♡19: Marah ♡

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa aku selalu menderita?"

—Bulan Faressa—


Bersama Sky, ia seperti membuka buku kisah hidupnya di masa lalu. Mengingat kilas balik yang begitu kelam.

Jujur, ia sendiri tidak mengerti dibalik hilangnya ingatan tentang apa saja yang sudah dihadapinya dulu. Namun, tidak semuanya ia lupakan. Sejak ia masih belia, ia sudah diberi didikan yang keras dari orang tuanya.

Bagi mereka pendidikan adalah hal yang pertama dan terutama.
Setelah pulang sekolah, ia tidak diberikan waktu bermain. Tidak ada.

Bermain hanya akan membuatnya semakin malas dan tidak bisa diatur, begitu kata mereka. Dari dulu, jika ia mendapatkan nilai jelek maka ia akan dihukum dan diomelin terus menerus hingga kepala mungilnya pening.

Bulan punya kuasa apa? Hanya bisa menerima semuanya dan menyimpan dalam hatinya.

Mau membantah dan melawan mereka pun tidak mungkin, melakukan itu sama saja dengan sukarela menjatuhkan dirinya ke dalam kendang singa dan bersiap menyerahkan nyawanya alias bunuh diri.

Terus terang, dia iri melihat tawa bahagia teman-temannya yang dijemput orang tua dan bercanda tawa. Mereka bisa begitu santai dan disayangi sedemikian rupa.

Bulan pernah bertanya kepada temannya Acha mengenai respon orang tuanya jika ia tidak mendapatkan nilai yang bagus. Jawaban Acha cukup membuatnya bengong.

Ya enggak kenapa-kenapa. Mereka enggak pernah marah kalau Acha dapat nilai jelek.

Memang Acha mampunya dapat nilai segitu ya udah, mau bagaimana lagi, kan?

Tanpa paksaan dan diterima seutuhnya. Ia terus berandai di setiap malamnya, kapan orang tuanya akan menerimanya seutuhnya?

Ia berusaha keras untuk memenuhi keinginan mereka, tetapi begitu ia mendapatkan nilai yang bagus, mereka tidak menghargainya.

Mereka hanya mengangguk dan pergi begitu saja, padahal yang diharapkannya adalah orang tuanya memeluknya dan mengatakan kalimat yang ingin dia dengar.

Wah! Bulan pinter, ya! Anak siapa, sih? Sebagai apresiasi, kita makan-makan di luar ya!

Nanti Bulan mau apa aja akan Papi belikan. Semangat belajarnya ya, Nak!

Hanya itu saja. Setidaknya ia ingin dipeluk. Dia hanya butuh pelukan saja. Namun, dianggap angin lalu oleh mereka. Ia seperti memakan buah simalakama saja.

Rasanya begitu pedih untuk dialami anak seusianya, perasaan tidak dihargai dan tidak dianggap. Ekspektasi itu seperti pisau bermata dua, ya? Tidak berharap membuat hidup seperti robot dan membuat diri sendiri mati rasa.

Jika memasang ekspektasi dan berharap dan hasilnya tidak seperti harapan maka akan berujung pada kekecewaan yang menyakitkan.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Berhenti berharap atau tetap berharap?

Sewaktu mengobrol dengan Sky dan Saka juga membuatnya ingat jika dia memang tidak dianggap keberadaannya di sekolah.

Semua orang beranggapan jika tidak seharusnya Bulan ada di sekolah itu, dia tidak layak berada di sana.

Lalu, di rumah juga ia tidak mendapatkan dukungan yang ia butuhkan. Tidak ada pelukan hangat dari mereka selayaknya anak lain begitu mudahnya mendapatkan pelukan hangat orang tuanya.

Ada apa dengan Bulan? Apa yang salah dengannya? Dosa apa yang diperbuatnya sehingga semesta sepertinya senang menyiksa ia sejak dini?

Semua ingatan itu mulai kembali dalam bayangan yang samar. Sky bahkan sudah menegur Saka untuk berhenti membuat gadis itu berusaha mengingat masa lalunya.

Dari wajahnya, gadis itu jelas terlihat tidak baik-baik saja. Luka terpancar dari manik matanya. Memandang gadis itu adalah kegiatan favorit Sky. Hanya memandang saja sudah membuat hatinya begitu damai.

Astaga, ada apa dengan Sky? Bisakah ia berpikir normal dan sadar akan statusnya dengan Bulan yaitu guru dan murid?

Sekarang mereka sudah ada di mobil. Sky tidak sekejam itu untuk menyuruh gadis itu pulang sendiri. Ia tahu kalau dompetnya tidak ada isinya dan ia terancam jalan kaki ke rumah.

Kalau ia nekat naik angkot, bisa-bisa ia dihajar supir angkot karena tidak bisa membayar ongkosnya.

Lagipula, Sky jadi punya waktu lebih lama untuk berduaan dengan Bulan. Kalau bisa sih selamanya saja berduaan kayak gini, bisa dipastikan hidup Sky akan sangat indah dengan hadirnya Bulan di sisinya.

Sky melirik ke arah gadis yang tengah melamun itu. Ia tersenyum dan mengusap kepalanya pelan.

“Udah cukup kamu mikirnya. Nanti kamu jadi sakit kepala karena berusaha berlebihan untuk mengingat. Cukup, dengerin ucapanku.”

Bulan ia menatap bingung ke arah Sky.

“Kenapa Pak Sky perhatian sama aku?” tanya Bulan penasaran.

“Ah, kepo bener kayak Dora,” jawab Sky yang memicu geram kesal darinya.

“Nanti kamu akan tahu alasannya kenapa,” ucapnya lirih.

Saking lirih dan volume suara yang kecil membuat gadis itu tidak mendengar ucapan Sky. Hari ini sudah cukup spesial pake telor untuk Sky.

Ia bisa menghabiskan jam dengan gadis itu saja sudah membuatnya bahagia.

Mentari sudah hampir menyerahkan singgasananya kepada rembulan. Semburat warna oranye menghiasi langit dengan indah, membuat gadis itu terpana dan tersenyum manis.

Mengobrol bersama Sky nyatanya mampu membuatnya lupa waktu. Mereka sudah sampai di depan rumah Bulan. Gadis itu menikmati waktu yang ia habiskan bersama Sky dan Saka.

“Makasih banyak sudah nganterin aku pulang, Pak.”

Sky berusaha bersikap cool di hadapan gadis itu, walau jantungnya sudah berdetak tidak karuan.

Bukannya langsung menutup pintu mobil, dia malah menatap wajah Sky dan tersenyum manis. Tidak bisa kah dia menyadari jika mendengar suara Bulan saja sudah membuatnya panas dingin, apalagi diberi senyuman semanis itu, bisa-bisa ia meleleh.

Pria itu tidak menjalankan mobilnya sebelum gadis itu masuk ke dalam rumahnya. Ia lumayan khawatir karena banyak muncul berita terjadinya kasus pencurian.

Sky menghela napas panjang dan berdoa semoga kasus ini tidak menimpa gadis itu. Bisa-bisa Sky lepas kendali dan menghajar pencuri itu hingga tidak berbentuk lagi.

Bulan baru saja menutup pintu ketika menyadari ada tatapan tajam mengarah padanya. Di tangan salah satu dari mereka sudah memegang sapu, sedangkan yang satu lagi hanya melipat tangan saja.

Kerutan di wajah mereka menandakan adanya kebingungan yang dirasakan dan dari cara mereka menatapnya membuatnya tersadar ia dalam masalah.

“Bagus. Jam berapa ini? Anak gadis macam mana yang pulangnya jam segini?” ujar wanita paruh baya itu sambil mengarahkan sapu pada kaki Bulan.

Tampaknya wanita itu sudah menahan amarah sejak tadi. Wanita yang diharapkan gadis itu bertindak lebih manis dengan cara mendekapnya erat, sayangnya tidak akan terjadi, semua hanyalah angan semata.

Sementara pria di samping wanita itu mengelengkan kepala. Dari raut wajahnya, terpancar kekecewaan pada anak gadisnya ini.

“Pulang sama siapa kamu? Cowok? Udah punya pacar kamu, hah?” tanya pria itu beruntun.

“Eng-enggak, Papi!” seru Bulan panik.
Justru panik itu membuat orang tuanya semakin curiga.

“Harus berapa kali Papi bilang kalau kamu masih kecil. Buat apa pacaran? Ingat dong nilaimu anjlok semester lalu! Kalau anjlok lagi, jangan harap kamu dibiarkan pergi keluar lagi.”

“Maksud Papi?” tanya Bulan panik.

“Home schooling.”


Note:
Haiiii! Gimana bab ini?
Terima kasihhh sudah mampir!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro