♡25: Jadian♡

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jika boleh meminta, aku tidak ingin dilahirkan. Kehadiranku hanya menyusahkan saja."
Deph

Sky benar-benar semangat mengajar hari ini. Ia bahkan lupa jika jam pelajarannya sudah usai. Jika tidak ada yang berani mengatakannya, mungkin ia akan terus melanjutkan mengajar.

Wajah-wajah penghuni kelas sudah meresahkan, begitu memelas karna perut mereka sudah keroncongan memberontak minta diisi.

Bulan tersenyum melihat ekspresi mereka. Padahal ia sendiri juga kelaparan, tapi seru aja.

“Akhirnya ya ampun! Bintang ih harusnya lo bilang jam mengajarnya udah kelar dari tadi. Gile gue laper gila ini,” omel Venus.

Bintang menggeleng heran.

“Aku masih asik dengerin pelajaran. Lagian aku enggak masalah kalau enggak istirahat, karena belajar itu lebih seru.”

Seketika Venus dan Bulan merinding mendengarnya. Ternyata seperti ini orang yang maniak sama belajar.

“Tahu ah. Harusnya daritadi gue bilangnya ke Fio aja. Dia juga nurut-nurut aja pas lo bilang tahan sebentar lagi baru bilang. Ah, dasar konspirasi macam apa ini,” gerutu Venus lagi.

“Oh iya! Tadi gue lihat lo ngobrol sama Fio di depan kelas. Ngomongin apaan emang?” tanya Venus kepo sambil menyenggol Bulan.

“Hah? Oh, tanya aja sama orangnya langsung,” ujar Bulan santai. Padahal ia tahu Bintang sudah meliriknya tajam.

Merasa namanya disebut, langsung ia mendekat ke arah tiga gadis cantik ini.

“Telingaku panas, ada yang omongin ya?” tanya Fio santai.

“Iya, gue yang ngomongin lo. Tadi gue lihat lo ngomong berdua sama Bulan di depan kelas. Ngomongin apa emang?” tanya Venus lagi.

Fio tersipu mengingat obrolannya tadi. Sementara Bintang sudah terlihat kesal, ia memang kesal kalau ada yang membuat cowok itu senang, apalagi yang membuatnya senang adalah cewek lain.

Hatinya sudah panas dari kemarin-kemarin melihat Fio dan Bulan. Ia, dia nggak sengaja melihat Fio ngobrol sama Bulan sebelumnya. Rasanya ia ingin mencakar wajah Bulan saja saking kesalnya.

“Aku ngomong kalau aku suka sama Bintang.”

“Hah?”

Bintang, Venus dan Bulan langsung terkejut mendengar ucapan Fio. Memang sengaja Bulan bilang Fio saja yang ngomong langsung biar Bintang tahu perasaan mereka tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi, tidak disangka Fio akan to the point seperti itu.

Cowok itu tersipu sambil melirik-lirik ke arah Bintang yang sudah salah tingkah. Dia mengambil tangan Bintang dan memegangnya erat.

“Bintang Fadelisa, maukah kamu jadi pacarku?”

Seketika satu kelas bersorak bahagia begitu mendengar pernyataan Fio. Akhirnya, harapan mereka terjadi juga.

Cowok itu peka dan menyatakan perasaannya. Akhirnya kapal Fio dan Bintang berlabuh juga. Bintang mengangguk malu-malu.

“Aku mau jadi pacarmu, Fio.”

“CIEEEE!” sorak penonton dengan bahagia. Begitu pula dengan Venus dan Bulan.

Mereka bahagia teman mereka sudah melepas masa lajangnya. Semoga saja, mereka terus bertahan hingga mengucapkan janji suci pernikahan.

Bulan tahu prinsip temannya yaitu pacaran itu untuk menikah. Ia sangat setuju dengan prinsip itu. Saking serunya melihat dua orang yang dimabuk asmara itu sampai-sampai dia tidak menyadari ada yang menggandeng dirinya.

“Jadian juga akhirnya ya,” ujar cowok itu senang.

“Kak Joy?”

Bulan menatap cowok itu dengan sumringah lalu menyandarkan kepalanya di bahu cowok itu. Ia bahagia bisa bersama dengan Joy.

Meskipun masalah di rumahnya begitu pelik, bayang-bayang masa lalunya juga masih menghantuinya, tapi bersama Joy ia rasa bisa melalui semua itu. Semoga saja.

Bulan menarik tangan Joy, mengajaknya untuk keluar dari kelas. Ia membiarkan Venus bersorak bersama teman-temannya yang lain untuk menggoda pasangan baru jadian tadi.

“Kak, makan yuk. Laper banget nih.”

“Siap, tuan puteriku.”

Hanya mendengar ucapannya saja sudah membuatnya dimabuk kepayang. Joy memang rajanya gombal.

Mereka sudah menghabiskan beberapa piring dan Bulan tersenyum sambil menepuk perutnya.

“Gile, kenyang kali aku.”

Joy menggelengkan kepala.

“Wajar, kamu makannya sebanyak itu,” goda Joy sambil melirik Bulan dan piring-piring kosong di meja.
Gadis itu tersipu dan cengengesan saja.

“Kak, setelah lulus SMA, kakak mau masuk ke jurusan apa?” tanya Bulan random.

“Hmm, jurusan mana aja asal ada kamu asik kali ya?”

“Ih, Kak Joy. Aku kan masih lama masuk kuliahnya.”

“Ya iyalah pinter, kan kamu masih kelas sepuluh.”

Mereka tertawa. Wajah Joy itu semakin tampan ketika dia tertawa, dan itu membuat Bulan semakin jatuh hati padanya. Pacarnya itu memang tampan sekali, dia beruntung bisa menjadi pacarnya.

“Nih, minumannya diminum dong sayang. Nanti kamu haus,” ucapnya sambil mendekatkan gelas minuman ke bibir gadis itu.

Ia meneguk minumannya dengan wajah memerah, ia terpesona dengan perilaku Joy yang kelewat manis itu.

“Kak, kakak kok bisa sih suka sama aku?” tanya Bulan random.

“Kenapa harus enggak suka sama kamu?”

“Aku tidak secantik gadis lainnya. Kalau kakak tahu seperti apa aku di masa lalu dan sehancur apa kondisi keluargaku, pasti kakak ilfeel deh sama aku,” gumamnya sendu.

Joy memegang erat jemari Bulan dan mengusapnya pelan.

“Setiap orang punya masa lalu yang kelam, sayang. Kalau kamu sulit menghadapi masa lalu itu, kamu harus ingat ini.”

Ia mengusap wajah gadis itu pelan lalu mencubit pipinya gemas.

“Ingat apa?”

“Kamu sudah bertahan sejauh ini sudah luar biasa. Kamu kuat dan bisa melalui semua itu. Sekarang, cobalah untuk maafkan masa lalu itu dan bersyukur. Banyak yang sayang sama Bulan, salah satunya aku. Tidak apa jika kamu masih ingin bersembunyi dan membuat benteng pertahanan supaya menghindari untuk menghadapi masa lalu itu. Tidak apa, tapi begitu benteng itu kamu hancurkan. Kamu akan mendapati aku selalu berdiri dan menunggumu.”

Sungguh, gadis itu tersentuh dengan kalimatnya. Ia bahkan sudah berkaca-kaca sekarang.

“Aku mau tahu seperti apa kamu di masa lalu, bolehkah?” tanya Joy hati-hati.

Ia serius dengan kalimatnya, ia ingin mengetahui gadis itu lebih jauh.
Bulan tersenyum dan mengangguk. Ia terdiam cukup lama sebelum memulai kisah kelamnya.

“Aku hidup di keluarga yang bahagia. Aku punya kakak yang begitu menyayangiku dan memahami seperti apa aku. Tapi, dia pergi untuk selamanya. Aku tidak tahu seperti apa beban yang dipikulnya. Dia tidak pernah memberitahukannya padaku.”

Joy memegang erat jemari gadis itu, berusaha memberikan kekuatan padanya.

“Akhirnya dia pergi dari rumah, katanya mau melamar pekerjaan. Tapi, ia tidak pernah kembali. Kepergiannnya membuat perubahan besar di rumah. Lalu, Papi dan Mami melarangku untuk keluar rumah, melarangku untuk bermain bersama teman, setelah sekolah harus kembali ke rumah dan belajar, mereka juga semakin gila kerja dan membiarkanku kesepian di rumah. Bahkan, mereka melarangku untuk pacaran.”

Kalimat terakhir cukup menohok Joy.
Gadis itu tersenyum miris dan memegang erat tangan Joy yang sempat melepaskan genggamannya.

“Aku yang stress karena kekangan di rumah. Di sekolah, aku juga ditindas. Katanya aku tidak layak berada di sekolah ini. Seharusnya aku tidak ada di sini. Awalnya aku biasa saja dan memendam semua itu. Tapi, lama-lama aku tidak kuat. Kakak tahu kan? Perasaan yang dipendam itu selayaknya bom waktu, tinggal menunggu hingga orangnya tidak kuat dan semua akan meledak.”

Joy mengangguk paham. Ia mengerti tidak enaknya memendam perasaan, karena ia pun sama.

“Aku yang tidak kuat mendapat tekanan di rumah dan di sekolah akhirnya memberontak. Lalu, aku denger dari teman kalau bisa pergi ke rumah sakit jiwa."

"Terus?"

"Aku bilang ke orang tuaku. Mereka malah ngamuk dan bilang aku hanya akan mempermalukan mereka."

Bulan menarik napas dalam-dalam. Menceritakan kisah kelam ini cukup menguras tenaganya.

"Aku terus memberontak dengan ucapan mereka. Ya, aku bertingkah semau aku dan aku terlihat seperti orang tidak waras di mata mereka.
Akhirnya, Mami sama Papi enggak kuat mengurus aku dan memasukkan aku ke rumah sakit jiwa.”

Bulan mengusap wajahnya kasar, ia takut dengan hubungannya setelah ia memberitahukan ini.

"Setelah itu, hidupku tidak semakin membaik. Mereka meninggalkanku di sana dan tidak kembali. Katanya mereka sibuk bekerja."

Gadis itu melirik ke arah Joy. Dia tahu, stigma akan dirinya yang tidak waras dan patut dijauhi pasti masih ada di pikiran orang yang mendengar ceritanya ini. Dia kira hidupnya kembali bahagia. Joy adalah detak yang menjadikan hidupnya berwarna, tapi ia terlalu naif. Detak yang menjadi retak.

Tidak apa, mungkin dia memang tidak seharusnya dilahirkan.


Note:
Hai! Gimana bab ini?
Terima kasih sudah mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro