15. Undangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang kangen sama cerita ini? Saya sih kangen banget. Karena rasa bersalah saya jadi nimbang2 buat up ini cerita dan moodnya kadang ilang pas kembali memikirkan perasaan bersalah.

Tapi akhirnya saya akan tetap melanjutkan cerita ini, walaupun saya tidak atau akan memakan waktu berapa lama sampai di book 2(yang 100% pemikiran saya sendiri).

Terima kasih yang masih mengingat cerita ini dan masih menikmati cerita ini sampai sekarang. Saya tidak tau berapa orang yang masih menyukai cerita ini, tetapi jika masih ada waktu saya akan terus melanjutkan cerita ini.

Saat itu saya mengetik cerita ini saat mengetik cerita saya satunya yang terlalu romantis. Jadinya agak kebawa kayaknya hehehe.

Selamat menikmati.

....

"Kau orang yang menarik, mari kita bertarung lain kali."

Kata-kata itu tiba-tiba saja terlintas di pikiranku. Entah sudah berapa hari sejak saat itu. Ia tak datang, semoga saja itu hanya gertakan yang keluar dari mulutnya.

Tetapi dengan senyuman itu?

"Mia?"

Semua lamunanku terbuyar dan menatap Lowel yang sedang melihatku bingung. "Iya pa- maksudku Lowel."

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyanya sambil menaruh kertas-kertas di atas mejanya.

"Hanya... sesuatu yang seharusnya tidak perlu diingat," kataku sambil tertawa gugup.

"Apa kau ingin membahasnya?"

"Aku rasa tidak, maaf..." Aku menunduk, tak berani menatap kedua matanya.

"Aku mengerti." Lowel kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

Maaf. Jika aku mengatakannya padamu pasti kekhawatiran akan tertampang jelas di wajahmu.

Tok tok tok.

"Kak, bolehkah aku masuk?" tanya Vio di luar ruangan.

"Masuklah," kata Lowel kembali meletakkan kertas-kertas di tangannya.

Pintu terbuka pelan dan menampakkan Vio yang tersenyum sambil berjalan ke arah kami.

"Ada apa Vionna?" tanya Lowel.

"Mia, apakah kakak akan sibuk beberapa hari kedepan?" tanya Vio sambil sedikit berlari ke arahku.

"Eh?! Kenapa Vio bertanya padaku? Kakakmu di sini loh..."

"Mungkin saja kau tau," kata Vio dengan wajah jail.

"Yah... setahuku sih tidak..." kataku sambil berpikir.

"Mengapa kau bertanya Vionna?" tanya Lowel.

Heh?! Dia tak masalah dengan adiknya yang bertanya padaku bukan padanya???

Vio mengarahkan tubuhnya ke arah Lowel dengan senyum entah apa yang dipikirikannya. Tak lama ia merogoh saku roknya lalu menyerahkan kertas kearah Lowel.

Karena penasaran aku mendekat ke Lowel dan ikut membaca kertas itu. Tiba-tiba Lowel menyerahkan kertas itu kepadaku yang membuatku kaget tetapi tetap aku ambil.

Huh? Undangan untuk datang ke akademi?

"Jadi apakah kakak akan datang?" tanya Vio.

"Dalam rangka apa undangan ini?" tanya Lowel.

"Kan kakak saat itu telah berhasil menuntaskan daerah pemberontakan itu. Walaupun terluka." Aku menutup wajahku dengan undangan di tanganku karena merasakan tatapan tajam Vio.

"Lalu?" tanya Lowel.

"Sekolah berpikir mungkin saja kakak dapat berbicara di depan para murid untuk menambah kepercayaan mereka. Karena ada beberapa dari mereka yang tak lulus dalam beberapa ujian," kata Vio tiba-tiba menjadi sedih.

"Vio termasuk salah satunya?"

"Tentu saja tidak." Lagi-lagi ia menatap tajam kearahku.

"Maaf...." kataku kembali menutupi wajahku.

"Baiklah aku rasa tidak masalah," kata Lowel sambil tersenyum.

"Benarkah? Terimakasih kak!" Vio menunjukan senyumnya yang paling lebar membuat kakaknya dan aku ikut tersenyum.

Itu pilihan yang terbaik kan?

......

Akhirnya hari itu tiba. Kini aku melihat Lowel dengan gagahnya mengatakan beberapa kata di atas panggung kecil yang disiapkan oleh pihak sekolah.  Aku berdiri tak begitu jauh dari panggung, dari sini aku dapat melihat seriusan ekspresi Lowel.

Kadang kala aku memandangi para murid yang melihat Lowel dengan tatapan serius ataupun berbinar-binar. Tiba-tiba saja aku melihat ada dua orang sisiwi melihatku, salah satunya melambaikan tangannya kecil. Aku tersenyum dan menunduk untuk membalasnya setelah itu mereka berekspresi seperti menjerit tanpa suara.

Mereka kenapa?

Setelah acara selesai, aku menyodorkan minuman pada Lowel. "Terimakasih," kata Lowel sembari menerima minuman yang tersodorkan dengan wajah tersenyum. Ia langsung meneguk minuman tersebut.

"Pidato yang hebat my lord," kataku sambil menunduk lalu kembali berdiri di sebelahnya.

"Apakah aku terlalu banyak berbicara?" tanya Lowel tanpa melihatku.

"Saya rasa kata-kata yang anda keluarkan membuat mereka bersemangat." Aku tertawa pelan mengingat kembali ekspresi yang dikeluarkan oleh setiap mereka.

Tiba-tiba aku merasa ada yang melihatku, saat menoleh ternyata Lowel sedang melihatku. Aku membalasnya dengan tatapan bingung.

"Kau kembali menggunakan bahasa formal."

Aku tersenyum menahan tawa. "Karena di sini bukan hanya ada saya dan anda saja my lord." Aku mendekatkan bibirku pada telinganya lalu kembali berdiri menahan tawa.

Suara pintu terbuka membuyarkan keheningan yang terjadi sebentar. Terlihat pak kepala sekolah yang kini sedikit tergesa-gesa mendekat kearah kami lalu membungkuk di depan Lowel.

"Maaf kelancangan saya my lord."

"Angkatlah kepalamu, ada apa?" tanya Lowel.

"Para siswa ingin sekali berbicara pada anda, apakah anda berkenan my lord?" tanya pak kepala sekolah dengan wajah ragu tetapi tetap senyuman di sana.

Aku melempar pandanganku pada Lowel dan ternyata ia juga sedang melihatku.

Beberapa menit berlalu dan dalam sekejap Lowel telah dikerubungi oleh para siswa, untung saja ia diberikan kursi yang pijakannya lebih tinggi dari pada para siswa itu. Melihat hal itu membuatku tertawa pelan, aku hanya dapat melihat hal itu dari jauh.

Tak sengaja aku melihat salah seorang siswi tak sangaja jatuh dan mengenai Lowel. Mungkin memang tak sengaja... tetapi lengannya seperti memeluk Lowel. Rasa sakit seperti tertusuk langsung dapat aku rasakan di dadaku.

Aku... cemburu. Tetapi aku bukanlah siapapun. Hal itu membuatku membuang nafas pelan. Tiba-tiba aku dapat merasakan colekan di bahuku, ternyata itu adalah Vionna.

"Heboh sekali bukan?" tanya Vio yang berdiri di sebelahku, menonton hal yang sama.

Aku kembali tertawa pelan. "Tentu, jarang sekali saya melihat pemandangan seperti ini."

"Ah!"

"Hm?" Pandanganku teralih pada Vio di sebelahku.

"Kau memakai bahasa formal!" serunya sambil menunjukku.

"Tentu saja, my lady. Kita sekarang ini bukan sedang berada di sana." Kembali senyumku mengembang dengan tangan kananku yang berada di dada kiriku.

"Apakah kau juga melakukan hal ini pada kakak?" tanya Vio yang tiba-tiba tertarik.

"Tentu, jika saja anda dapat melihat saya yang menahan tawa tadi." Senyumku mengembang lebar mengingat kejadian tadi.

Author POV

Vionna melihat Mia sambil membayangkan wajah kakakknya langsung tertawa, Mia yang melihat itu ikut tertawa dengannya. Langkah kaki yang mendekati mereka membuat keduanya harus meredakan tawa mereka walau senyuman masih terpasang di wajah mereka.

"Permisi..," kata seorang dari siswi yang mendatangi Mia dan Vionna dengan wajah merona.

"Ada yang dapat saya bantu?" tanya Mia lembut dengan senyum manisnya.

"Bo-bolehkah kau memberitahu na-nama..."

"Saya?" potong Mia sambil menunjuk dirinya bingung. Semua siswi di depannya serempak mengangguk. "Nama saya Daniel. Salam kenal." Mia menunjukkan senyumnya yang terlihat paling manis di mata para siswi di depannya.

Jeritan ria dikeluarkan dari setiap mulut mereka. Mia yang tak tau menahu apa-apa hanya dapat tersenyum bingung, sedangkan Vionna di sampingnya tertawa pelan.

"Vionna, apakah benar ia butler di rumahmu?" tanya salah seorang siswi yang ternyata teman kelas Vionna.

"Benar." Vionna mengangguk sembari berbicara. Hal itu membuat mereka menatap Mia lebih berbinar-binar.

"Apakah kau mempunyai makanan kesukaan?"

"Saya rasa tidak," jawab Mia sedikit berpikir.

"Apa yang kau sukai?"

"Huh?" Mia kebingungan dengan para siswi yang mendekatinya.

"Apa yang biasanya kau lakukan?"

"Tipekal wanita idaman?" Persis setelah itu para siswi saling berhisteris ria.

"Baik-baik, sudah sampai sana saja ya ladys." Seorang siswa mendorong para siswi itu dengan paksa. Ia memamerkan deretan giginya di depan Mia dan Vionna.

Vionna menampakkan wajah datarnya sedangkan Mia tersenyum sembari sedikit menunduk.

"Yo, namaku Hadyen." Siswa tersebut terus saja menunjukan senyum lebarnya. "Lalu aku penasaran denganmu," katanya sambil merangkul Mia.

Yang dirangkul kaget, seingatnya yang pernah merangkulnya hanyalah Adean yang ia anggap sebagai seorang kakak. Sedangkan Vionna menatap Hadyen dengan tampang datarnya. "Kau itu perempuan kan?" Seketika Mia terpaku dengan wajah menghadap ke arah Hadyen.

"Kau tau...-"

"HAHAHA! Aku benar ya?" potong Hadyen dengan tawa kerasnya. "Mataku lumayan tajam mengetahui perbedaannya. Mungkin karena aku mempunyai tiga kakak perempuan ya?" Tawanya kembali terdengar dengan riangnya.

"Kau mempunyai banyak suadara ya?" tanya Mia pelan yang dapat didengar oleh Hadyen karena jarak mereka yang tak begitu jauh.

"Tentu! Kami enam bersaudara. Tiga kakak perempuan dan dua adik laki-laki. Aku adalah anak keempat," bangganya dengan senyum yang tak juga pudar.

"Wah... pasti merepotkan," kata Vionna terkejut.

"Yah memang merepotkan, tetapi juga mengasikkan. Rasanya rumah sepi saat kedua kakakku harus tinggal dengan suaminya." Hembusan nafas terdengar di akhir kalimat.

"Oh, rasanya aku mengerti perasaan itu," kata Vionna.

"Menyedihkan bukan?" tanya Hayden yang kembali menghela nafas. "Kadang kala kawatir juga meninggalkan adik-adikku."

"Wah, kau adalah kakak yang baik," puji Mia sambil tersenyum manis.

Hayden terdiam melihat Mia lalu ia membalas senyum orang yang masih dirangkulnya. "Terima kasih."

"Mengingatkan pada seseorang bukan?" goda Vionna.

Hayden dan Mia menatap Vionna dengan tatapan bingung. Tiba-tiba Mia memikirkan seseorang dan wajahnya menjadi merah. Kini pandangan bingung Hayden mengarah kepada Mia.

"Oh, kau baru mengerti ya?" tanya Vionna jail.

"Su-sudahlah Vio," kata Mia yang menahan malunya.

"Tunggu... Ini mengenai orang yang dia suka?" tanya Hayden dengan wajah polos dan berhasil membuat wajah Mia lebih memerah dari sebelumnya. "Aku benar?"

"Sudahlah!" seru Mia malu yang membuat kedua orang di sebelahnya semakin ingin menggodanya.

Di satu sisi, pangan Lowel yang dari tadi berfokus pada siswa-siswi di sekelilingnya kini tak sengaja melihat Mia yang dirangkul oleh seseorang. Wajah Mia yang memerah melihat seseorang yang merangkulnya sedang tersenyum lebar, walau Vionna juga begitu tetapi tak dilihat oleh Lowel.

Lowel berdiri yang membuat suasana ribut menjadi hening, bingung dengan gerakannya yang tiba-tiba. Mereka hanya diam melihat Lowel yang beranjak dari panggung dan berjalan menuju Mia, Vionna dan Hayden.

"Ada apa my lord?" tanya Mia bingung.

Tanpa membalas, Lowel menarik tangan Mia menjauh dari tempat itu. Para siswa-siswi merasa kebingungan, sedangkan Vionna dan Hayden tersenyum penuh arti.

Mia masih terbingung-bingung dengan Lowel yang menarik tangannya sampai di taman sekolah yang luas.

"Kita akan kemana?" tanya Mia yang melihat sekeliling.

Lowel berhenti secara mendadak, membuat Mia hampir menabrak punggungnya. Diam-diam Mia menghela nafas karena tak menabrak punggung lelaki di depannya. Keheningan pun terjadi oleh kedua orang itu, yang satu merasa bingung dan satunya berkutat dengan pikirannya.

"Sebenarnya ada apa Lowel? Apa kau merasa tidak enak badan?" tanya Mia khawatir.

Lowel mengeratkan genggamannya di tangan Mia tanpa mengatakan apapun.

"Lowel?"

"Aku tidak tahu," kata Lowel akhirnya.

"Huh?"

"Mungkin aku sedikit kelelahan. Maaf menarikmu kemari," Lowel melepaskan genggamannya.

Mia merasakan kekecewaan karena sensasi dingin yang nyaman kini telah lepas tetapi ia merasa tak bisa melakukan hal lain.

"Aku tidak masalah sama sekali tetapi kalau kau membutuhkan sesuatu seharusnya kau hanya perlu memanggilku. Kalau berjalan sampai kemari bisa saja membuatmu tambah lelah."

Lowel mengangguk. "Maaf."

Mia menghela nafas lalu berjalan ke depan Lowel, yang dipandang kini kaget dan bingung. "Apa benar hanya kelelahan?" tanya Mia yang menatap kedua mata merah Lowel.

Tiba-tiba saja Lowel memeluk Mia erat, yang di peluk awalnya kaget tetapi akhirnya ia mengelus punggung Lowel pelan. Mia mencoba untuk mengerti, walau susah.

"Aku kesal," pikir Lowel yang membenamkan kepalanya di antara bahu Mia dan menikmati usapan lembut di punggungnya.

Setelah itu mereka kembali dan Lowel juga kembali melakukan sesi tanya jawab tetapi kini dengan Mia di sampingnya. Tanpa mereka tahu ada sepasang mata yang tidak diinginkan melihat setiap pergerakan mereka.

.
.
.
.
.
.
.


A/N SAMA DI SETIAP CERITA YANG SAYA UP DI HARI YANG SAMA.


Dikarenakan adanya minggu tenang (sebelum UAS) jadinya saya sudah rencana banget mau up kelima cerita ini hehehe. Tapi ternyata bener, minggu tenang buat saya itu hanyalah mitos :")

Jadi saya ngebut nih, akhirnya jadi juga. Walaupun emg ada yang tinggal menambahkan sedikit dan ada yang maksain, berhasikan aneh banget.

Tak perlu di ngertiin, saya udah biasa kok :v

Yang belum tahu, saya beritahukan lagi: Saya tidak bisa up seaktif saat dulu SMA. Tugas yang sama emban kini semakin menumpuk. Bahkan ada Dosen yang nggak berprasaan//plak//.

Sekian dan terima kasih atas perhatiannya~~

SELAMAT HARI SENIN~~~ WKWKWKWK

-(10/12/2018)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro