Bab 2 - Perspektif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumusan Plot

Tahapan Perkenalan: Hubungan Zein dan Fatiya sebagai pasangan gelap. 

Konflik: Hubungan mereka mulai terkuak karena keberadaan Dokter Rudi.

Klimaks: Zein melakukan segala upaya untuk menyembunyikan hubungan gelapnya.

Antiklimaks: Atas perbuatannya terhadap Dokter Rudi, Zein menerima balasannya yang setimpal.

Penyelesaian: Zein menyadari bahwa apa yang telah menimpanya adalah buah dari perbuatan buruknya.

——————————————————————


Siliran angin sore menerbangkan helaian rambut blow berponi milik seorang wanita. Wanita tersebut bernama Fatiya. Ia menjabat sebagai sekretaris divisi pemasaran dari perusahaan ternama di Jakarta. Tak hanya melalui parasnya yang cantik, ia juga terkenal akan kecerdasannya yang gemilang. Kedua hal itu membuatnya selalu menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada.

Saat jam makan siang tadi, Fatiya mendapat sebuah pesan LINE dari seseorang. Pesannya berisikan permintaannya pada Fatiya untuk menemui orang tersebut setelah jam pulang kantor nanti. Hal tersebutlah yang membuat Fatiya kini sedang duduk di kap mobilnya seraya sesekali melihat jam tangannya. Ia menunggu untuk menemui orang yang tadi mengiriminya pesan.

"Aku nggak tau harus berapa kali lagi bilang kalau menunggu bukanlah hal yang disukai seorang Fatiya." Wanita itu mendengus bosan setelah bermonolog kesal. Ia pun beralih memainkan ponselnya, berupaya membunuh rasa jenuhnya dengan membuka aplikasi pesan miliknya. Fatiya terpaku ketika membuka pesan terakhir dari seseorang yang sedang ia tunggu kehadirannya.

Zein: Pulang nanti, tunggu aku di parkiran.

Kala membaca untaian kalimat itu, terdengar suara langkah yang berlari mendekat ke arahnya. "Maaf telat, tadi ada berkas yang harus aku tanda tangani." Fatiya spontan menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang laki-laki yang masih memakai pakaian kantor berdiri di sampingnya dengan napas yang terengah-engah. Ia berusaha menstabilkan kinerja jantung, walau gurat-gurat kelelahan di wajah tampannya itu terpampang dengan sangat jelas.

"Lihat. Siapa yang seharusnya menunggu, aku atau kamu?" Perkataan Fatiya membuat seorang lelaki yang dikenal dengan nama Zein itu tertawa renyah. Hanya dengan melihat wanita tersebut, beban yang dipikul oleh Zein pun menghilang begitu saja.

"Nanti kita makan malam, ya, sebentar saja. Aku akan jemput kamu di apartemen," ucap Zein tanpa basa-basi seraya mengusap puncak kepala Fatiya dengan gemas.

Wanita berponi tersebut pun berdecak kembali. "Memangnya aku pernah menolak permintaan kamu?"

"Aku hanya ingin menyampaikan itu saja," kata Zein. Ia pun tersenyum jahil dan membuat wanita di sampingnya membulatkan mata tak percaya dengan apa yang baru saja kedua telinganya dengar.

"Kamu meminta kita bertemu dan membuat aku menunggu di sini hanya untuk mengajakku makan malam saja? Kenapa tidak sekalian lewat LINE, sih?"

Zein pun terkekeh sambil mengangkat kedua bahunya. Melihat Fatiya marah seperti ini adalah hal yang selalu ia sukai. Zein jadi teringat awal pertemuannya dengan Fatiya, di mana itu merupakan kenangan memalukan karena membuatnya merasa terhina di depan banyak orang. Sebab, hasil analisis pekerjaan yang Zein kerjakan seperti biasanya, justru dianggap buruk oleh wanita berponi bernama Fatiya. Setelah pertemuan pertamanya itu, Zein menyuruh orang kepercayaannya mencari tahu semua tentang Fatiya. Wanita yang telah membuat dirinya kembali menjadi hidup dan merasakan apa yang disebut dengan jatuh cinta.

Setelah basa-basi singkat keduanya, Fatiya mengakhiri pertemuan mereka dengan kembali masuk ke dalam mobilnya. "Hati-hati," ucap Zein seraya melambaikan tangan.

Wajah Zein terlihat berseri dengan senyum yang masih terpatri. Hingga suara dering ponselnya membuat Zein menatap ke benda pipih tersebut dengan raut yang mengebas kaku. Terlihat sebuah panggilan masuk membuat Zein mengepalkan sebelah tangannya dan mengeluarkan aura dingin. Tatapannya begitu tajam saat membaca untaian huruf yang membentuk sebuah nama dari orang yang menghubunginya.

Ia mematikan panggilan tersebut, tak ingin merusak kebahagiaan yang baru saja dialaminya hanya karena sebuah panggilan tak berarti. Zein pun memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan bertindak seakan-akan tidak ada yang pernah menghubunginya.

***

Matahari mulai menyembunyikan diri dari peredaran, membuat terangnya semesta digantikan oleh kehadiran sang langit kelam bersama taburan gemerlap bintang yang memesona. Fatiya masih terlena dengan mematut dirinya di depan cermin. Berkali-kali memastikan apakah penampilannya sudah cukup bagus untuk temu janji malam ini.

Kemeja putih setengah lengan yang sengaja ia masukkan ke dalam celana kulot berwarna senada, white leather shoes, rambut berponi yang ia biarkan tergerai, dan riasan tipis yang meninggalkan kesan cantik natural. Fatiya tersenyum puas melihat keelokan dirinya sendiri. Sepertinya sudah cukup.

Huft ...

Wanita itu mengembuskan napasnya dengan tetap terdiam menatap bayangan dirinya dalam cermin. Mata yang kian redup binarnya, otak yang setiap detiknya berdebat kontradiktif dengan sang hati, dan tubuh yang semakin renta untuk terus menopang beban yang berdatangan. Rasanya ada yang salah.

Di sisi lain, lelaki itu juga ada di sana dengan setelan semi-formal gelapnya. Ia masih setia menunggu sang kekasih sembari sibuk membenahi tampilan dirinya. Sesekali Zein mengalihkan netranya pada arloji bermerek yang melingkar pas di pergelangan tangan kirinya.

Krek!

Fatiya membuka pintu kamar. Zein yang menunggu kehadiran tambatan hatinya itu langsung berkata, "Selamat malam, Fatiya dan kecantikan memukaunya." Lelaki itu mengucapkannya dengan dua sudut bibir yang ditarik dengan sukarela. Tatapan memuja dan hangatnya pun otomatis hadir ketika berhadapan dengan seorang Fatiya.

"Selamat malam, Tuan Zein yang hiperbolis," jawab si wanita. Fatiya berusaha untuk tidak bertingkah aneh dan memandang Zein seperti biasa. Ucapannya itu tentu membuat sang lelaki terkekeh geli. Zein tahu Fatiya sedang menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.

Ketika berjalan ke arah Zein, pandangan Fatiya tiba-tiba saja menjadi tidak fokus dan memudar. Semua berubah buram. Pusing yang kian bertalu-talu, membuat Fatiya sempoyongan. Ia berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya dengan menopang tangan pada tembok yang ada di sisi kirinya.

"FATIYA!" Zein berteriak panik ketika Fatiya terjatuh. Lelaki itu sudah berupaya menangkap tubuhnya, tapi ternyata tidak sempat. Semua menjadi semakin parah. Gelap. Kesadaran Fatiya hilang begitu saja, setelah sayup-sayup mendengar pekikan dari sang lelaki yang kini dirasa sedang memeluknya.

Semua gagal. Tidak ada lagi rencana kencan istimewa yang bersembunyi di balik makan malam. Yang tertinggal hanyalah kekhawatiran Zein yang tidak kunjung lekang menyaksikan Fatiya yang tumbang tak beralasan.

Jemarinya yang masih bergetar sedang berusaha untuk menyentuh layar ponsel dengan penuh kebingungan. Zein bergegas menghubungi dokter yang bersedia cepat menangani Fatiya.

"Halo. Cepat datang ke alamat yang aku kirimkan lewat pesan!" Zein segera memutuskan panggilannya tanpa memberikan kesempatan sang lawan bicara untuk membalas, lalu fokus mengirimkan sebuah alamat pada nomor yang tak sempat ia cek kembali siapa pemiliknya, selain kata dokter yang mengawali namanya.

Ting tong! Ting tong!

Setelah lama menunggu, akhirnya kebuncahan yang menyesakkan dadanya bisa sedikit terkikis. Zein mengambil langkah cepat menuju pintu apartemen. Betapa terkejutnya ia ketika mengatahui bahwa ternyata dokter pribadi keluarganya yang datang. Dokter Rudi. Ekspresi yang sama tak dapat disembunyikan oleh Dokter Rudi. Dua-duanya saling menatap bingung satu sama lain.

Namun, teringat dengan sumpah yang pernah diucapnya, Dokter Rudi pun mengesampingkan pertemuan canggung mereka dan bertanya, "Maaf jika saya sedikit terlambat. Jadi, siapa yang harus saya tangani, Zein?"

Lelaki yang masih terjebak dalam keterkejutannya itu merutuk atas kebodohan dirinya yang tidak mengecek kembali siapa yang ia hubungi tadi. Persetan! Yang ia pedulikan saat ini hanyalah keadaan Fatiya.

Zein kembali sadar dan langsung membawa Dokter Rudi menemui Fatiya yang terbaring lemah. "Berikan perawatan paling terbaik untuknya."

"Aku tidak menyangka, Zein," ujar Dokter Rudi sembari memeriksa kondisi Fatiya. Dimulai memeriksa reaksi jantung melalui stetoskop dan pupil matanya menggunakan medical pen light yang Dokter Rudi miliki.

Aroma bunga telah terendus. Cepat ambil tindakan.

Diam dan memilih untuk membiarkan Dokter Rudi memeriksa kondisi Fatiya, Zein pun berusaha beramah-tamah padanya. "Ingin sesuatu, Dokter Rudi?"

Dokter Rudi menengok ke arah Zein dan tersenyum tipis. "Cukup segelas air mineral. Terima kasih," balas sang dokter.

Tak banyak bicara, Zein bergegas ke dapur dan kembali dengan segelas air mineral di tangannya. Ia meletakkan segelas air mineral itu di samping Dokter Rudi dan duduk di sofa paling dekat dengan Fatiya. Ia lagi-lagi memandang sang wanita dengan tatapan yang sangat lembut.

Dokter Rudi melirik Zein dalam diam dan memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya di atas sofa yang tidak jauh dari Zein. "Pasien tidak mengalami hal serius. Ia hanya terlalu lelah, baik itu fisik maupun pikirannya." Usai menjelaskan, Dokter Rudi meneguk air mineral yang sudah disediakan Zein hingga tandas.

Dokter Rudi mengernyit. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, detak jantung kian melambat, dan napasnya semakin berat. Tatapan Dokter Rudi berlabuh pada Zein yang kini terlihat kabur. Tubuhnya kaku. Beberapa saat kemudian, Dokter Rudi tergeletak di atas lantai dengan mulut yang mengeluarkan busa putih.

Zein menatap tubuh Dokter Rudi yang sudah tak bernyawa. Tidak ada yang tahu apa arti dari tatapannya itu. Atau apa yang ada di pikirannya saat ini.

"Masuk! Segera urus mayatnya dan jangan sampai meninggalkan jejak!" Masih dengan atensi yang sama, suara dalam dan tak terbantahkan keluar dari bibir Zein untuk memberi perintah pada para penjaganya yang telah bersiaga di sekitar kamar Fatiya.

***

Duduk diam dengan mata terpejam, Zein masih setia menunggu kesadaran Fatiya kembali hadir. Ponselnya terus bergetar dan berdering di tengah keheningan. Tidak ada reaksi dari Zein untuk mengangkat atau bahkan sekadar melirik. Ia yakin kalau orang yang menghubunginya sama seperti yang meneleponnya siang tadi. Kini Zein hanya peduli pada kondisi Fatiya yang belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Kekhawatiran Zein tanpa sadar membuat tenaganya ikut terkuras. Ia pun terlelap dalam dekapan lelah yang kini mendominasi akal dan tubuhnya.

Bulu mata Fatiya bergerak dan matanya terbuka dengan perlahan. Fatiya mengedarkan pandangan dan matanya membola saat melihat sosok Zein yang duduk di atas sofa dengan memejamkan mata. Fatiya pun membuka bibirnya dan mulai memanggil.

"Ze ... Zein?" Lelaki yang dipanggilnya membuka mata. Dengan tenaga yang baru didapat setelah tidur sejenak, kesadaran Zein kembali pulih dengan sempurna. Binar bahagia mulai tampak berkilauan di pelupuk mata. Zein berjalan cepat menuju tempat tidur dan memeluk Fatiya. Ia membenamkan wajahnya ke dalam pundak Fatiya dan menekan tubuh wanita itu ke dalam dekapannya dengan sangat erat.

"Sesak, Zein!" Fatiya memukul punggungnya pelan. Zein yang masih enggan melepas pelukannya itu, terpaksa membebaskan tubuh Fatiya dari dekapannya dengan membiarkan seulas senyum tetap terlukis menghiasi wajahnya.

"Kamu baru juga sadar sudah teriak-teriak aja." Zein terkekeh. Bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke dapur, Zein menuangkan air hangat ke gelas dan membawanya menuju Fatiya. Zein menyodorkan air mineral tersebut pada pujaan hatinya.

"Makasih." Fatiya tersenyum dan meraihnya. Ia menyesap perlahan dan merasakan tenggorokannya sedikit membaik dari sebelumnya.

"Dengan senang hati," ujar Zein. Hatinya membuncah dengan perasaan senang. Selain sang ibu, ia tidak pernah merasakan perasaan bahagia ini di samping wanita lain. Melihat Fatiya pingsan membuat Zein seketika panik dan hilang kendali. Seakan-akan hidupnya menjadi padam dalam waktu yang singkat. Zein berusaha menghubungi siapa saja yang bisa dihubungi. Namun, fatalnya, ia justru menghubungi dokter pribadinya.

Tangan Zein masih bergetar mengungkapkan ketakutan yang dipendamnya dalam-dalam. Fatiya menyentuh tangan Zein dan menggenggamnya. "Kamu takut?" Zein mengukir senyum untuk menenangkan Fatiya. Ia menaruh bokongnya di pinggir tempat tidur, mengarahkan tangan Fatiya ke bibirnya, dan mengecupnya perlahan.

"Karena kamu sudah sadar, aku tidak takut lagi." Hening sejenak. Zein terus mengarahkan kecupannya itu ke tangan Fatiya dengan lembut. Ia menatap Fatiya lekat-lekat dan berkata, "kamu harus cepat sembuh dan jangan sakit lagi. Cukup sekali ini aja aku kehilangan kesempatan untuk memberimu kejutan." Zein melepas genggamannya, bangun dari pinggir tempat tidur, dan melangkah pergi menuju pintu keluar.

Fatiya menatap Zein yang berjalan menjauh darinya. Segala macam emosi sudah berhasil memenuhi hatinya. Kenyataan yang dia ketahui membuatnya sedikit sulit untuk bernapas. Berat dan sesak. Namun, Fatiya tidak boleh terus begini, hal ini harus segera diselesaikan sebelum perasaanya terhadap Zein semakin larut menjadi padu.

***

Dua hari telah berlalu setelah semua kejadian di apartemen Fatiya. Matahari sudah bertengger tepat di atas kepala dan memancarkan cahaya panasnya. Sejak mentari menyingsing, Zein hanya makan sedikit kudapan di rumahnya. Ia berniat untuk makan siang bersama Fatiya, tetapi wanita dambaannya itu masih saja tidak dapat dihubungi. Zein tidak tahu bahwa sejak kejadian di apartemen itu, Fatiya sudah memutuskan hubungan spesial mereka secara sepihak. Fatiya tidak sanggup menanggung beban sebagai orang kedua dalam kehidupan Zein.

Lelaki itu kini duduk di kafe yang tidak terlalu ramai dan mulai membuka artikel yang menarik perhatiannya. Kali ini Zein hanya seorang diri. Hari ini ia bertekad untuk mencari keberadaan Fatiya dengan lebih intensif lagi. Bahkan ia akan rela melepaskan orang yang memang dari awal tidak pernah menjadi prioritasnya, hanya untuk mendapatkan Fatiya kembali ke dalam pelukannya.

Zein memesan makanan karena perutnya mulai merintih-rintih. Ia memesan makan siang yang cukup berat dengan kopi kesukaannya. Setelah menyelesaikan santapan yang dipinta, Zein langsung mengembalikan fokusnya ke artikel yang sedang dibukanya.

"Eh, lo harus tau! Kemaren, kan, gue abis liat berita koruptor nih!"

"Hmm, terus-terus?"

Zein yang tidak sengaja mendengar percakapan itu, mulai merasa terusik. Tatapan tajam ia arahkan ke kedua gadis yang sedang bergosip di sampingnya. Topik ini terlalu sensitif untuknya.

"Nah, nggak lama istrinya minta cerai gara-gara si koruptornya ketahuan selingkuh juga."

"Gila banget ... udah korup, selingkuh pula! Gak ada akhlaknya itu orang!"

Berisik sekali. Zein sudah muak. Ia pun bersiap untuk beranjak dan keluar dari kafe. Ia tak ingin mendengar gosip itu lebih lama lagi. Dalam waktu singkat, ia berhasil merapikan seluruh barang yang dibawanya kembali ke dalam tas. Ketika pintu keluar sudah berjarak beberapa langkah lagi, lambung Zein bergejolak tiba-tiba. Zein meremas perutnya dan bertumpu pada salah satu bangku tak berpenghuni. Ia ingin merintih, tetapi malah menutup mulutnya semakin rapat. Untuk beberapa saat ia berhasil menahannya, tetapi Zein tidak kuat lagi untuk mengabaikan rasa sakit ini.

"ARGH!" Zein berteriak. Tak kuasa menahan sakit, ia pun terjatuh di lantai kafe.

Orang-orang di sekitarnya menjadi panik dan berubah ricuh dalam satu waktu. Langkah kaki banyak orang kemudian mendekat menuju sumber suara. Dua gadis yang bergosip tadi langsung menghubungi ambulans. Satu dari mereka berbicara patah-patah ketika berbicara, sedangkan yang lainnya terus menolehkan kepalanya ke segala sisi, tak mengerti harus berbuat apa.

"Iya-iya, tolong cepat datang ke sini! Bapak itu teriak-teriak kesakitan! Pokoknya cepat datang!"

Tak lama, panggilan terputus. Dua gadis itu masih tidak bisa diam menanti datangnya bantuan medis, jadi memutuskan untuk mendekati Zein dan berkata, "Om, tenang, Om, sebentar lagi ambulans bakal datang!"

Namun, tetap saja, fokus Zein hanya terpaku pada perih yang memberontak keras di dalam tubuhnya. Ia mengabaikan empati yang diberikan oleh dua gadis yang sebelumnya ia kesalkan.

Detik sudah menginjak menit ke enam. Sirene khas milik ambulans mulai memenuhi pendengaran seluruh orang yang ada di dalam kafe. Mereka pun menoleh ke arah luar dan berbisik-bisik. Gadis yang tadi menghubungi ambulans, langsung berlari ke luar untuk menjemput.

Zein dapat melihat sosok yang bergerak menghampirinya. Ia samar-samar melihat seseorang berjas putih, membuat Zein sedikit tenang ketika tahu bahwa akan ada dokter yang akan menangani rasa sakitnya ini.

Namun, semakin dekat jarak mereka, perasaan lega yang seharusnya menyergap—karena dia akan segera ditangani—berubah menjadi perasaan aneh tak terdefinisikan. Bahkan, Zein mencium bau yang dirasa tidak asing. Sebuah kejanggalan sangat terasa ketika dokter tersebut sudah dekat dengan posisinya. Ketika melihat wajah sang dokter, degup jantung Zein seolah berhenti berdetak. Matanya langsung terbuka lebar. Gemetar melingkupi tangannya yang berkeringat.

Dokter itu ... seseorang yang sangat dia kenal. Seseorang yang diyakininya sudah ia bunuh dua hari yang lalu.

Dokter Rudi.

Ingin sekali dia mengucap nama mantan dokter pribadinya tersebut, bertanya mengapa dia bisa berada di sini, tetapi rasanya mustahil. Seolah-olah ada kerikil yang mencegah suaranya untuk berhenti di kerongkongan sebelum berhasil disuarakan. Perutnya juga semakin melilit dan terasa ditusuk.

Zein tidak salah lihat. Pria dengan mulut yang mengeluarkan cairan berwarna putih itu benar-benar berada di dekatnya. Namun, orang-orang di sekitarnya berlagak seperti tidak ada keanehan yang terjadi. Dua gadis tadi pun justru tersenyum lega ketika Dokter Rudi menghampiri Zein.

"Maaf, ya, saya sedikit terlambat."

Sapaan dari Dokter Rudi seakan-akan menghancurkan segala tembok kokoh yang Zein ciptakan untuk mempertahankan kesadarannya. Kini cahaya yang tertangkap netranya mulai meredup, menghilangkan benderang dalam remang, dan mengakhirinya bersama gelap yang tak pernah senang.

——————————————————————

The Nymph District
"may peace drown your restlessness"

EtIris411H
baihaqisr
percikasa
MiaNurmayanti
Zaskia_putri
hunterspin88

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro