Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara benda jatuh disusul dengan suara pertengkaran dan terakhir ditimpa tangisan, membuat Erica terjaga dari tidurnya. Ia baru saja terlelap kurang lebih empat jam dan dipaksa untuk bangun. Menghela napas panjang di menggeliat, menutup telinga dengan bantal dan bersiap tidur lagi tapi suara-suara di luar bukan malah mereda tapi justru semakin keras.

"Itu punyaku!"

"Nggak, itu punyaku."

"Mamaa! Kakak nakal!"

"Dasar lo cengeng!"

Rasa kantuk menghilang dan kini berganti dengan kekesalan. Terduduk sambil menggerutu, kepalanya berdentum menyakitkan. Erica bangkit perlahan, menuju pintu dan membukanya. Dalam perjalan ke kamar mandi, ia melihat dua adiknya sedang berdebat. Ada sebungkus makanan yang tergeletak di atas meja. Ia bergegas menuju kamar mandi untuk buang air kecil dan mengguyur wajah. Saat keluar, kedua adiknya masih tetap bertengkar. Tidak tahan dengan teriakan mereka, ia menghampiri lalu menghardik.

"Berisik tahu nggak, sih?"

Kedua adiknya menoleh bersamaan. Satu laki-laki kelas tiga SMP dan satu perempuan kelas enam SD. Meski berbeda umur agak jauh tapi mereka tidak ada yang mau mengalah. Saling ngotot kalau memperebutkan sesuatu.

"Kak Erica, dia ambil makananku!" tuding si cowok.

"Nggak, Endri yang ngambil!"

"Emina, ngaku aja lo!"

Keduanya terdiam dan berhenti saling tuding setelah Erica mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dan memberikan satu orang satu. Mengembuskan napas lega karena rumah akhirnya sunyi setelah mereka pergi. Ia mendesah, mengambil kopi sachet dan menyeduhnya lalu membawa ke ruang tamu kecil. Menyesap perlahan sambil membuka ponsel. Tadi malam selesai merias di suatu pesta, ia bekerja paruh waktu jadi pelayan bar. Pekerjaan yang sungguh melelahkan tapi harus dilakukan demi uang. Ia tidak bisa berdiam diri sementara keluarganya merengek kekurangan uang. Sebuah pesan masuk dan membuatnya mengernyit.

"Ada yang mau ikut? Pesta topeng di sebuah rumah konglomerat. Bayarannya lumayan, apalagi kalau mau jadi teman tidur tamu pesta."

Erica menyeringai, tahu pasti kalau itu hanya bercanda. Dalam grupnya-di mana para pencari kerja tambahan berkumpul-memang ada yang iseng memposting lowongan pekerjaan yang tidak masuk akal. Saat ini, yang sedang dibaca adalah salah satunya.

"Beneran lo?"

"Jangan percaya, Arifin suka bohong!"

Si pengirim pesan marah pada orang-orang yang membalas pesannya. "Kapan gue bohong sama kalian? Pernah, nggak? Selama ini semua kerjaan yang gue kasih dah pasti benar. Termasuk ini. Kenapa gue tawarin ke kalian, karena ada dua jenis. Satu, untuk jadi waitress dan tema kostum adalah pelayan kafe ala anime, bayaran perjam seperti biasa. Kalau temani tidur kisaran 20 juta, dipotong makelar tentu saja 20 persen. Gue serius, dan silakan japri bagi yang minat. Sabtu ini dan informasi tempatnya menyusul!"

Grup mendadak ramai gara-gara postingan dari Arifin. Erica berpikir sesaat dan berniat mengambil job yang waitress. Untuk apa uang 20 juta kalau ia harus kehilangan keperawanannya. Meskipun jujur saja, jumlah uang segitu sangat menggoda. Terutama untuk dirinya yang miskin ini. Ia sedang menandaskan kopi sebelum mengirim pesan ke Arifin saat terdengar suara lengkingan kemarahan. Lagi-lagi ada pertengkaran di rumahnya. Tidak pernah ada kata damai di sini. Erica hendak bangkit saat pintu mendobrak terbuka. Papanya muncul bersama mama sambung dan dua laki-laki yang terlihat kasar dan beringas.

"Bayar utang lo bangsat! Enak aja lo mau kabur setelah uang lo dapat!" Laki-laki berjaket belel berteriak keras, tangannya terangkat hendak memukul Rohman, papa dari Erica.

"Jangan, Paak. Jangan pukul suami saya!" Aniswati, duduk bersimpuh di samping suaminya., Berusaha melindungi laki-laki itu dari pukulan para penagih utang.

"Laki lo banyakng utang!"

"Iya, Pak. Saya tahu!"

"Jangan tahu-tahu aja, bayar!"

"Saya sedang usahakan, Pak. Jualan sedang sepi sekarang."

Aniswati berjualan pakaian di pasar malam, dengan hasil yang tidak seberapa. Kehidupan di rumah ini kebanyakan ditanggung oleh Erica. Tidak terhitung berapa banyak utang yang sudah dibayar Erica, kali ini pun sepertinya jumlah yang sangat besar. Semenjak papanya terkena judi online, sikap dan kelakukannya makin hari makin menggila. Tidak punya lagi akal sehat, dan cenderung bertindak brutal. Terakhir kali Erica harus membayar ganti rugi perusahaan di tempat papanya bekerja karena uang digelapkan dan dipakai untuk berjudi.

"Gue nggak mau tahu. Bayar buruan atau kalian semua bakalan enyah dari rumah ini. Gue bakalan minta bank buat sita rumah kalian!"

Kedua preman itu pergi, Aniswati mengamuk pada suaminya yang tertunduk diam. "Lihat kelakukanmu, Paa. Mau sampai kapan kamu membuat kami menderita, hah!"

Erica tidak tahan lagi, berniat kembali ke atas dan baru dua langkah, Rohman menghambur masuk. Bersimpuh di tengah ruang tamu yang kecil menghadap ke Erica.

"Anak papa, Ericaa. Tolong bantu kami, Nak. Kasihan adik-adikmu kalau diusir!"

Rengekan papanya membuat Erica menghela napas panjang, memasang wajah tidak peduli. Aniswati yang melihat suaminya bersimpuh, ikut berlutut.

"Erica, tolong kami. Terakhir kalinya saja, tolong kami, Erica. Demi adik-adikmu."

Mendesah kesal, Erica menatap kedua orang tuanya dan menggeleng cepat. "Mau sampai kapan Papa begini? Selalu bilang yang terakhir, sudah berkali-kali bilang begitu. Tapi bohong terus!"

"Nggak, Erica. Papa janji ini akan jadi yang terakhir. Tolong kami, Nak. Hanya kamu harapan kami."

"Tentu saja hanya aku, siapa lagi? Mama jualan hasil nggak seberapa, Papa sibuk berjudi. Ingin rasanya aku hengkang dari rumah ini. Capek tahuu!"

Aniswati bangkit, mengusap air mata dan mendekati Erica. Mereka memang bukan ibu dan anak kandung, Aniswati menikahi Rohman saat usia Erica menginjak 10 tahun. Selama ini pula ia berusaha menjadi mama yang baik, dengan memperlakukan gadis ini sama baiknya seperti anak-anaknya yang lain. Namun, kebutuhan hidup, kelakuan suaminya, membuat gadis di depannya menjadi lebih tertutup dan tidak suka bercakap-cakap dengannya. Kerja terus menerus menjadikan Erica menjadi sinis dan tidak ramah.

"Erica, ma-afkan papamu, Nak. Tapi, mama mohon bantuannya sekali ini saja. Kalau rumah ini disita, kita mau tinggal di mana?"

Memejam dengan kedua tangan terkepal, Erica tidak menjawab perkataan mama tirinya. Ia sudah cukup pusing dengan banyaknya masalah dan sekali lagi harus dibuat sengsara karena utang orang tuanya. Ia tidak membenci mama tirinya tapi menganggap perempuan itu lemah dan sama sekali tidak membelanya. Sama saja seperti menyengsarakannya meski tanpa kata-kata kasar ataupun pukulan. Bukankh membiarkan tindak pemerasan seperti yang dilakukan papanya, dan hanya diam tanpa berbuat apa pun, sama buruknya dengan pelaku itu sendiri? Itulah kenapa Erica tidak pernah dekat dengan perempuan yang mengaku sebagai mamanya.

"Erica, mama mohon."

"Papa juga mohon, Ericaa."

Tanpa menjawab, Erica bergegas ke kamarnya dan membanting pintu. Merebahkan diri di atas ranjang, ia memejam menahan kesal. Tanpa sadar berteriak keras. Beban demi beban yang diberikan keluarganya seolah mencekiknya. Tanpa memerlukan tali untuk menggantung leher, ia sudah pasti tercekik. Ia tidak pernah bisa terlepas dari beban berat ini. Berkali kali jatuh bangun mencari uang demi keluarganya. Padahal ini bukan urusannya. Orang tuanya masih sehat, sudah seharusnya mereka yang menopang keluarga tapi sialnya, mereka hanya orang yang bisa meminta dan membuat susah.

Erica menatap langit-langit kamar dengan resah. Mengingat bagaimana ia bekerja tapi tidak bisa mencukupi keluarganya juga. Niki bahkan membantunya berkali-kali saat ia terdesak. Tidak terhitung sudah berapa kali sahabatnya itu memberikan uluran t ngan. Saat masih di luar negeri pun, Niki sering mengirim uang padanya, saat dibutuhkan dan itu membuatnya berutang budi.

"Nggak usah dianggap utang, anggap aja gue ngasih uang jajan buat adik-adik lo."

Padahal Erica tahu, kalau Niki di luar negeri juga bekerja paruh waktu meskipun mendapatkan kiriman uang dari Neil. Niki yang mandiri, hidup berhemat, tapi justru mengirim uang untuknya. Sering kali Erica merasa malu tapi kebutuhannya benar-benar mendesak. Ia menggunakan uang dari Niki selain untuk menopang kehidupan keluarga juga untuk membiayai kursusnya. Sekarang ia sudah bekerja sebagai MUA, tetap saja tidak cukup karena utang yang menumpuk. Hampir setiap hari mencari pekerjaan paruh waktu untuk menunjang kebutuhan.

Terdengar gedoran di pintu dan suara adik-adiknya menggema bercampur dengan tangisan mereka. "Kakaak, minta tolong. Kami nggak mau pindah."

"Kak Erica, tolongin. Kami takut sama preman yang nagih utang Papaa."

Erica menutup telinga sambil berteriak. "Diaaam!"

Setelah beberapa saat suara-suara mereka menghilang. Erica mendesah, meraih ponsel dengan niat mengirim pesan pada Niki. Ingin mengajaknya minum bir atau melakukan sesuatu yang gila sebelum Niki menikah tapi pesan dari Arifin muncul duluan.

"Erica, gue ada berita gembira buat lo!"

Erica mengetik cepat. "Berita gembira apaan? Ngomong-ngomong gue ikut, ya? Jadi waitress."

"Lo yakin cuma mau jadi waitress? Nggak mau temani tamu tidur?"

"Arifin, minta dibunuh lo, ya?"

"Ups, padahal ada salah satu tamu yang pasti lo suka banget. Coba tebak siapa?"

"Jangan banyak cincong, kasih tahu cepat siapa?"

"Jared."

"Hah, lo yakin itu Jared yang gue kenal?"

"Tentu saja, namanya Jared Ajinegara bukan?"

"Benar, itu nama keluarganya."

"Fix, dia mendaftar sebagai salah satu tamu yang ingin ditemani berkencan. Erica, aku memberimu waktu lima menit untuk berpikir."

Erica mendesah, menatap bingung pada ponsel di tangannya. Ia mengurut dahi, memikirkan langkah terbaik yang harus diambilnya. Ia menyukai Jared dari lama dan ada kesempatan untuk bersamanya. Selain itu juga dibayar. Kapan lagi bercumbu dengan laki-laki yang disukai sekaligus mendapatkan uang? Terlebih keluarganya juga sedang berutang. Uang sejumlah 20 juta akan sangat cukup untuk menopang hidup orang-orang di rumah ini. Ini adalah kesempatan baik untuknya, siapa tahu bisa menjerat Jared dengan tubuhnya dan menjadikan laki-laki itu miliknya. Diiringi rasa malu karena punya niat yang tidak pantas, Erica membalas pesan Arifin.

"Arifin, aku ikut menemani tamu kencan."

Waktu, tempat, dan dress code dikirim Arifin lima menit kemudian, berikut aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar beserta kode tertentu untuk memasuki tempat pesta. Pertama kalinya Erica akan mendatangi tempat yang menyeramkan untuk menyerahkan tubuh pada laki-laki. Meskipun ia menyukai Jared, tapi jujur saja keinginan utamanya hanya satu, yaitu uang.

Setelah membuat perjanjian dengan Arifin, ia berniat kembali tidur tapi ternyata matanya tidak dapat dipicingkan sama sekali. Akhirnya memutuskan untuk mandi dan pergi ke restoran tempatnya bekerja. Sebagai MUA baru, ia belum banyak mendapatkan klien potensial. Masih harus merangkak demi mencari pengalaman dan juga klien.

Hari-hari berlalu dengan cepat, hingga waktu untuk pesta tiba. Dari rumah Erica sudah berpamitan pada mama tirinya tidak akan pulang karena harus bekerja di banyak tempat. Pertanyaan perempuan itu di mana dirinya akan tidur hanya dijawab singkat olehnya.

"Rumah Niki."

Setelah itu ia pergi membawa set make-upnya. Ia menyewa penginapan murah di sekitar lokasi, didapatkannya dari internet. Membayar untuk dua malam demi berjaga-jaga. Lebih bebas baginya mempersiapkan diri di luar dari pada di rumah. Ia merias wajahnya secermat mungkin, memakai pakaian pelayan ala anime lengkap dengan korset dan stoking. Selesai semua, ia menyiapkan topeng, ponsel, dan dompet lalu memasukkannya ke dalam tas. Sebelum keluar menutupi tubuhnya dengan jas panjang,

Di luar sedang turun hujan meskipun tidak lebat. Erica memanggil taxi yang akan membawanya ke lokasi. Sebuah ballroom hotel yang dipersiapkan untuk pesta. Ia menunjukkan pesan dan kode masuk dari Arifin pada penjaga yang membawanya ke belakang.

"Ganti pakaian di sini."

Ada sekitar dua puluh gadis memakai seragam yang sama dengannya. Mereka hanya saling mengangguk tanda sopan santu. Erica memakai topeng yang dipersiapkan panitia sebelum keluar.

"Ladies, pesta sebentar lagi dimulai. Kalian harus bersiap."

Panitia mengumumkan dan Erica menyambar nampan yang sudah disiapkan. Ada beberapa gelas tinggi berisi sampanye dan saat pintu dibuka, mereka berbaris keluar, menuju kerumunan para tamu yang sedang menikmati musik. Erica menawarkna minuman, makanan kecil, dan apa pun yang dibutuhkan tamu. Tidak melayani rayuan karena di sini bukan tempatnya. Ia mencari-cari sosok Jared dan tidak menemukannya. Hatinya mulai gelisah, apakah laki-laki itu bener datang atau tidak?

.
.
.
Di Karyakarsa sudah bab 1-4.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro