14. Sebuah Nama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah beberapa hari, Mia diberikan waktu kosong untuk pergi karena di saat yang sama Lowel juga pergi untuk suatu urusan. Lurch yang menjemput Mia menuju kerajaannya sembari menceritakan apa yang terjadi.

Mia POV

Adik kak Lurch yang saat itu kak Lurch ceritakan, sakit. Ia tak ingin makan apapun ditambah mendengar bahwa pangeran Lowel terluka. Karena ia sangat mencintai pangeran Lowel. Tetapi saat Lowel datang untuk menjenguknya, ia melakukan kesalahan.

Meminta pangeran Lowel menghisap darahnya.

Jika untukku sendiri itu adalah sesuatu yang seakan-akan mengejekku jika berada di posisi pangeran Lowel. Tetapi itu juga akan aku lakukan jika berada di posisinya.

Kak Lurch memintaku untuk menenangkan adiknya. Kalau tidak salah namanya adalah Lunetta. Aku belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Apa yang harus aku katakan? Kami sampai di sebuah pintu yang berwarna putih dengan warna pink di beberapa ornamennya.

"Kau siap?" tanya kak Lurch.

"Siap tak siap," kataku tersenyum gugup.

Kak Lurch mengetuk pintu itu pelan, "Lunetta, aku membawa tamu untukmu," kata kak Lurch tetapi tak ada jawaban dari dalam ruangan itu.

Aku menatap kak Lurch, begitu juga dengannya yang menatap ke arahku.

"Aku buka pintunya," kata kak Lurch lalu membuka pintu itu perlahan.

Sedikit demi sedikit, aku dapat melihat dekorasi kamar itu yang bercat biru langit yang bercampur warna pink di beberapa bagiannya. Kamar yang rapi, luas dan anggun. Sepertinya ia lebih feminim dibandingkan Vio. Seseorang di tengah kamar itu membuka matanya perlahan, bulu mata yang lentik menghias mata emeraldnya.

"Siapa?" tanyanya dengan nada yang sangat lembut tetapi tersirat kesedihan di sana.

Aku maju beberapa langkah sebelum akhirnya menunduk hormat. "Maaf atas ketidak sopanan saya, nama saya adalah Daniel. Salah satu butler yang melayani pangeran Lowel," kataku dengan sebelah tangan yang berada di dada.

Ia beranjak dari tempatnya, setelah mendengar nama pangeran Lowel di sebut.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Putri Lunetta terdengar kawatir.

"Terimakasih telah menghawatirkan keadaanya," kataku sambil menunduk hormat, "secara fisik ia terlihat baik-baik saja, tetapi aku tak tau perasaannya sekarang," kataku sambil mengangkat wajahku.

Putri Lunetta terlihat menunduk dengan tangan yang terkepal di dadanya. Ia terlihat sangatlah terpukul. Mungkin ia telah mengetahui bahwa apa yang ia lakukan salah.

"Saya telah mendengar apa yang sebenarnya terjadi," kataku yang membuatnya melihatku dengan wajah kaget.

"Siapa yang menceritakannya padamu? Lowel? Atau kak Lurch?" tanya Putri Lunetta sambil melihat ke arah kak Lurch yang berdiri di dekat pintu kamarnya.

"Itu tidaklah penting siapa yang mengatakannya pada saya," kataku sambil menutup mataku. Sedetik kemudian aku kembali membuka mataku melihatnya yang kebingungan.

"Ijinkan saya mengatakan beberapa hal pada anda."

"Baiklah, katakan saja," katanya sambil membuang pandangannya.

"Pertama, saya sangat berterima Kasih anda telah ingin memberikan darah anda secara cuma-cuma untuk pangeran Lowel. Sejujurnya saya juga berkeinginan sama seperti anda," kataku yang membuatnya menatapku dengan ekspresi sedikit kaget.

"Tetapi maaf, apa yang anda lakukan sangatlah melukai perasaannya," kataku yang sedikit aku buat tajam yang membuatnya menunduk.

"Saya tidak tau pasti apa yang ia alami sebelum ini. Trauma yang ia alami, kepahitan yang ia jalani. Yang aku tahu hanyalah pangeran Lowel terlihat tidak terlalu menyukai dirinya sebagai penghisap darah. Itu hanyalah pandanganku sebagai seorang pelayannya."

"Lalu apa yang harus aku lakukan?! Aku tau bahwa aku telah menyakitinya!" serunya sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya.

"Berbicaralah padanya," kataku sambil tersenyum yang ia balas dengan melihatku kaget dan dapat aku lihat air mata mengalir di pipinya.

"Tenang saja, aku yakin pangeran Lowel akan mendengarkan anda," kataku yang masih tersenyum.

"Benarkah?" tanya Putri Lunetta yang menjauhkan tangannya dari kepalanya.

Aku mendekatinya lalu mengusap air matanya, "jika anda benar-benar menyesal, maka tidak ada salahnya untuk mencoba."

Ia menatapku dalam diam. Sedetik kemudian aku menyadari apa yang sedang aku lakukan. Dengan cepat aku menarik tanganku.

"Maaf, aku terbiasa melakukan hal itu saat Vio sedih," kataku dengan nada takut.

Putri Lunetta tersenyum manis sambil memejamkan kedua matanya dan menggeleng pelan, "terimakasih, itu menenangkanku."

Aku tersenyum melihat keadaannya yang sudah dapat tersenyum membuatku juga tersenyum ke arahnya.

"Kau dan kak Lurch, kalian sama," katanya yang membuatku melihat kak Lurch bingung dan ternyata ia juga melihat ke arahku dengan bingung juga.

"Kalian dapat membuat perasaan nyaman dan tenang," katanya sambil tersenyum lebar.

Aku kembali tersenyum senang. Jika memang ia dapat tersenyum seperti itu maka ia sudah siap untuk berbicara baik-baik dengan pangeran Lowel.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang mendekat dengan terburu-buru. Karena penasaran, aku menoleh ke pintu keluar dan kak Lurch melihat ke sampingnya dengan tatapan kaget. Tak lama terlihat pangeran Lowel. Eh?! Mengapa ia di sini?

"Pa-pangeran? Mengapa anda...-"

"Kemari," kata pangeran Lowel dingin sambil beranjak dari tempatnya.

Astaga? Ia akan marah? Dia terlihat sangat marah. Dengan gugup aku mencoba mengikuti langkahnya menuju sebuah pintu yang ternyata menyambung menuju halaman belakang. Pohon-pohon terlihat tumbuh dengan rapi dan beberapa tumbuhan bunga dikumpulkan dengan sejenisnya, dipisahkan oleh jalan setapak. Pangeran Lowel berhenti dan menghadap ke sebuah pohon. Aku berhenti di dekatnya.

Terdengar pangeran Lowel menarik nafas lalu menghembuskannya pelan. Sepertinya aku sungguh-sungguh membuatnya marah. Ia berbalik dan menatapku dalam diam.

"Em... pangeran?" panggilku.

"Bisa kau berikan alasan mengapa kau kemari?" tanya pangeran Lowel dengan mata terpejam dan alis yang tertekuk dalam.

"Karena.... um..." dari mana enaknya aku menceritakan padanya?

"Katakan saja, aku tidak akan marah."

"Eh, saya bingung dari mana harus menceritakannya, bukan karena takut dengan anda. Saya juga tau apa konsekuensi dari datang kemari," kataku pelan.

"Kau dapat menceritakannya dari awal," kata pangeran Lowel sambil menghembuskan nafas pelan.

"Awal? Oh baiklah, saat aku tak sadar itu aku dapat mendengar suara percakapan. Tetapi aku pikir tidak semua lalu... hm? Mengapa anda menutupi wajah anda?" tanyaku bingung saat pangeran Lowel menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.

Jubahnya menganggu pengelihatan, mengapa ia perlu memakai penutup kepala?

"Lanjutkan saja," kata pangeran Lowel pelan tetapi dapat aku dengar.

Aku mengangguk, "saya sempat mendengar kak Lurch memohon anda untuk menjenguk seseorang. Walaupun anda tidak mau, tetapi anda tetap pergi. Setelah itu anda datang kembali ke kamar dan aku berpikir bahwa anda sedang... um... sedih?"

"Dari mana kau tau?"

"Dari cara anda menutup pintu," kataku.

Pangeran Lowel terlihat kaget, "hanya dari itu?"

Aku mengangguk walaupun bingung mengapa ia bertanya. Pangeran Lowel terlihat sedang berpikir.

"Boleh saya lanjutkan?" tanyaku.

"Baiklah."

"Lalu kemarin, anda dan kak Lurch sedang berbicara berdua. Ekspresi kak Lurch mengatakan bahwa ia bersalah, sedangkan tatapan anda terlihat sedih walaupun anda mengangguk. Jadi saya memutuskan untuk bertanya pada kak Lurch dan disinilah saya," kataku sambil merentangkan tanganku ke samping.

Pangeran Lowel terdiam melihatku.

"Yah.... saya tahu bahwa saya sangatlah keterlaluan bagi pelayan dengan pergi tanpa berpamintan dengan tuannya, tetapi saya yakin anda akan melarang saya datang kemari," kataku dengan penuh penyesalan.

"Apa aku menakutimu?" tanya pangeran Lowel yang tak terduga bahwa ia akan bertanya seperti itu.

"Eh... yah.... semua orang yang marah akan terlihat menakutkan bagi saya," kataku sambil menunduk.

Pangeran Lowel duduk dan bersandar pada pohon yang besar itu, "kemarilah," katanya sambil menepuk tanah yang terbungkus rumput di sebelahnya.

Aku terdiam sejenak lalu ikut duduk di sebelahnya dan bersender pada pohon besar berdaun merah itu. Tak ada dari kami berdua berbicara, hanya membiarkan angin menyibak pelan rambut kami. Oh, aku memakai rambut palsu.

"Kau tak perlu melakukan hal seperti itu sebagai seorang pelayanan," kata pangeran Lowel setelah beberapa detik.

"Tetapi saya...!"

"Kau melakukan terlalu banyak," katanya sambil tersenyum.

"Kalau begitu... ijinkan saya melajukan hal ini sebagai teman!" seruku sedikit keras.

"Teman?"

"Iya teman! .... apakah anda keberatan?" tanyaku pelan.

Terdengar tawa pelan dari mulutnya. Hal itu membuatku bertambah kebingungan.

"Tentu saja kau boleh menganggapku teman, lalu mengapa kau memakai bahasa yang terlalu formal padaku?" tanya pangeran Lowel sambil tersenyum dengan menampakkan gigi-giginya yang terbaris dengan rapi.

"Eh begitukah? Maaf, tadi berbicara dengan Putri Lunetta jadi bahasanya masih saja terbawa," kataku sambil tertawa kecil.

"Oh iya."

Aku melihat pangeran Lowel bingung.

"Panggil aku Lowel, tanpa menggunakan 'pangeran'," katanya yang sukses membuatku merasakan jantungku terhenti.

"Eh??? Ta-tapi..."

"Jika kau dapat memanggilku Lowel, maka kau sukses menjadi temanku," kata pangeran Lowel sambil melihat kedepan dengan mata terpejam.

Tega! Aku menarik nafas lalu menghembuskannya pelan. "Baiklah pa.." eh!

Pangeran Lowel menatapku tajam karena kesalahan itu.

"Mak-maksudku... Lo-Lowel..." mengapa susah hanya dengan menyebutkan satu nama?!

Aku melihat pangeran Lowel yang ternyata sedang tersenyum ke arahku. Lalu pandangannya kembali ke depan, begitu juga denganku yang kembali melihat Taman ini.

"Oh iya, boleh aku bertanya? Aku rasa ini akan sedikit melukai perasaan anda..."

"Tanya saja," katanya lembut.

"Apakah... setiap darah memiliki rasa yang sama di lidah vampire?" tanyaku hati-hati, aku tak ingin menyakiti perasaannya.

Keheningan terjadi yang membuatku menoleh ke pangeran-ah maksudku Lowel yang ternyata melihatku dengan tatapan agak kaget.

Sedetik kemudian ia menggeleng, "jika seseorang itu mempunyai sihir yang kecil semakin lezat darahnya," katanya pelan.

Aku tersentak mengingat sesuatu. Bukankah para elf tak bisa menggunakan sihir? Para manusia juga. Aku terdiam entah mengapa perasaan sedih menyelimuti hatiku.

"Apa... anda senang menjadi vampire?" tanyaku pelan sambil melihat ke arah Lowel.

Lowel menunjukan senyum kesedihannya yang amat sangat membuat hatiku remuk melihat ekspresi itu.

"Maaf, aku salah berbicara," kataku sambil membuang wajahku tak kuat melihat ekspresinya.

Keheningan kembali terjadi untuk kesekian kalinya. Aku memilih diam dari pada terus menyakiti perasaanya. Angin kembali melewati kami berdua yang sedang terselimuti keheningan.

"Menurutmu..." kata Lowel yang membuatku menatapnya bingung, "panggilan apa yang cocok untuk para vampire?"

Eh? Um... Vampire? Apa maksudnya?

"Monster."

Kata-kata dari Lowel membuatku tersentak lalu melihat Lowel tak percaya. Ia terus melihat langit dengan tatapan kosongnya.

"Itu yang mereka panggil saat melihatku," kata Lowel terlihat sedih.

"Tetapi anda bukanlah...-!"

"Menghisap darah yang dapat membunuh seseorang. Bukankah itu monster?" tanya Lowel sambil memegang kepalanya dengan satu tangan yang terlihat sedih.

"Lowel..." aku dapat melihat tangannya yang gemetaran. Tidak! Ia bukanlah monster!

"Kau bukanlah monster!" seruku keras.

Lowel tersentak dan melihatku dengan ekspresi kaget, "kau tak perlu menghiburku," katanya dengan wajah yang kembali sedih.

Karena kesal, aku berjalan lalu duduk di depannya. Aku menatap kesal kearah kedua matanya yang menatapku bingung.

"Aku tidak peduli!" seruku lantang yang membuatnya mengeluarkan ekspresi kaget.

"Aku tidak peduli jika orang lain atau anda sendiri mengatakan hal yang buruk mengenai anda. Aku tak peduli jika fisik anda berubah, seseram apapun itu. Sejelek apapun itu. Karena hanya satu hal yang aku tau," kataku sambil melihat lurus kedua matanya yang menatapku tak percaya dan kelegaan di sana.

"Hanya satu, seseorang yang ada di depanku adalah Lowel semata," kataku sambil tersenyum tulus.

"Mengapa..." tanya Lowel sambil menyembunyikan wajahnya di balik penutup kepala jubahnya, "mengapa kau dapat mengatakan hal itu dengan apa adanya? Tidakkah kau harus melihat riwayat hidupku?"

"Aku tidak peduli," kataku sambil menggeleng.

"Bukankah kau harus..."

"Aku. Tidak. Peduli." kataku mantap yang membuatnya melihatku dengan tatapan tak percaya lagi.

"Mungkin kau mempunyai masa lalu yang suram, yang menyeramkan. Tetapi di mataku kau adalah Lowel yang dapat tersenyum lembut di balik jubahmu. Memberikan pandangan lembut yang tulus. Kekhawatiran yang ditujuan untuk pelayanmu. Itu sudah cukup," kataku sambil tersenyum lebar.

"Kau ini memang aneh," kata Lowel sambil tertawa pelan.

"Wah? Baru tau?" tanyaku jail.

"Tetapi keanehanmu yang memberikan berbagai kejutan. Terimakasih," katanya sambil tersenyum.

"Terimakasih juga untuk anda," kataku sambil sedikit menunduk. "Oh iya!" seruku setelah mengingat sesuatu.

"Ada apa?" tanya Lowel bingung.

"Taukah anda apa arti nama anda?" tanyaku semangat.

Lowel terdiam, terlihat berpkir lalu menggeleng tak tau.

"Yang tercinta," kataku sambil tersenyum lebar. "Aku menemukan kertas kecil di salah satu buku yang menuliskan itu. Ah, jika di gabung maka panggilan anda adalah 'pangeran yang tercinta'."

"Begitukah?" tanya Lowel yang lagi-lagi menyembunyikan wajahnya di balik penutup kepalanya.

Eh?! Tunggu! Apakah itu artinya pernyataan cinta?! Aku membuang wajahku malu yang dapat dipastikan memerah ini.

"Yang terpenting!" seruku membuang rasa malu ini, "anda adalah seseorang yang.... dicintai... itu artinya anda bukanlah monster! ... " mulutku yang terbuka aku tutup kembali. Sedikit memalukan mengatakan hal yang berhubungan dengan cinta sekarang.

Suara tawa membuyarkan lamunanku, ternyata suara tawa itu datang dari Lowel, "terimakasih," katanya pelan dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

Setelah itu kami sepakat kembali ke dalam rumah itu, perasaanku sekarang sangatlah senang. Kini tak ada lagi masalah, itu yang aku pikirkan sampai melihat Putri Lunetta yang melihat Lowel dengan kawatir.

Pandanganku mengarah ke Lowel yang kini jika terlihat kebingungan. Aku menghela nafas pasrah lalu mendorong pelan punggu Lowel. Ia melihatku dengan tatapan bingung.

"Setidaknya dengar apa yang ingin ia katakan, aku janji tidak akan ada masalah," kataku pelan sambil tersenyum.

"Baiklah," katanya lalu menghadap ke depan.

Terlihat kak Lurch memegang salah satu bahu Putri Lunetta, tak lama ia mengangguk lalu berjalan mendekati Lowel.

"Bisakah kita berbicara berdua?" tanya Putri Lunetta pelan.

Lowel hanya menjawab dengan anggukan, sekali lagi ia kembali ke halaman belakang tetapi kini bersama Putri Lunetta. Padahal cantik, sayang sekali....

"Bagaimana kira-kira hasilnya?" tanya kak Lurch yang tiba-tiba ada di sampingku.

"Lowel sudah terlihat lebih tenang, aku harap tak ada sesuatu yang negatif terjadi," kataku sambil memandang pintu menuju halaman.

"Lowel? Sejak kapan kau memanggilnya seperti itu?" tanya kak Lurch bingung.

"Sejak tadi," kataku sambil melihatnya.

"Apakah kalian resmi menjadi pasangan?" tanya kak Lurch dengan senyum sinisnya.

"Hah, tidak. Hubungan kami hanya sebatas teman saja. ... sebenarnya aku tak yakin juga antara teman atau pelayan dengan tuan," gumamku pelan.

"Bersabarlah," katanya sambil menepuk pundakku pelan.

"Untuk apa?" tanyaku bingung.

"Lowel menyukai laki-laki? Itukah alasan mengapa ia menolak Netta?" tanya sebuah suara dari belakangku dan kak Lurch.

"Bukan seperti itu bu," kata kak Lurch sambil mendekati seorang wanita dengan telinga yang sama.

Ibu? Hehe, kak Lurch memang mirip dengan ibunya.

"Bukan? Tetapi kau mengatakan seakan-akan Lowel menyukainya. Apa ada yang salah?" tanya ibu kak Lurch.

Wah... dia peka.

"Ada yang salah," kata kak Lurch gugup.

"Apa yang salah?"

"Saya adalah wanita," kataku sambil tersenyum hormat.

"Hah.... APAAAA?!"

Autho POV

Lowel dan Lunetta telah kembali dari pembicaraan mereka. Lunetta merasa tenang karena telah meminta maaf secara baik-baik dengan Lowel. Sesampainya di dalam, mereka terdiam melihat Mia yang sedang bersembunyi di belakang Stayne, Lurch dan Wolven yang berbaris menyamping. Di depan mereka terdapat Ratu Amanda sambil membawa gaun di tangannya.

"Ada... apa ini?" tanya Lunetta bingung.

Pandangan mereka mengarah ke Lunetta dan Lowel yang menatap mereka bingung.

"Ah, bagaimana dengan pembicaraan kalian? Apakah lancar?" tanya Mia yang tetap di posisinya tetapi kini memancarkan senyuman senang.

"Iya, terimakasih padamu," kata Lunetta dengan senyum lebar.

Melihat itu Mia juga tersenyum tetapi ia lengah dan Ratu Amanda telah mendekatinya. Saat menyadari hal itu Mia langsung berlari ke arah Lowel.

"Bukankah masih ada pekerjaan yang harus anda selesaikan?" tanya Mia gugup.

Lowel yang mengetahui sesuatu mengangguk, "iya kau benar, kalau begitu kami permisi," kata Lowel lalu menunduk hormat, begitu juga mia.

Setelah mereka menghilang di balik pintu, Lunetta menghampiri ibunya.

"Apa yang sebenarnya ibu lakukan?" tanya Lunetta.

"Tidakkah kau lihat aku memintanya untuk menggunakan gaun ini?" tanya Ratu Amanda.

"Tetapi ia adalah laki-laki," kata Lunetta.

"Dia itu... hahaha... biarkan dia yang mengatakannya sendiri," kata Ratu Amanda lalu beranjak meninggalkan anak gadisnya yang kebingungan sedangkan ketiga kakak laki-lakinya telah pergi sedari tadi.

Di satu sisi, Lowel menaiki naganya bersama Mia dan ia juga penasaran, akhinya ia bertanya padanya.

"Apa yang sebenarnya kalian lakukan?" tanya Lowel tanpa melihat ke belakang.

"Ibunya kak Lurch memintaku untuk memakai gaun itu, aku benci gaun yang terbuka di bagian atasnya," kata Mia yang sedikit merinding mengingat gaun tadi.

"Mengapa ia memberimu gaun? Ia sudah tahu bahwa kau adalah perempuan?" tanya Lowel bingung.

"Ya... ibu kak Lurch mengira kau tak menyukai Putri Lunetta karena kau menyukai aku sebagai lelaki, jadi aku mengatakan aku adalah perempuan agar kau tak dikira penyuka sesama jenis," jelas Mia.

"Aku tidak peduli jika kau laki-laki," ucap Lowel dengan suara pelan.

"Eh? Kau mengatakan apa? Anginnya sangat keras," kata Mia yang mencoba mendengar apa yang dikatakan Lowel.

"Berpegangan, sebentar lagi kita sampai," kata Lowel.

"Huh? Oh, baiklah," kata Mia yang memegang jubah Lowel.
.
.
.
.
.
.
-(10/09/2017)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro