¹¹재젤; the truth is, i'm with(out) you.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lebih sulit untuk berpura-pura tidak mencintai seseorang ketika kamu benar-benar mencintainya."
ㅡ Janardana Nalendra.

•••

"Cepet jelasin."

"Sabar." Jevan mengusap punggung kekasihnya itu agar sedikit tenang.

"Rin, gue ngga cerita apapun, lo sampai emosi gini?" heran Asha, raut wajahnya terlihat sedikit kesal. Sebelahnya ada Dean yang hanya duduk terdiam.

Karin menghela nafasnya, "Gue cuma mau mengutarakan perasaan dia sekarang."

"Dia? Siapa?"

"Cepet jelasin semuanya. Gue ngga punya banyak waktu," alih Karin dengan nada ketus.

"Oke. Gue bakal cerita, tapi lo berdua jangan potong apapun."

Jevan dan Karin hanya diam, menunggu lanjutan dari sahabat mereka itu.

"Dean jujur ke gue kalo dia ada perasaan ke gue dari kelas 10 dan gue jujur juga kalo gue nge-crush-in Dean dari jaman kita kenal di MPLS." Tangan Asha terangkat, memberi kode pada Karin untuk tetap diam karena sahabatnya itu ingin mengeluarkan suaranya.

"Iya gue tau, pas itu juga gue ngerasa bersalah. Makanya gue menjauh. Tapi namanya juga perasaan? Gue tetep suka sama Dean, begitu juga sebaliknya. Dan ya, akhirnya Dean nembak gue tadi di kantin." Asha mengakhiri penjelasannya, lalu meneguk choco latte-nya untuk membasahi kerongkongannya yang kering.

Jevan dan Karin masih diam di tempatnya, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Oh iya, Nalen mana? Gue belum liat dia lagi setelah dia ngucapin selamat ke kami berdua," tanya Asha dengan bola mata menelusuri kafe yang mereka tempati. Berharap menemukan Nalen, namun tidak ada.

"Makasih buat penjelasannya, Sha. Kita balik duluan," ucap Karin tanpa menjawab pertanyaan Asha. Gadis berambut panjang itu beranjak dan menarik sang kekasih untuk pergi dari kafe itu.

"Mereka... kenapa?" lirih Asha dengan mimik wajah yang tidak bisa dijelaskan.

"Udah, ngga usah dipikirin. Mungkin mereka masih kaget sama kita," ucap Dean yang baru mengeluarkan suaranya setelah satu jam mereka ada disana.

Asha mengangguk, namun otaknya masih terus bertanya. Mengapa Karin sangat marah? Mengapa Jevan menatapnya dingin? Mengapa Nalen tidak ada?


"Kakak dapet telfon dari wali kelas kamu, katanya kamu kabur dari sekolah. Bener?" tanya Eva saat adiknya itu baru saja masuk kedalam rumah.

"Terus kalo udah malem baru inget pulang?"

"Nalen capek," kata lelaki itu singkat, kakinya melangkah cepat menuju kamarnya.

"Jawab pertanyaan Kakak!" seru Eva yang membuat langkah adiknya berhenti tanpa berbalik.

"Mama panik sampai nangis karena kamu ngga ada kabar! Kakak juga izin ke manager buat pulang! Dan kamu dengan santainya masuk ke rumah tanpa bersalah sama sekali?!" lanjutnya dengan suara naik 2 oktaf, wajahnya pun memerah karena menahan amarah.

Nalen masih bergeming dalam tempatnya tanpa membalikkan badannya.

"Kamu kalau punya temen jadi ngga bener, Na."

"Gausah bawa-bawa temen, Kak!"

"Nalen... ngga punya temen."

Setelah mengucapkan itu, Nalen langsung masuk dan mengunci diri di kamarnya.

Ia melempar tasnya dengan asal lalu merebahkan diri tanpa melepas hoodie dan seragam yang masih melekat ditubuhnya.

Helaan nafas terdengar. Kedua netranya menatap langit kamarnya dengan tatapan kosong.

"Jadi gini rasanya sakit hati dan kecewa?"

"Hanya hal itu, aku kabur dari sekolah?"

"Cinta... cinta... Rumit sekali."

"Gara-gara cinta. Aku buat Kak Eva marah setelah beberapa tahun. Aku juga buat Mama nangis."

"Asha, aku ngga yakin sama janji kamu yang bakal selalu sama aku. Karena kamu... sudah punya cowok."

Nalen menghela nafasnya lagi setelah selesai beragumen sendiri. Tangannya menyalakan ponselnya yang sengaja di matikan semenjak ia kabur dari sekolah. Notifikasi pesan dan puluhan panggilan tak terjawab langsung muncul saat Nalen menyalakan data seluler.

Nalen tak memperdulikan pesan-pesan itu. Jarinya menggulir ke status, melihat status orang-orang tanpa minat.

"Ck," decaknya saat melihat status terbaru dari salah satu kontak yang belum lama mengirim pesan padanya.

Bocah itu melempar ponselnya ke atas bantal lalu menelungkupkan diri disela-sela tembok dan kasur. Berniat untuk tidur untuk melupakan sejenak kisah cintanya yang pupus, namun tak bisa karena setelah beberapa detik pintu kamarnya diketok.

Nalen masih diam, kedua matanya pun masih terpejam rapat.

"Sayang, kamu di dalam, nak?"

Lelaki itu segera bangkit dan berjalan membuka pintu kamarnya. Walaupun sedang tidak baik-baik saja, Nalen tidak boleh mendiami Mama tercintanya.

"Ma-"

"Astaga, kamu darimana aja? Di telfon ngga dijawab, di chat centang satu. Kamu buat Mama khawatir tau ngga," ucap Mama Nala dengan kedua mata berkaca-kaca, dari suaranya pun bisa terdengar ibu dua anak itu menahan tangis dan amarahnya.

Nalen menekukan kedua kakinya agar tingginya sama dengan Mama Nala. Digenggamnya kedua tangan ibu-nya agar tenang.

"Maaf, Ma. Nalen ngga ada tujuan bikin khawatir Mama sama Kakak. Tapi, Nalen pergi dari sekolah saat jam pelajaran karena Nalen mau menenangkan diri."

"Menenangkan diri? Dengan cara pergi dari sekolah diam-diam?" celetuk Eva. Gadis itu bersender di pintu kamarnya, menatap Nalen dengan perasaan yang masih marah dan khawatir.

"Nalen emang tau itu cara yang salah. Tapi, ngga ada pilihan lain."

"Kenapa? Ada masalah?" tanya Mama Nala sambil mengusap lembut puncak kepala anak bungsunya itu.

Nalen diam dan menghela nafasnya kasar.

"Nalen salah dan sangat menyesal untuk memutuskan berteman dengan siapapun yang bisa menerima Nalen."

"Nalen benci pertemanan dan..."

"...jatuh cinta dengan Asha."


Asha menatap layar ponselnya yang menampilkan roomchat dirinya dengan seorang lelaki yang terus membuatnya khawatir seharian.

"Lo bisa liat status gue tapi ngga bisa jawab pesan gue. Dasar cowok," batin Asha sedikit kesal.

"Kenapa, Sha?"

Ah! Asha lupa jika ia masih bersama Dean.

Gadis itu menyengir kemudian menggeleng pelan sambil menyimpan ponselnya di dalam saku nya.

"Lo mau pulang?" tanya Dean kembali. Melihat wajah Asha yang tidak bersemangat membuatnya berpikir jika gadisnya itu sedang tidak baik-baik saja.

"Ngga. Gue masih betah disini."

Keduanya sedang di pinggir jalan malioboro. Duduk tenang sambil menikmati semilirnya angin. Langit juga sedang sangat cerah karena cahaya bulan purnama dan bintang-bintang yang menghiasi malam ini.

"Asha, lo tau sesuatu?"

Asha menengok pada Dean yang sedang menatap bulan purnama di atas sana, "Apa?"

"Gue itu matahari dan lo itu bulan."

"Kenapa bisa gitu?

"Matahari yang sebesar itu pun perlu bulan untuk bisa menerangi setiap sudut bumi. Seperti gue yang butuh lo untuk menerangi hidup gue," kata Dean dengan tersenyum manis.

"Iyakah?"

"Iya, sayang."

Asha tertawa malu sambil memukul pundak Dean. Tawanya perlahan berhenti lalu memandang bulan kembali dengan pikiran yang mulai kemana-mana, lebih tepatnya saat dirinya dan Nalen berada di tempat favorit Nalen saat itu.

"Asha, kamu mau tau bulan dan bintang yang sebenernya?" tanya Nalen dengan mata menatap kagum duplikatnya bulan, Asha.

"Mau, kasih tau dong!" ucap Asha dengan bersemangat.

"Mereka itu memang ngga deket, tapi bintang bisa melihat bulan, begitu juga sebaliknya."

"Aku ingin kita berdua seperti mereka. Ngga deket tapi saling melihat satu sama lain, seperti sekarang."

"Anjay! Nalen bisa ngegombal?! Keren!"

"Ayo, Sha. Pulang, udah jam delapan."

Suara Dean membuat gadis berponi itu sadar akan lamunannya. Ia beranjak dan menggandeng tangan lelakinya berjalan menuju tempat motor diparkirkan.


CAN EVERYONE STOP CALLING ME 'THOR'⁉
GUE BUKAN THOR PLS, NAMAKU SHAENA
kalo manggilnya authornim si gapapa, soalnya lucuu! intinya jangan panggil aing thor lagii! T^T

btw aku mau ketawa sama keadaan nalen sekarang
/ketawa sampai bengek
ada yang ingin disampaikan?

bantu follow ig & tiktok aku ya! usnnya sama kayak acc wp ini (hczslvnn)
terimakasiii~

DON PORGET TU POT EN KOMEN!

•••

how to hate you.
30/04/24; without you.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro