

Jika aku menunjukkan keberadaanku dari sekarang, dia masih akan ketakutan karena dia tidak akan bisa mendengar, melihat, ataupun merasakanku yang ada di masa depan.

Aku ingin menenangkannya, namun terlalu ribet bagiku bermain dengan kekuatannya. Memang ada sih cara yang sangat simpel sekaligus efektif, tapi cara itu bukan lah sebuah opsi.

'Kuingatkan lagi, aku harus menahan diri untuk mengubah sesuatu sesuai keinginanku.'

Tak ada cara lain lagi. Lebih baik kalau membiarkan hal yang sudah terjadi begitu saja.

Nasi sudah menjadi bubur. Apa boleh buat?

"Ah! Umm.... A-aku akan cari barisan lain saja," tutur gadis itu tertunduk, dia kemudian berlari sekuat tenaga mencari barisan yang jauh, namun masih bisa dilihat dari posisiku.

Sesekali dia pun mencuri pandang ke arahku.

"Haaaa...." keluhku melihat tingkahnya.

'Memang lah ya. Kuharap aku bisa sedikit mengubah settingan dia.' pikirku setengah hati.

Tepat pada saat itu, bel masuk pun berbunyi, tanda bahwa upacara penerimaan murid baru dimulai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro