Bab 102 Bisnis Adalah Bisnis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Sampai bertemu lagi di Andra Corner!”

Layar televisi seketika menggelap. Zahra mendesah berat sambil membanting punggungnya ke badan sofa. Ia celingukan memandang sekitar ruangan yang sepi. Bukan hendak mencari Galang. Karena suaminya itu dikabarkan memilih untuk lembur malam ini. 

“Andra beneran ngisi acara itu?” Zahra masih tak percaya atas apa yang dilihatnya barusan.

Rekan-rekan kerjanya di bisnis katering Lapar Aja sudah banyak yang membicarakan sosok Andra disela-sela pekerjaan mereka. Entah itu tentang acara masaknya yang tak jauh berbeda dari acara masak lain, ketampanan Andra yang disebut-sebut mirip Adipati Dolken, atau tentang hubungan masa lalu Zahra dengan si chef yang juga jadi buah bibir.

“Itu artinya dia gak kerja lagi di pulau? Atau … bagaimana?” 

Ini yang membuat Zahra semalam suntuk lebih memilih mencari informasi mengenai Andra. Bukan hal yang sulit rupanya mendapatkan informasi mengenai kesibukan lelaki itu sekarang, terlebih akun media sosial Andra yang lama kembali aktif. Beragam postingan kegiatan keseharian Andra terekam jelas di sana seminggu ini yang dapat Zahra artikan kalau Andra benar-benar tak sedang berada di pulau.

“Dia resign atau gimana sih? Kok bisa jadi pengisi acara Andra Corner? Gak mungkin kan dia bolak-balik Pulau Ampalove ke Jakarta cuma buat syuting?”

Saking seriusnya Zahra mencari informasi soal Andra, ia sampai tak sadar akan kehadiran Galang yang baru saja tiba pagi buta itu dengan raut wajah lelah. Dasinya tak lagi bergelantung di tempat yang semestinya. Rambutnya juga tampak acak-acakan macam habis tawuran.

“Kamu belum tidur, Zahra?”

Mendengar suara itu, Zahra spontan menutup layar laptop. Menoleh pada Galang dengan raut wajah terkejut bersama dengan rasa takut yang tiba-tiba saja bercokol. 

“Lagi ngapain? Kok kayak kaget gitu? Aku baru dateng, Ra. Sorry kalau bikin kamu terkejut.” 

Galang malah merasa bersalah karena takut mengganggu kesibukan Zahra. Semenjak bisnis katering Lapar Aja makin populer di kalangan masyarakat, ia lebih sering melihat Zahra menghabiskan waktunya dengan bekerja ketimbang istirahat. Seperti saat ini. Pasti istrinya itu sedang mengurusi bisnisnya.

Galang mendekat ke arah Zahra yang malah beringsut bangkit dari tempat duduknya dengan gelagat kikuk. 

“A—aku lagi … ini loh, Lang. A—aku ….” Zahra bahkan sampai tergagap saking takutnya. Bisa jadi masalah kalau Galang sampai tahu yang dilakukannya barusan!

“Ngurusin katering, yah?” terka Galang yang langsung meraup tangan Zahra. “Ada berapa pesenan emang buat besok?”

Mendengar hal itu Zahra spontan mengangguk meski perasaannya tak nyaman sama sekali karena bertindak bodoh. “Iya! Lagi ngurusin katering, Lang. Ada banyak pesenan besok. Bentar lagi aku ke dapur,” katanya sambil melirik jam di sudut kamar. “Kamu mau aku siapin sesuatu atau langsung tidur?” tawarnya demi mengurasi perasaan mengganjal karena baru saja berbohong.

Galang tak langsung menjawab selain menatap wajah Zahra lekat. Cukup lama. Satu tangannya mulai meraba-raba wajah istrinya itu sambil memainkan anak-anak rambutnya.

“Kamu sadar gak, Ra?” tanya Galang yang perlahan menyelipkan satu telapak tangannya di belakang kepala Zahra. Melangkah dengan perlahan untuk memangkas jarak di antara mereka.

Zahra menggeleng. Tak mengerti maksud dari pertanyaan Galang barusan. “Sadar apa maksudnya, Lang?”

“Kalau kamu …,” Galang meraup dagu Zahra dengan tangan yang satunya lagi, lalu menariknya hingga wajah mereka berada di jarak yang sangat dekat, “makin cantik.”

Zahra terantuk. Terdiam dengan mata membola sempurna ketika wajah Galang hanya tinggal beberapa senti dari wajahnya. Tanpa Galang sadari ketika satu tangannya yang dibelakang kepala tadi turun dan jatuh melingkar di pinggang Zahra, perempuan itu malah mengepalkan dua tangannya diam-diam seiring matanya yang menolak tertutup. Mati-matian menolak getaran aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya. 

“Aku harus kerja, Lang!” serbu Zahra tiba-tiba. Lantang sekali sampai Galang langsung membeku di tempat. Sampai-sampai sentuhan tangan di beberapa bagian tubuh Zahra terlepas perlahan. “Banyak pesanan yang harus aku siapin. Aku ke bawah dulu, yah! Kamu istirahat aja. Kamu pasti capek.”

Zahra menarik diri merasakan sentuhan Galang tak seerat tadi, melangkah mundur dengan cepat lalu pergi dari sana tanpa mengatakan apapun lagi. 

Galang sendiri tak berbuat apapun selain diam saja, membiarkan Zahra pergi begitu saja meski perasaannya dongkol sekali. Melarang maupun mengiyakan pun tidak. Hanya setelah kamar pintu itu tertutup, Galang menyemai senyum sinis. Ia berjalan gontay ke ranjang sebelum kemudian menjatuhkan diri di sana.

“Kamu tahu, Zahra? Setelah kita pulang dari Pulau Ampalove, kamu terasa menjauh dariku. Kamu menghindariku.”

***

Baru kali ini Zahra merasa gelisah. Sedari tadi ponsel yang digenggamnya terasa begitu tak nyaman. Berulang kali ia bahkan memeriksa kotak makanan yang sudah tersusun rapi, meski dilakukannya hanya menyentuh luaran kotak tersebut saja. 

Gelagat anehnya itu ditangkap oleh Indri, salah satu karyawan Lapar Aja yang sedang menyusun kotak makanan itu ke dalam kardus besar. “Bu Zahra kenapa? Ada yang salah sama kotak makanannya?” Takut-takut ia bertanya.

Bukan hal aneh kalau Zahra biasanya melakukan protes kalau-kalau kotak makanan yang sudah siap harus dibongkar ulang. Entah itu karena kesalahan penataan isi kotak pesanan, atau ketika menu yang diinginkan oleh konsumen tiba-tiba diubah. Hampir seluruh karyawan akan dibuat repot, termasuk Zahra juga. Ia biasanya juga ikut campur tangan dalam setiap proses pembuatan katering dari pelanggan-pelanggannya ini. Sangat teliti dan tidak mau ada kesalahan sekecil apapun terjadi yang akan membuat pelanggannya nanti kecewa.

“Atau konsumen kita ada masukan lain?” terka Indri lagi. Ia sudah siap kalau-kalau harus membongkar ulang kotak makanan yang sudah siap dikirim itu. Atau bahkan harus repot memasak menu baru.

“Eng—ngak, Dri. Enggak ada apa-apa.” Zahra tergagap.

“Daritadi liatin kotak makanannya terus, Bu. Saya pikir ada apa-apa.”

Zahra semula ragu untuk membagi isi pikiran yang kini tengah bercokol di kepalanya. Tapi, ia tak mau memendam kegelisahannya seorang diri. “Dri, kamu tahu caranya endorse artis buat promosiin suatu produk? Kayak penjual alat kosmetik gitu loh yang diiklanin para artisnya. Kamu tahu gak berapa bayaran endors artisnya?”

“Wah! Kurang tahu tuh, Bu. Ibu emang ada rencana buat promosiin katering Lapar Aja pake artis?”

Zahra mengangguk mantap. “Baru kepikiran semalem. Saya udah lihat-lihat juga, banyak pelaku usaha makanan yang melakukan promosi dengan cara itu. Bisnis mereka jadi makin banyak pelanggannya, Dri! Kayaknya ini cara efektif lain buat promosiin bisnis katering saya.”

“Yaaa … boleh aja sih. Indri setuju-setuju aja. Tapi masalahnya, karyawan yang ada sekarang bakalan bisa handle gak kalau tiba-tiba kebanjiran pesanan?”

“Kalau soal itu sih saya juga udah pikirin mateng-mateng.”

“Emang artis mana yang mau Bu Zahra mintai bantuan?”

Zahra celingukan memandang sekitar. Ada beberapa staf karyawan Lapar Aja yang tengah keluyuran di sana, merapikan kotak makanan yang siap dikirimkan pada konsumen.

Zahra mendekat pada Indri. Berjongkok demi menyejajarkan tinggi dengan perempuan yang sedari tadi duduk bersila di lantai.

“Chef Andra,” bisik Zahra pelan, “itu loh yang ngisi acara Andra Corner, Dri. Saya berencana mau endorse dia. Nyambung kan sama bisnis katering ini? Ketimbang saya minta endorse ke artis-artis yang sok tahu masalah makanan, mending langsung ke Chef Andra. Bener, gak?”

Kening Indri saling bertaut. Ini jelas bukan hal yang ia duga akan didengarnya keluar dari mulut Zahra. Terlebih atasannya itu tampak begitu semringah saat mengutarakan idenya ini. 

“Chef Andra itu bukannya mantan Bu Zahra, yah?” terka Indri hati-hati. Ia punya alasan sendiri kenapa menyinggung masalah ini.

Raut wajah Zahra langsung kusut mendengar pertanyaan Indri.

“Emang gak masalah yah kalau endorse Chef Andra buat bisnisnya Bu Zahra? Maksud saya, ini gak akan jadi omongan orang banyak gitu?” Ini ketakutan yang murni dari isi kepala Indri sendiri. 

Ternyata, ini juga yang juga tengah dipikirkan oleh Zahra juga. Ide ini benar-benar tak bisa Zahra abaikan. Terlebih ini demi kepentingan bisnis kateringnya.

“Gak ada artis lain aja gitu, Bu? Chef lain mungkin? Kan Chef di Indonesia bukan cuma Chef Andra. Iya, gak?” Indri mencoba memberikan usulan lain. Kali saja kan Zahra berubah pikiran. Pasalnya, ada hubungan di masa lalu antara Zahra dan Chef Andra. Takut saja jika dikemudian hari, ini malah jadi masalah.

Tapi, setelah mendengar Indri memberikan usulan tersebut, Zahra justru semakin yakin dengan keputusannya ini. “Enggak! Saya maunya Chef Andra. Dia ini yang sekarang lagi jadi perhatian publik karena acaranya. Bayangkan kalau bisnis katering ini menggaet nama dia. Berapa banyak keuntungan yang bakalan kita peroleh, Dri?” Zahra tampak bersemangat sekali membayangkan akan sebesar apa bisnis kateringnya ini nanti.

Indri berpikir sejenak. “Mungkin bisa sih bikin bisnis ini makin terkenal. Tapi, Bu—”

“Bisnis adalah bisnis. Urusan pribadi yah urusan pribadi. Yang ngurus soal endorse ini pasti bukan Andra, kan? Melainkan managemen atau orang yang memang ngatur-ngatur dia di belakang layar. Jadi, ini murni untuk kerjasama dalam sebuah pekerjaan. Bukan urusan pribadi!”

Zahra tampak begitu bersemangat membagi isi pikiran yang sedari tadi mengganggunya ini. Indri sampai tak bisa membantah lagi ide dari atasannya ini selain mengangguk setuju. Tanpa keduanya sadari ada Galang yang sejak tadi mendengar pembicaraan mereka tak jauh dari sana, bersembunyi di balik pintu yang sebagian ternyata terbuka. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro