♡23: Patah♡

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Buat apa cinta ini hadir kalau kita tidak mungkin bersama?"

-Sky-

Gadis itu mulai terisak, ia tidak menyangka jika cintanya akhirnya terbalaskan.

Ia tidak lagi bertepuk sebelah tangan. Badannya gemetar dan ia menundukkan kepalanya seraya mengusap air mata yang tidak mau berhenti.

Joy panik karena gadis itu malah menangis, apakah dia sudah terlambat untuk mengatakan hal ini?
Joy memegang wajah Bulan dan mengusap kepalanya lembut.

Cowok itu memeluknya dan menyandarkan kepala Bulan di bahunya. Bulan semakin terisak melihat betapa manisnya perlakuan Joy padanya.

Ia langsung memeluk erat cowok itu dan membenamkan kepalanya pada dada cowok itu. Rasanya ia ingin berteriak dan memberitahukan pada dunia jika ia layak punya pacar. Namun, ia hanya menangis tersedu-sedu.

Mereka masih tetap pada posisi berpelukan hingga gadis itu merasa lebih tenang. Lalu, Bulan menjauh dan Joy kembali mengusap kepala gadis itu.

"Kamu udah enggak suka sama aku?"
Bulan menatapnya lama. "Enggak, Kak."

Joy tersenyum kecut lalu mengangguk. Ia baru saja mau berdiri begitu mendengar suara dari gadis itu.

"Enggak mungkin aku enggak suka sama Kakak," kekehnya puas.

Senyuman sumringah terlihat dari wajah mereka, langsung saja dipeluk gadisnya itu erat-erat. Sudah boleh dia panggil Bulan sebagai gadisnya, bukan?

Mereka sudah bersiap untuk pulang. Hari ini tidak sepenuhnya buruk, buktinya sore ini dihabiskan bersama pujaan hatinya.

Sedari tadi ia terus tersenyum hingga ia sudah sampai di rumah pun ia masih tersenyum bahagia.

Tentu saja menimbulkan tanda tanya bagi orang tuanya. Bulan lagi menikmati semangkuk mi kuah sambil membayangkan perlakuan manis Joy, lalu Papinya datang.

"Kenapa senyum-senyum? Kamu kesambet?" tanya Ferdi dengan wajah kesal.

Gadis itu tersentak karna tidak menyadari kedatangan Ferdi di dekatnya.

"Eh, enggak kok Papi. Ini bayangin rasa mi kuahnya enak banget jadi aku senyum-senyum."

"Bagus, sudah bisa mengelak kamu ya. Siapa yang ajarin kamu berbohong?"

Bulan mengerutkan keningnya, kenapa kondisi hati Papinya tidak baik terus akhir-akhir ini?

"Papi kenapa sih? Ada masalah sama Mami atau ada masalah di kantor kah?"

Ferdi tersenyum miris. "Kalau Papi ada masalah pun kamu enggak bakal bisa bantu. Kamu cuman anak kecil, enggak usah sok jadi orang dewasa."
Gadis itu hanya merengut.

Kebahagiaannya jadi terkikis karena omelan Papinya ini.

"Oh iya, Mami kemana ?"

"Lagi pergi cari suami baru kali," ujar Ferdi asal.

Bulan memekik pelan.

"Ih, Papi kok doannya jelek banget sih. Ucapan itu doa Papi. Ayolah, kenapa juga Mami cari suami baru. Papi kan cinta mati sama Mami."

"Kamu enggak bakal ngerti, Nak. Sekarang jujur sama Papi, kamu udah punya pacar kan makanya senyam-senyum enggak jelas gini?"

"A-apa sih Papi," elak Bulan.

Ia masih mau menutupi status hubungannya dengan Joy dari mereka. Terlebih lagi suasana hati orang tuanya sedang tidak baik-baik saja akhir-akhir ini.

"Dasar keras kepala kamu ya! Udah berapa kali Papi bilang jangan pacaran kalau masih sekolah. Kamu mau buat Papi jadi darah tinggi terus sakit-sakitan dan Papi meninggal? Kamu mau buat Papi cepat mati?"

"Papi! Kok doanya jelek banget. Siapa juga yang doain Papi mati!"

Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, ia tidak akan sanggup jika hal itu terjadi. Ia masih membutuhkan mereka.

Mereka masih beradu debat hingga bunyi pintu menarik perhatian mereka.

Begitu mereka keluar, tidak ada siapapun di sana. Hanya ada sebuah surat berwarna merah darah. Langsung saja surat itu dibuka oleh Ferdi. Betapa terkejutnya ia membaca isi surat itu.

"Apa isi suratnya, Papi?"

Ferdi menatap Bulan lama lalu melirik ke sekelilingnya. Ia menarik masuk anak gadisnya dan mengajaknya duduk kembali di ruang makan.

"Isi suratnya adalah ..."

"Apaan Papi? Bikin penasaran deh."

Lalu, Ferdi menggeleng.

"Enggak. Kamu enggak perlu tahu. Sudah tidur sana."

Malam itu, Bulan tahu kalau Papinya akan mulai semakin aneh. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

Mentari sudah bersinar terang, cahayanya masuk dari jendela kamar gadis itu.

Ia tersenyum sumringah karena ia bisa bertemu dengan Joy lagi. Ia sudah sampai di ruang makan dan melihat kedua orang tuanya sudah ada di sana dan makan roti.

"Pagi Mami dan Papi! Udah lama deh kita enggak kumpul bareng gini," ujar Bulan bahagia.

Namun, mereka hanya tersenyum sekenanya. Tidak seperti biasa, sepertinya dugaan Bulan memang benar.

Tidak lama kemudian, ada suara motor terdengar di depan rumahnya. Langsung saja gadis itu berdiri dan mencium tangan mereka.

"Bulan pergi dulu ya, udah dijemput teman!"

Bulan sudah hampir sampai di dekat pintu rumah begitu Ferdi mengutarakan pertanyaanya.

"Teman apa teman, Bulan?" tanya Ferdi gusar.

"Te-teman kok."

"Bagus, udah belajar berbohong ya kamu. Mau jadi apa coba kalau udah berani berbohong dan memilih berpacaran. Bulan?"

"Tapi, Mami-"

"Kalau orang tua ngomong itu didengerin bukan membantah!"

Suara Ferdi membuatnya semakin ciut saja.

"Mami capek ya sama kamu, berapa kali Mami bilang kalau pacaran itu hanya akan membuat kamu jadi makin bandel dan tidak serius jalanin pendidikan."

Gabriela tidak kuat melanjutkan ucapannya, ia menangis. Anak gadisnya jadi pembangkang dan berani berbohong seperti ini membuat hatinya terluka.

Ferdi melirik anaknya dengan sini.

"Lihat! Pagi-pagi udah buat orang tua darah tinggi. Mau buat orang tua cepet mati apa gimana sih?" tanya Ferdi.

"Enggak bisa bersyukur kamu? Enggak lihat betapa banyak anak pengen sekolah? Sedangkan kamu milih bermain-main dan pacaran?" tanya Gabriela lagi sambil mengusap air matanya.

Bulan menatap mereka dengan tatapan terluka. Bahkan, mereka tidak membiarkannya mengatakan pendapatnya sama sekali.

"Mami, Papi. Bulan pamit, udah mau telat."

Ia tidak mengatakan apa-apa dan pergi keluar rumah. Joy sudah menunggunya dan ia ingin memilih jalan hidupnya.

Tidak lagi diatur-atur, ia bukan lagi anak kecil. Bulan tersenyum menatap Joy dan langsung naik ke motor hijau kesayangan Joy.

"Sudah siap berangkat ke sekolah, tuan puteri?" tanya Joy sambil mengambil tangan Bulan dan ditariknya seperti memeluk Joy dari belakang.

Jantung gadis itu tidak baik-baik saja. Ini pertama kalinya ia melakukan hal ini.

"Ka-kak?" tanya Bulan. Ia takut tadi Joy salah narik tangannya. Mungkin saja tadi mau narik tas sekolahnya dan yang ketarik malah tangannya.

"Pegangan yang erat, sayang. Kalau kamu jatuh, nanti aku yang sedih. Aku kan udah janji mau bahagiakan kamu."

Bulan tersenyum lalu memeluk Joy erat, ia menyandarkan kepalanya pada bahu cowok itu. Ia begitu nyaman berada bersamanya.

Ia harap, mereka bisa seperti ini selamanya. Bersama Joy, ia mulai membuka hatinya yang ia tutup rapat sejak kejadian itu.

Ia tahu Zeperino menolaknya dulu bukan hanya karena fisiknya, ada sesuatu yang diketahuinya dan membuatnya takut padanya.

Sesuatu yang membuat hidupnya semakin kelam. Ah, setidaknya ia sudah menemukan seseorang yang menerimanya.

Mereka sudah sampai di sekolah. Tentu saja kehadiran mereka menarik perhatian siapa saja yang ada di sana.

Pasalnya Joy memang sudah banyak diincar oleh banyak kaum hawa di setiap angkatan, hanya saja mereka tidak bisa menggapainya.

Alasannya selalu sama, ia tidak ingin berpacaran dulu. Lalu, hari ini ia datang dengan pacarnya dan tersenyum lebar.

Tentu saja membuat hari ini menjadi hari patah hati bagi seluruh penghuni sekolah, tidak terkecuali Rida dan Lavenia.

Mereka masih bergandengan tangan sejak turun dari motor. Joy tidak mau melepaskan gandengan tangannya. Joy menatap gadisnya dengan senyuman yang sangat mempesona.

"Bulan, nanti kita makan bareng ya pas istirahat. Lalu, pulangnya aku anterin."

Bulan tersenyum lebar, ia bahagia.

"Siap laksanakan, Kak!"

Joy mengusap puncak kepalanya dan ia mendekatkan wajahnya pada Bulan. Tentu saja membuat gadis ini menahan napas dan mengundang pekikan histeris bagi mereka yang memperhatikan.

"Semangat belajarnya, sayang."

Seusai itu, ia tersenyum dan melangkah menjauhi gadis itu. Meninggalkan Bulan yang masih mengumpulkan kembali kesadarannya.

"Wah gila! Udah jadian aja kamu. Misi kita berjalan lancar ya, Bulan," ujar Fio.

Ia baru saja datang dan mau ke kelas begitu melihat suasana begitu ramai. Seperti biasa, jiwa-jiwa keponya keluar dan ia menemukan dua orang yang dimabuk asmara rupanya.

"Heh! Kamu sih kelamaan. Bintang udah kayak cacing kepanasan tuh. Kasihan anak orang digantung hatinya," omel Bulan sambil memukul lengan Fio keras.

"Hah? Dia manusia Bulan, bukan cacing kepanasan. Gimana sih?"

"Lama-lama kamu disantet nih ya karena bikin emosi aja. Waktu itu aku sempat nanyain soal kamu ke Venus sama Bintang. Terus, dari tatapannya udah enggak suka gitu pas aku nanyain soal kamu. Artinya dia cemburu, bego. Kalian tuh saling menyukai, kenapa pake mau menjalankan misi kayak gini sih."

"Yah, misi kita kan bagus. Misi membuat Bintang dan Joy jadi cemburu dan sadar sama perasaan mereka. Misi ini berhasil ke kamu, bilang makasih kek," omel Fio sambil berkacak pinggang.

"Tahu ah, bodo amat."

Baru saja Bulan mau masuk ke kelas, langkahnya berhenti. Ia menatap orang yang ada di depannya. Ia menatap Bulan dengan tatapan terluka.

"Pak Sky?"

Note:

Hai! Gimana bab ini??

Terima kasih udah mampir!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro