Bab 6b

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keduanya duduk di restoran mewah dengan lampu gantung menerangi, para pelayan berseragam, serta peralatan makan yang digunakan pun dari porselen terbaik. Tidak ada kata terucap, pihak perempuan duduk anggun menebar senyum sedangkan laki-laki menyesap anggur dalam diam. Belum lama duduk dan bicara tapi Jayde sudah ingin pergi. Kalau bukan karena teringat ancaman sang mama, ia tidak akan pernah ada di sini. Bersikap layaknya laki-laki sejati menghadapi seorang perempuan yang tidak dikenalnya.

"Aku banyak mendengar soal kamu dari papaku dan terus terang membuatku kagum. Di umurmu yang masih muda sudah mendapatkan tender dari pemerintah."

Jayde tidak mengatakan apa pun, hanya menatap lekat-lekat. Ia sering bertemu dengan perempuan seperti Davina, sangat cantik, anggun, dan nyaris seperti boneka yang sempurna. Anak didikan dari orang tua yang memanjakan tapi juga kaya raya. Kalau dilihat Davina mirip dengan sepupunya, Almaira. Berkarir bagus, mempunya semua yang diinginkan dan merasa semua hal dalam genggaman. Kalau ingin memperluas relasi, mempunya istri seperti Davina akan sangat bagus dan menguntungkan. Tapi masalahnya ia tidak siap membangun komitmen apa pun itu.

"Apa kamu berencana untuk ekpansi perusahaan dengan membangun cabang di luar negeri?"

Pertanyaan Davina diberi anggukan oleh Jayde. "Sedang jalan ke arah sana."

Mata Davina terbelalak. "Wow, keren sekali. Kamu masih muda, loh. Aku yang hampir seumuran cuma punya klinik."

"Bukan aku yang mengerjakan semua, ada patner."

Davina mengibaskan rambut ke belakang. "Ah, ya. Papaku bilang kamu kerja sama dengan Neil. Bukankah dulu Neil itu tunangan Almaira? Sudah putus dan lebih memilih gadis muda. Aku heran loh dengarnya. Maksudku, Almaira itu perempuan yang sempurna."

Jayde menggeleng pelan. "Nggak ada manusia yang sempurna."

"Benar, tapi dia hebat."

"Mungkin karena nggak jodoh."

"Kamu nggak apa-apa, kerjasama dengan Neil tapi di lain pihak ada Almaira."

Menatap perempuan cantik yang sedari tadi bicara tanpa henti, Jayde menahan rasa sabar. Ia memeriksa jam di pergelangan tangan, menunggu Erica datang. Harusnya gadis itu sudah di sini, dengan begitu tidak perlu berlama-lama basa-basi.

"Jayde, apa pertanyaanku bikin kamu nggak nyaman?" tanya Davina. "Aku hanya mengutarakan isi pikiranku saja."

"Nggak masalah, setiap orang bebas berpendapat. Begitu pula aku dan kamu. Tapi, aku terbiasa untuk tidak mencampur-adukkan masalah pekerjaan dan pribadi."

Davina tersenyum kecil, merasa tidak enak hati. Meski begitu hatinya tetap kagum dengan Jayde yang tampan dan berperilaku tenang. Jayde yang seolah tidak terpengaruh emosi apa pun, menatap lekat-lekat dengan matanya yang setajam elang. Hati Davina tergerak oleh laki-laki di depannya. Di antara semua orang yang dikenalkan padanya, Jayde paling istimewa. Ia suka karena laki-laki itu tidak mata keranjang atau sengaja melihatnya dengan kurang ajar.

"Kamu punya pemikiran yang dewasa dan juga matang, aku kagum padamu."

Pujian Davina membuat Jayde tidak goyah. Tetap berharap Erica cepat datang dan menyelamatkannya dari situasi aneh ini. Mereka mendongak saat pintu ruang VIP terbuka, seorang pelayan datang membawa nampan. Mengantarkan pesanan mereka.

"Summer salad dengan wagyu slice." Pelayan perempuan itu meletakkan salad di depan Davina.

Saat mendengar suara pelayan itu Jayde mendongak dan mengulum senyum saat melihat Erica. Gadis itu melangkah perlahan mendekatinya, berdiri tepat di samping tubuhnya saat meletakkan steak ke atas meja.

"Steak salmon with mushroom. Selamat dinikmati, Tuan."

Erica dengan sengaja berbisik di telingan Jayde. Menyapukan dadanya ke pundak laki-laki itu. Tindakanya tidak lepas dari pengamatan Davina yang terbelalak saat melihatnya.

"Perlu apa lagi, Tuan?" tanya Erica dengan suara mendesah. Mengusap bagian depan seragam yang dipakai hingga menunjukkan belahan dadanya.

Jayde berdehem, mengangkat gelas anggur. "Apa kalian punya minuman yang lebih enak dari pada ini?"

Erica mengedipkam sebelah mata, menunduk dan bibirnya menyapu telinga Jayde. "Tentu saja, Tuan. Kami ada banyak minuman yang lezat. Mau aku ambilkan?"

"Ya, ambilkan."

"Tuan bersedia menunggu?"

"Aku tunggu."

"Ah, manisnya. Aku suka yang manis-manis begini." Dengan kurang ajar Erica mencubit dagu Jayde, meneggakan tubuh dan berlalu dengan gemulai meninggalkan ruang VIP.

Davina melotot ke arah Erica tapi tidak ditanggapi. Gadis berseragam pelayan itu seolah tidak melihatnya. Nafsu makan Davina hilang seketika. Ia menatap Jayde yang masih mengulum senyum dengan pandangan tidak mengerti.

"Jayde, kamu tahu bukan kalau pelayan itu menggodamu?"

Jayde menggeleng. "Benarkah? Aku kurang mengerti."

"Dia jelas-jelas menggodamu!"

"Nggak masalah, pelayan itu cukup sexy."

Seakan tidak percaya dengan kata-kata Jayde, mulut Davina membuka lalu menutup dengan kesal. Makin marah saat Erica kembali masuk, membawa sebotol sampanye dingin dengan troli dan mendorong ke arah Jayde.

"Tuan, mau dibantu untuk membukanya?"

"Tentu," jawa Jayde. "Aku ingin lihat kemampuanmu dalam membuka botol."

Erica tersenyum. "Hebat tentu saja. Aku nggak cuma mahir buka botol, tapi apa pun yang tertutup aku bisa buka. Termasuk—"

"Baju dan celana?" tebak Jayde.

"Benar sekali, apalagi baju dan celana. Mudah itu!" Erica membuka tutup botol sampanye dan seketika buih keluar dengan sengaja ia mendekatkan ke dadanya. Cairan bening dan lengkat itu mengenai bagian atas dadanya. "Ups, maaf. Basah seragamku."

Jayde mengulurkan tangan dan mengusap dada Erica yang terkena sampanye. "Sini, biar aku yang bersihkan."

"Pakai tangan, Tuan?"

"Mau kamu pakai apa?"

"Lidah."

"Jayde! Keterlaluan kamu!" Davina bangkit dengan berapi-api. Menatap Jayde serta Erica bergantian. Wajahnya merah padam dengan mata terbelalak kesal. Tersirat kejijikan di wajahnya yang cantik. "Tadinya aku sangat kagum denganmu, Jayde. Laki-laki muda dan tampan, selain itu juga pekerja keras. Tapi ternyata kamu sangat menjijikan. Bisa-bisanya kamu bermesraan dengan pelayan murahan macam itu!" Jemari Davina menunjuk Erica dengan gemetar.

Erica melangkah ke belakang Jayde, mengusap kepala laki-laki itu lalu berbisik cukup keras. "Tuan, kekasihmu marah dan cemburu."

Jayde mengusap wajah Erica yang berada di atasnya. "Dia bukan kekasihku."

"Oh, kenapa marah kalau begitu? Padahal kita bisa main bertiga kalau mau."

Davina membanting piring, menatap Erica dengan penuh geram. "Pelacur! Jalang murahan! Kamu dan dia sama saja, Jayde!"

Mengambil tas dan berkelebat pergi dengan tubuh tegak karena amarah. Pintu ruang VIP dibanting dari luar. Setelah sosok perempuan itu pergi, Erica menghela napas panjang.

"Pak, dia marah dan sepertinya pandangannya padamu berubah. Nggak masalah?"

Jayde meraih wajah Erica dan mengecup bibirnya. "Nggak masalah. Aku memang menjijikan seperti perkataannya. Terima kasih untuk bantuanmu. Bisa kita pergi sekarang? Aku ingin membayar utangku."

Erica tersenyum. "Bisa, tapi saya ganti baju dulu."

"Yah, padahal pakaian gini kamu sexy sekali."

"Pak, punya fetis aneh amat, main sama pelayan."

Jayde tergelak, membiarkan Erica pergi untuk ganti pakaian. Ia menatap arloji di tangan, lalu memesan tempat di sebuah klub. Ingin bersenang-senang dengan Erica malam ini.
.
.

Di Karyakarsa update bab 40 dan sebentar lagi ending.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro