05 🔸 Lima Belas yang Terburuk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

    "Kamu tahu sendal aku pasangannya di mana?"

    "Nggak, tuh."

    "Bohong!"

    "Serius, Dee."

    Mengatakan hal seperti itu sambil tersenyum membuat ia curiga. Matanya memindai sekeliling, terlihat tidak ada yang aneh. Namun, hei, lihat tangan yang disembunyikan di belakang badan.

    "Aku nggak sembunyikan apa-apa. Su'udzon pisan."

    "Kalau nggak sembunyikan apa-apa, kenapa tangannya diumpetin di belakang?"

    "Ya nggak apa-apa. Awas, nanti tuyulnya loncat!"

    Mereka saling kejar-kejaran. Tidak pernah tertangkap karena ia lamban jika balap lari.

🔅

    Gemerick air hujan menerpa atap rumah, menimbulkan suara nyaring saling bersahutan. Awan hitam mendominasi langit biru, sehingga kota menjadi gelap dan dingin. Jemuran dari pagi belum kering karena cuaca mendung seharian, seperti suasana hati. Dengan sigap, Diandra memindahkan jemuran dari halaman beserta pakaian-pakaian yang sebagian terlanjur basah terkena hujan.


    Segelas susu hangat dan setoples cookies masih utuh tidak tersentuh. Diandra berpangku tangan di meja, melongok hampir setiap menit ke luar jendela. Mengapa lama sekali, pikir Diandra.

    Satu jam telah berlalu, akhirnya sesuatu yang ia tunggu datang juga. Pintu rumah diketuk. Diandra langsung berlari, membuka slot kunci, menyambut orang itu dengan sumringah.

    "Atas nama Anisah?"

    "Iya. Aku anaknya!"

    Ternyata itu adalah kurir yang mengantarkan paket milik Anisah, ibu dari Diandra. Gadis kecil itu bersemangat menerima paket dan berlari menuju ibunya. Diandra meraih gunting di meja belajar lalu mulai memotong lakban dua lapis yang membungkus rapi paket tersebut.

    Melihat anaknya pegang gunting, Anisah langsung berlari merebut gunting dari tangan Diandra. Ia khawatir karena saat berumur dua tahun, Diandra dapat menyilet punggung tangannya sendiri. Tentu Anisah yang disalahkan karena tidak becus mengurus anak. Tapi harus diketahui, cukup sulit untuk mengawasi Diandra sekaligus memasak di warung pecel lele.

    Gaun berwarna putih, dihiasi bunga mawar di bagian pinggang, menjuntai hingga lantai begitu dikeluarkan dari kotak paket. Gaun itu begitu ideal bagi tubuh tinggi semampai  Diandra. Dibawa olehnya ke kamar untuk dicoba.

    Lima belas menit kemudian, Diandra keluar, mematut diri di cermin setinggi 160 cm. Ia berputar, merasa menjadi putri di negeri dongeng.

    "Gimana, ma, bagus nggak?"

    Anisah memandang Diandra dengan tatapan kagum. "Cantik sekali anak mama!"

    Diandra tersipu lalu mengucapkan terima kasih kepada Anisah. Ia melepas gaun putih itu lalu mempersiapkan hal-hal untuk acara ulang tahun sahabatnya.

    "Assalamualaikum, Dee!"

    Mendengar suara salam yang nyaring itu, mendadak suasana hati mendung Diandra menjadi sehangat mentari. Terlalu bersemangat, Diandra tak sengaja menendang kaki meja, ia mengaduh kesakitan. Mengetahui ada yang tidak beres, tamu istimewa itu langsung masuk tanpa permisi. Diusapnya jempol milik Diandra, diberi mantra penghilang rasa sakit, sama seperti apa yang dilakukan ibunya.

    "Dee ceroboh. Masa meja ditendang?"

    Diandra tersipu diomeli oleh sahabatnya. "Aku nggak sengaja, Rei."

🔅

    Alarm berbunyi untuk membangunkan Diandra dari tidur siangnya ketika jarum jam tepat menunjukkan pukul tiga sore. Ia mengambil wudhu, kemudian sholat ashar di rumah. Setelah mengaminkan hajat kepada Sang Pencipta, Diandra melipat mukena dengan tergesa. Ia langsung meluncur ke kamar mandi, memakai gaun baru, dan berhias di depan cermin.

    Burung-burung di kandang perumahan tetangga saling bernyanyi, bersahut-sahutan, seperti ikut merayakan ulang tahun sahabatnya. Sepeda listrik berwarna merah muda itu melaju menembus angin, melewati segerombolan tetangga yang sedang menggosipkan gadis perawan pulang malam, anak kecil terperosok ke parit karena dikejar anjing yang mondar-mandir di pinggir trotoar, serta pembeli yang ngamuk-ngamuk karena bola kasti masuk ke dalam batok kelapa pesanannya. Semua keributan, seketika tidak terlihat oleh Diandra.

    Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke tempat tujuan. Diandra mendengar keributan dalam gang nanas. Dihampirinya pusat suara itu. Terlihat ada belasan orang sedang berkumpul di depan rumah.

    "Rei?"

    Diandra mencari Reivant, namun diantara kerumunan itu, tidak ditemukan sosok sahabatnya. Masuklah ia ke dalam rumah untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Seorang lelaki sudah terbujur kaku di atas tikar, sudah ditutup dengan kain kafan dan kain batik. Seorang wanita dan ketiga anak, duduk di samping jenazah.

    Air mata tumpah. Di hari ulang tahun yang seharusnya dirayakan dengan kebahagiaan, ia malah mendapatkan kabar duka mendalam. Membuka usia baru dengan mimpi buruk yang berlangsung selamanya.

    Diandra menghampiri Reivant, menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Reivant keluar dari kamar, berusaha menahan kesedihan dari semua orang. Tapi, ia tetaplah manusia biasa. Pelupuk mata mulai basah.

    Kini ia tidak bisa membendung lebih lama. Pundak Diandra sebagai tempat Reivant meluapkan semuanya. Tidak pernah ia melihat Reivant menangis, apapun kesedihan yang pernah menimpanya sebelum ini, sampai disangka keras hati oleh orang-orang. Reivant selalu terlihat kuat dan lucu, namun begitu melihat sisinya yang seperti ini, hati Diandra ikut teriris.

    Tinggi mereka sepantar meski Diandra lebih tua satu tahun dari Reivant. Tidak sadar air matanya membuat sebagian besar pundak Diandra basah, Reivant segera bangkit, meminta maaf telah membuat bajunya kotor. Diandra menggeleng. Ia merogoh tas dan mengambil sesuatu yang dibungkus oleh kertas kado bermotif bunga dandelion.

    "Selamat ulang tahun, Rei."

    Reivant tersenyum. Lebih tepatnya senyum menutup luka. Mengapa kematian ayahnya harus menjadi kejutan di hari ulang tahunnya? Apa dosa yang telah Reivant perbuat hingga harus menghadapi hari pertama di usia kelima belas dengan berita paling buruk?

    "Kalau kamu butuh pundak, panggil aku. Aku akan selalu ada."

🔅

    Laci meja belajar dibuka dan barang yang pertama kali terlihat adalah sebuah syal rajutan buatan sendiri, berwarna biru dongker. Reivant mengambil syal itu, mengalungkan ke leher dan mematut dirinya di depan cermin. Ini adalah hadiah dari Diandra, dan hari ini baru saja mereka bertemu.

    Ketika saling bertatap wajah, mereka saling diam, tidak ada yang mulai bicara, karena Reivant tidak menghentikan laju motornya.

    "Itu syal dari kak Dian dulu, ya?" tanya Syafa entah muncul dari mana.

    "Iya. Dari Diandra."

    "Tumben dikeluarkan. Ada apa nih?"

    Reivant tidak menghiraukan pertanyaan Syafa. Ia kembali memasukkan syal rajutan itu ke tempat asalnya.

    "Ih, dikacangin!" gerutu Syafa.

    "Lagi nyari isi ulang pulpen," jawab Reivant lalu mengambil sebuah isi pulpen cair dari laci yang sama.

    Tidak ada tanggapan lagi, Syafa hanya menaikkan alis lalu pergi. Jadwal olimpiade sudah di depan mata. Dengan mengesampingkan seluruh pikiran-pikiran lain, Reivant mulai fokus dengan buku olimpiade ekonomi setebal tiga ratus delapan puluh halaman.

    Satu jam Reivant berhasil fokus mengupas tuntas satu bab materi mengenai lembaga keuangan. Belum dilanda rasa capek, namun suara notifikasi membuat telinganya penging. Pasti ulah trio ubur-ubur. Kini ponselnya telah berubah menjadi mode silent. Ia mulai fokus untuk belajar bab selanjutnya.

    Kehausan karena belajar di siang hari, ia menyeduh susu coklat pakai es batu. Kerongkongannya kembali segar, namun perlahan matanya mulai redup. Dilihatnya jam dinding, sudah hampir dua jam ia belajar. Waktunya untuk istirahat. Sebelum membuka ponsel, ia membaca do'a tolak bala.

    Mode silent dinonaktifkan. Ratusan balon notifikasi bermunculan di atas ponsel. Grup nanas berkontribusi paling banyak memenuhi memori ponsel. Ada satu notifikasi yang membuatnya terperanjat.

Farhan:
Tadi ada cewek sepatu roda!

Dan tebak, apa yang kutemukan?

Wah, urang mah teu nyangka, sih
(Aku nggak nyangka, sih)

Reivant:
Apa sih? Ngasih ingpo kok setengah-setengah.

Farhan:
Kalau mau tahu, sini ke toko.

Reivant:
Dih, mager, ah

Chat aja napa

Woi

P

Sempak lucifer

Wibu

Kanebo kering, lo mau ngerjain gw ya?

Bedegong, di read doang 🙂
Read

    Reivant melempar ponselnya ke bantal. Ia memukul kasurnya seperti bayi sedang tantrum. Sudah lama ia tidak bertemu gadis sepatu roda. Ketika mendengar kabarnya, ia ingin menghampiri gadis itu. Namun kemageran hari ini sulit untuk dihilangkan.

    Sepuluh menit berlalu, ia hanya menekuri ponsel. Tak lama kemudian, Farhan mengirimkan satu foto.

    Sebuah foto buram amatiran, menampilkan gadis sedang mengambil buku di rak paling atas.

    Farhan tidak bohong.

🔅

IG: @vierya_chie
1.218 words
14/05/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro