Bagian Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hula terbiasa jalan-jalan sendiri. Ke mana pun ia pergi, sepasang sejoli yang sedang merajut kasih tak pernah bisa terlewati. Cewek bermata bulat itu bergidik ngeri. Penampakan di depan mata sungguh tak enak untuk dipandang.

Hula tak mengerti, kenapa cewek berponi dengan bando salur lilac itu malah disuapi cowok di hadapan, sedang kedua tangannya menganggur di atas meja. Oh, jangan lupakan senyum sok imut yang dipamerkan cewek manja itu. Hula merasa jijik, tapi tak mampu berbuat apa pun. Menghampiri dan mengutarakan kerisiannya hanya akan menimbulkan akibat yang tak bisa Hula bayangkan.

Menelusuri antero Kafe, tatapan Hula berhenti pada sebuah meja dengan sepasang kursi yang kosong di pojok. Tanpa berpikir, Hula bangkit dan menghampiri sasaran matanya. Mendudukkan bokong, Hula mengangkat tangan kanan sedikit rendah saat seorang waiter bertemu pandang dengannya.

Selesai dengan sajian yang diinginkan, ia mengeluarkan gawai berlogo apel tergigit dari saku seragam sekolah. Digulirnya layar yang menampilkan postingan sling bag dengan brand terkenal, Hula mengangkat pandang saat seorang pramusaji membawa sajian ke mejanya. Kok cepet? batinnya.

"Selamat menikmati."

Hula mengerutkan dahi, lalu dengan raut bingung dia mencegah kepergian wanita cantik di hadapannya. "Tunggu, Mbak," cegahnya. Hula melirik hidangan di meja sekali lagi. "Saya nggak pesan ini."

"Tapi, di sini tertulis pesanan untuk meja lima belas." Si Mbak menunjukkan buku kecil di tangannya pada Hula.

Hula mengernyit, dia melirik meja di hadapan yang memang bernomor lima belas. "Tapi ... saya nggak-"

"Maaf, Mbak. Itu pesanan saya." Suara dengan bass rendah mengalihkan perhatian kedua cewek di sana. Hula memperhatikan pria yang membalut seragam sekolah dengan Levi's Trucker Jacket. Rambut yang ditata model undercut menambah kesan rapi di mata Hula. Sejenak, Hula memperhatikan pahatan tak asing pada wajahnya.

"Tadi saya memang duduk di sini, Mbak. Saya pergi ke toilet, barusan."

Hula mengerjap, dirinya tak mengetahui bahwa meja ini sudah ada yang menempati. Meja yang terlihat kosong melompong membuatnya yakin untuk menghampiri. Namun, sekarang ....

"Pesanannya biarin simpan di sini dulu, Mbak. Nanti saya bawa pindah."

Hula menjadi dilema, antara membiarkan cowok tak dikenalnya mencari meja berbeda, atau dirinya yang harus bangkit, meminta maaf, dan pindah ke meja kosong yang lain.

"Tunggu."

Hula baru akan bangkit saat suara itu mencegahnya.

"Lo dari SMA Bratawijaya?" Dia bertanya demikian karena atribut yang terpasang pada bahu kiri Hula. "Nama lo siapa?" Cowok itu mengikuti pandang Hula pada atribut nama yang menempel di dada kirinya.

"Hulalang?" Kerutan halus terlukis di dahinya. Cowok setinggi 1,74 m itu tampak berpikir keras sebelum memekik, "Hulalang?!"

Hula menatap sekitar. Merasa risi sedikit diteriaki nama di tempat umum. Hula mengangguk dengan kernyitan, seolah bertanya, 'Memangnya kenapa?'.

"Lo ... Hulalang yang ... sekolah di SD Pancasila bukan, sih?"

Ragu, Hula mengangguk pelan. Dirinya semakin tak mengerti kala cowok asing ini merasa tak percaya dengan mengusap wajahnya perlahan seraya membungkuk sekilas.

Tak salah, selama hidup, dia hanya bertemu dengan satu manusia bernama Hulalang. Maka saat semesta mempertemukan mereka kembali, apa yang membuatnya lebih senang?

Seorang pramusaji berbeda datang dengan nampan pesanan Hula. Hula ingin bangkit, tapi dicegah oleh cowok tak jelas yang masih berdiri di tempatnya.

"Gue boleh duduk di sini, 'kan?"

Cukup, Hula semakin merasa tak nyaman. "Boleh, gue mau pindah."

"T-tunggu."

Hula sudah bangkit hendak membawa pesanan di meja, tapi urung saat cowok itu bertanya memastikan.

"Lo Hulalang, 'kan?"

Ingin sekali, Hula merotasikan bola matanya kesal. Merutuki tingkah menyebalkan cowok tak jelas yang entah kenapa seolah mengenalinya. Masih tersisa stok sabar, ia mengangguk pelan. Lalu terhenyak saat cowok tiu mengenalkan dirinya.

"Gue Byal. Byal Prialka."

***

"Rumah lo masih di perumahan yang dulu, 'kan? Gue juga udah pindah ke sana lagi, loh, di blok A16. Kalo gue tau lo masih di rumah lo yang dulu, mungkin gue udah main ke rumah lo sejak lama. Gue pengin ketemu sama tante Herma juga, dia inget nggak, ya ..."

Hula tak mengerti, kenapa ada cowok secerewet Byal? Apa dia tak letih bicara? Kuping Hula sudah panas dibuatnya. Harusnya Byal peka dan lantas diam karena Hula tak meresponsnya sama sekali. Hula semakin kesal dan mempercepat langkah menuju parkiran kafe.

"... lo beneran nggak mau bareng?"

"Nggak, gue dijemput Prana."

Hula menghentikan langkah, diikuti Byal. Dia merutuki kuda besi merah yang tak jua terlihat di parkiran sana. Melipat tangan di depan dada, ia membuang napas kasar kala Byal bertanya kelewat antusias.

"Prana? Si Parna?!"

Tepat sekali. Prana muncul di hadapan mereka. Cowok berkaus oblong hitam itu mematikan mesin, turun dari sepeda motor lantas menyapa Byal dengan sedikit keterkejutan. "Loh, Byal? Kok bisa sama si Hula?"

Kedua cowok di sana ber-high five ria. Hula dibuat terheran olehnya.

"Lo, kok, nggak ngasih tau kalo Hula masih tinggal di perumahan Permata Indah? Masih di samping rumah lo?"

Seseorang, tolong beri Hula penjelasan. Sejak kapan mereka seakrab ini?

"Lah, lo nggak nanya, gimana gue mau kasih tau?"

Sekarang, Hula semakin merasa diabaikan.

"Ya tinggal kasih tau, lah. Masa harus-"

"Na."

Hula mengambil atensi kedua cowok di sana. Memasang wajah lelah menghadapi obrolan tak penting kedua cowok yang menurutnya sangat menyebalkan.

"Ayo, pulang. Gue capek."

Akhirnya, Mio merah kesayangan Prana itu membelah jalan raya. Hula mengembuskan napas perlahan seraya mengeluarkan sesak di dalam sana. Dia berhasil menjauh dari cowok tak jelas bernama Byal.

Keheningan tak bertahan lama saat tiba-tiba, Hula menabok bahu kanan Prana cukup keras.

Prana mengaduh sebelum bertanya, "Kenapa, sih?"

"Kok, lo bisa akrab gitu sama si Byal?"

"Lah, gue, 'kan, temannya Byal juga. Wajar, dong." Prana sewot di tempat.

"Maksud gue, kita, 'kan, udah sama-sama lost contact sama dia. Tapi dari interaksi tadi, kalian kayak orang yang sering ketemu." Hula menyuarakan kejanggalannya sedikit tak acuh.

"Ck. 'Kan, emang sering ketemu di sekolah."

Hula membeo, "Di sekolah?"

"Jangan-jangan, lo nggak tau Byal satu sekolah sama kita?" Prana melirik Hula yang sedang memeluk ranselnya lewat kaca spion. "Jangan-jangan juga, lo nggak tau kalo si Byal ini ketua OSIS di sekolah?"

"What?!"

Prana tidak terkejut. Dirinya sudah menduga hal ini, terlebih saat dia menceritakan kepindahan Byal ke sekolah mereka, Hula tampak tak menyimak. Entah karena tak peduli, atau sekedar tak ingin tahu.

"Pas pemilihan Ketua OSIS baru, lo nggak liat siapa aja kandidatnya?"

Hula langsung menjawab, "Nggak. Gue asal nyoblos aja."

Jika tidak sedang mengendarai sepeda motor, dapat dipastikan Prana menoyor kepala Hula tanpa segan.

"Kalau pun gue liat kandidatnya, gue nggak akan sadar Byal yang ini ternyata Byal temen kita pas kecil."

Pikiran Hula berkelana pada masa sekitar sepuluh tahun ke belakang. Dia teringat betul bagaimana Byal menangis karena tak ingin berpisah dengan Hula. Saat itu, Byal akan naik ke Sekolah Dasar, dan keluarga Byal harus meninggalkan perumahan di mana Hula dan Prana tinggal. Dia tak rela Hula didekati Prana yang kebetulan berada tepat di samping rumah Hula.

Mendapat kenyataan Byal yang akan berpisah dengan mereka, Prana memamerkan senyum jemawa. Sekarang, hanya bocah itu yang bisa mendekati Hula. Dia akan selalu ada di sisi Hula, tanpa mendapati Byal di sekitarnya.

Hula bergidik sekali. Kenangan yang cukup geli untuk diingat. Dia menjadi rebutan bocah ingusan. Masih bocah, mereka sudah menjalin kisah cinta. Sebuah kisah, di mana para pemainnya belum tau betul, apa itu cinta?

"Heh!"

Lamunan Hula buyar oleh teriakan disusul klakson nyaring yang Prana bunyikan.

"Kenapa senyum-senyum? Mikirin Byal, ya?"

Tabokan kedua singgah di bahu kanan Prana.

"Sembarangan!"

***

Haeyo! Makasih udah mampir!

Tasikmalaya, 3 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro