♡15: Menghindar♡

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sekeras apapun aku menghindarimu, pada akhirnya aku tetap kembali padamu."

-Bulan Faressa-

Joy baru saja sampai di depan kelasnya begitu ia ingat jika gantungan handphone yang beberapa hari lalu dibelinya tertinggal di sana.

Dia sudah lama membeli barang ini untuk Bulan dan dirinya. Hari ini dia berniat memberikannya pada gadis itu, tetapi pernyataannya membuat dia berpikir lagi soal Bulan dan perasaannya.

Dia tidak bisa berhenti tersenyum begitu memikirkan ekspresi malu-malu gadis itu ketika menyatakan perasaannya.

Diamnya Joy kala itu bukan karena dia merasa jijik dengan gadis itu, dia hanya terpana dengan keberanian gadis itu.

Dia tahu di era sekarang, perempuan yang menyatakan perasaan duluan sudah bukan hal yang aneh lagi. Meskipun, hal itu ia rasa masih menjadi hal yang tabu dan kurang baik untuk dilakukan.

Dia hendak memberikan gantungan handphone sepasang sebagai tanda ia juga memiliki perasaan yang sama dengan gadis itu.

Segera saja dia berlari kembali ke Unit Kesehatan Sekolah, tetapi ia menghentikan langkahnya begitu menyadari jika Sky tidak hanya berduaan dengan Bulan.

Mendengar kenyataan yang membuatnya cukup terkejut, pasalnya mereka cukup lihai untuk berakting tidak saling mengenal.

Joy memutar haluan, dia masih harus memikirkan hal ini lagi nanti. Kepalanya sudah cukup panas dengan keadaan Bulan yang masih terlelap di ranjang, dia tidak bisa menambah beban pikirannya lagi.

Meskipun akhirnya dia melakukan semua kegiatannya seperti robot, tanpa perasaan.

Seusai jam pelajaran, Joy tidak sengaja melihat Reza dan Rida sedang beradu debat. Reza masih dengan wajah kalemnya dan Rida sudah dengan wajahnya yang memerah.

“Za, kenapa kamu bisa suka sama Bulan, sih?”

“Loh, kamu tahu aku suka sama Bulan? Ketahuan banget, ya?” ujarnya sambil cengengesan.

Aura bahagia dari Reza berbanding terbalik dengan aura kebencian dari Rida.

“Apa yang bisa buat kamu jatuh cinta sama aku, Za? Kamu pura-pura bego atau gimana, sih? Aku suka sama kamu!” serunya.

Bukan hanya Riza yang kaget, Joy juga kaget. Ia seperti melihat kilas balik ketika Bulan menyatakan perasaan kepadanya. Riza terdiam dan menatap nanar ke arah Rida.

“Maaf, aku cuman menganggap kamu sebagai teman. Enggak lebih, Rida.”

Sebenarnya Rida sudah menduga tentang hal ini, cowok itu tidak pernah memandangnya seperti ia memandang gadis sialan itu.

Mata Riza begitu berbinar-binar dan penuh harapan serta sukacita, sedangkan ketika menatapnya binar itu sirna.

Apa yang mau dia harapkan selain membalaskan dendam sakit hatinya pada gadis perebut gebetannya itu?

“Maaf ya, Rida. Aku ke kantin duluan, ya. Laper berat.”

Rida masih tetap pada posisinya, ekspresinya berubah menjadi senyuman penuh kebencian.

“Tunggu aja, nanti kamu akan menyesal sudah menolak aku. Akan aku buat dia merasakan rasa sakit yang aku rasakan. Mungkin perbuatanku belum seberapa membuatnya sadar, kita lihat saja nanti,” desisnya lalu pergi dari sana.

Sekarang, Joy yang terdiam. Hari ini begitu banyak fakta yang ia dengar. Terlebih lagi, ia mempunyai firasat kuat jika Rida tidak main-main dengan ucapannya. Lalu, siapa yang dia maksud tadi?

Hari demi hari berlanjut. Sejak kejadian itu, Bulan jadi lebih sering menyendiri di kelasnya. Ah, dia tidak berani pergi keluar tanpa Bintang dan Venus yang menemaninya.

Dia juga sengaja berangkat ke sekolah mepet dengan jam pelajaran dimulai, dia cukup trauma dengan situasi yang sepi.

Di sisi lain, dia masih menghindari Joy. Gadis itu masih malu berhadapan dengan cowok tampan itu, sepertinya dia butuh waktu untuk mengumpulkan keberaniannya.

Siang itu, Bulan masih betah duduk di kursinya. Padahal jam istirahat sudah tiba, penghuni kelas juga sudah berhamburan menuju ke kantin.

Gadis itu sudah menduga jika Joy akan datang ke kelasnya sehingga ia sudah masuk ke kolong meja dan mengkode Bintang dan Venus untuk mengatakan jika dia sudah pergi.

Bintang dan Venus masih menatap Bulan dengan tatapan melongo lalu terkejut dengan tangan sapaan dari Joy.

“Hei! Bulan udah pergi?” tanya Joy dengan tatapan kecewa.

Dia tidak buta, dia tahu gadis itu sudah tidak ada di kelasnya. Padahal dia sudah rindu berat padanya, dia ingin memeluknya dan mengatakan jika ia juga menyukainya.

Venus menatap Bintang yang masih terdiam, lalu mengangguk.

“Sudah kabur duluan ke toilet, Kak. Biasa, dia kebanyakan makan cabe, sih. Gawat tuh kalau berubah jadi cabe-cabean.” Venus berusaha mencairkan suasana dengan mengatakan kalimat tadi. Sayangnya, Joy menatapnya dengan sinis.

“Dia bukan cabe-cabean. Kalau punya mulut itu dijaga. Kasihan, mana masih muda.”

Ia pergi sambil menggelengkan heran. Bagaimana bisa negara ini maju kalau generasi penerusnya saja tidak memikirkan ucapannya sebelum bertindak?

Apakah mereka tidak tahu kalau ucapan itu bagaikan pisau bermata dua?

Ucapan itu bisa memecahbelah dan memersatukan. Lidah memang bagian dari tubuh yang paling kecil, tetapi dia paling berbahaya.

Joy meninggalkan Venus, Bintang dan Bulan dalam keadaan syok. Venus hanya ingin membuat kakak kelasnya itu tersenyum sebentar saja, tetapi malah dia kena amukannya.

“Ah elah, gara-gara lo sih, Bulan cabe! Gue kena damprat sama Kak Joy!” serunya lalu membantingkan dirinya ke kursi.

Bulan segera keluar dari persembunyiannya dan menatap Venus dan Bintang dengan tatapan memelas.

“Maaf ya, kalian jadi kena imbasnya gini.”

Bintang tersenyum lalu menepuk lengan Venus kencang.

“Udah deh, enggak usah jadi drama queen! Kamu juga udah biasa kena damprat sama guru. Jadi, sudah punya mental baja, dong.”

Venus memanyunkan bibirnya dan mengalihkan wajahnya dari mereka, ia mau memejamkan mata sebentar. Kepalanya sudah pening mendengar ucapan pedas Joy.

“Oh iya, Bulan! Kamu enggak mau daftar jadi anggota OSIS? Biar kita bisa kemah bareng nanti pas penyambutan anggota OSIS baru.”

“Oh ya? Seru ya bisa bermalam lagi kita. Tapi, belum tentu juga kita satu kemah, sih,” keluh Bulan.

Dia menatap ke arah Venus, “Venus, kamu anggota OSIS juga?”

“Iye, kenapa? Mau minta tanda tangan?” ujar Venus random.

Ucapannya itu mengundang gelak tawa Bintang dan Bulan.

“Oh iya! Menurutmu Fio itu kayak gimana orangnya?” tanya Bulan random.

Pertanyaan yang membuat senyuman di wajah Bintang menjadi sirna. Dia menatap horor ke arah Bulan. Tentu saja berbagai spekulasi bermunculan.

“Ah, Fio ya? Baik kok dia. Bertanggung jawab, orangnya gemesin parah, dan dia perhatian banget sama aku,” ujarnya sambil tersenyum tersipu.

Bulan dan Venus kompak menggodanya hingga wajahnya memerah.

“Aku turut senang. Kamu ada perasaan sama Fio?” tanya Bulan lagi.

“Ehm, kalau iya kenapa? Kalau tidak kenapa?” tanya balik Venus yang membuat situasi menjadi senyap.

“Enggak apa-apa, kok. Hehe.”

Bulan tersenyum lalu membuka tasnya untuk makan bekal yang ia bawa dari rumah, sedangkan Venus dan Bintang juga melanjutkan kegiatannya yaitu pergi ke kantin.

Gadis itu tersenyum, dan melirik sinis ke arah Bulan.

Sekarang kamu bisa tertawa, tunggu saja nanti. Aku enggak sabar melihat ratapan dan tangisanmu. Sok kecakepan, sih. Dasar gadis sialan, tidak tahu diuntung!


Note:
Hayoloh! Siapa tuh yang ngomong?
Bulan baru juga masuk sekolah, udah ada musuhnya aja.

WKWKWKW.
TERIMAKASIH SUDAH MAMPIR!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro