Bab 114 Kamu Gak Akan Nolak Aku Lagi, Kan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Andra menggigit bibir bawahnya. Menatap inci demi inci wajah perempuan yang tengah memejamkan mata di depannya. Kerongkongannya terasa kering hingga berulang kali Andra mengecap salivanya. 

Lama Andra terpaku, memandangi setiap gurat wajah Mahira yang hanya berjarak beberapa senti darinya. Kening perempuan itu sedikit bertaut dengan mata masih terpejam erat. Tampak perlahan menarik kepalanya menjauh tapi tak cukup mampu membuat jarak di antara mereka merenggang.

Satu sentilan mendarat di kening Mahira. Perempuan itu memekik. Andra buru-buru menjauhkan diri dari wajah Mahira yang secara spontan bergerak maju. Hampir aja wajah keduanya bertabrakkan!

Untung saja Andra berhasil menghindar. Kalau tidak … mungkin yang terjadi selanjutnya akan lain.

“Aw!” Mahira memegangi pelipisnya dengan mata terbuka. Menatap sinis Andra yang tengah berkaca pinggang di depannya. “Sakit tahu! Jangan maen pukul jidat orang sembarangan dong!”

Andra membuang muka, membuang napas kasarnya juga. Ia hampir mengumpati Mahira dan menyalahkan perempuan itu karena memejamkan matanya tadi. Maksudnya apa coba? Kenapa juga Mahira tiba-tiba memejamkan matanya saat Andra mendekat padanya untuk mengomeli perempuan itu? 

Andra nyaris tak bisa berpikir jernih tadi! Kalau saja Mahira tahu.

Untung saja akal sehatnya masih berfungsi dengan baik. Hawa nafsunya juga masih dibawah kendalinya. Bayangkan kalau terjadi hal yang tidak-tidak? Mau ditaruh di mana muka Andra ini kalau sampai lepas kendali di depan Mahira?

Aaarrrggghhh!!! Andra jadi jengkel sendiri jadinya.

“Aku mau lanjut masak.” Andra tak menggubris omelan Mahira. “Ka—kamu,” dia menunjuk Mahira sambil berbicara tergagap, “kamu diem aja disitu. Jangan ngelakuin apapun!”

“Emang dari tadi aku gak ngelakuin apapun kok!” balas Mahira membela diri ketika Andra berjalan membelakanginya.

Tiba-tiba lelaki itu menoleh padanya lagi dengan jari telunjuk mengarah tepat padanya dari kejauhan. “Jangan ngomong juga! Diem aja! Gak usah ngomong apapun di sana!” katanya sampai melotot tajam.

Bibir Mahira langsung mengerucut tajam. Ia tak tahu salahnya apa, tapi Andra malah memarahinya. Padahal kan harusnya Mahira yang marah karena Andra barusan tiba-tiba menjitak dahinya. Keras sekali! Sakitnya saja masih terasa sampai sekarang.

Ngapain juga sih dia pake jitak dahi Mahira segala? Kalau tahu bakalan kayak gitu, Mahira tak akan mungkin memejamkan matanya tadi.

Eh? Kenapa juga Mahira memejamkan matanya tadi?

Sekujur tubuh Mahira terasa panas mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Kepalanya celingukan memandang sekitar. Ingin berpaling dari Andra yang tampak sibuk memasak, tapi lagi-lagi pandangan Mahira tertuju pada Andra lagi. Lama-lama memandangi Andra, jantung Mahira jadi berirama tak biasa sampai-sampai membuat deru napasnya tersengal-sengal. 

Menghidu dan membuang napas berulang kali. Mencoba tetap tenang, tapi selalu gagal. Mahira sampai turun dari atas meja tempatnya duduk tadi. Berjalan ke sana kemari tak tentu arah sambil memegangi wadah-wadah yang sudah tertata rapi di rak.

“Kamu diem aja bisa gak sih, Ra?” Omelan Andra terdengar.

Mahira memilih tak berpaling sedikit pun. “Gak bisa.”

“Duduk aja kenapa sih?” Andra terdengar sinis sekali mengomelinya. “Apa susahnya duduk doang sampe masakannya jadi? Ganggu tahu!”

Spontan Mahira membalikkan badannya. “Emang aku gangguin kamu? Enggak, kan? Aku cuma jalan-jalan doang buat periksa peralatan di dapur. Kali aja ada yang rusak atau apa gitu, tapi Randu belum lapor. Aku sedang melaksanakan tugasku sebagai MANAGER!” katanya penuh nada penekanan.

Andra bisa menerima alasan itu. Ia jadi malu sendiri karena mengomeli Mahira dengan cara demikian. Padahal maksudnya bukan itu. Andra sungguh-sungguh tak bisa fokus memasak sekarang ketika melihat Mahira bergerak sedikit saja. Terlalu mengganggu. Ia ingin Mahira duduk saja di atas meja. Diam di sana seperti patung kalau bisa. 

Kurang dari satu jam makanan sudah tersaji. Mahira dan Andra duduk berhadapan di belakang area restoran, tersekat sebuah meja berlapis kain putih. Cahaya lampu-lampu kecil di sekeliling cukup menjadi penerang tambahan malam itu.

Mahira menghidu asap yang mengepul dari dalam claypot ketika ia membuka tutupnya. Aroma wangi yang menguar membuat ia sampai memejamkan matanya cukup lama saat menghirupnya.

“Ini pasti enak banget. Aromanya sama kayak yang dulu.” 

Wajah Mahira tampak berbinar. Ia juga tampak begitu bersemangat menyendok nasi dari dalam claypot dan tak malu-malu melahapnya dalam ukuran besar. Pipinya sampai mengembang sempurna saat tengah mengunyahnya.

“Enak! Beneran deh!” kata Mahira masih dengan mulut banyak makanan.

Andra tersenyum mendengar hal itu. Apalagi ketika melihat raut wajah Mahira yang tampak semringah sekali saat menyantap masakannya.

“Makanannya abisin dulu, baru udah itu kita ngobrol.”

“Ngobrolin apa emang?” Mahira tak menggubris usulan Andra. “Ngobrolin soal makna kencan yang tadi? Aku udah ngerti kok! Kamu gak perlu jelasin lagi maksudnya.”

Andra membuang napas berat. “Bukan itu. Tapi soal pernikahan kita bulan depan.”

Mahira batal melahap makanan yang sudah ada di sendok. Hanya tinggal beberapa senti lagi mendarat ke dalam mulutnya. Tapi, mendengar perkataan Andra barusan, ia langsung menaruh kembali sendok berisi nasi dan potongan cumi di atasnya itu.

“Dra, kita lagi makan. Gak usah banyak becanda kayak gini.”

Mahira sudah cukup dibuat kelabakan gara-gara ajakan kencan Andra malam ini. Ia sampai harus berkonsultasi dengan Citra untuk membuat keputusan. Sampai pada akhirnya Mahira mau memantapkan diri untuk menghadiri acara kencan ini sebagai langkah awal ia mulai belajar membuka hati untuk Andra.

Tapi, untuk membahas pernikahan?

Ya, Tuhan! Bukankah ini terlalu terburu-buru? 

Mahira baru mencoba membuka hatinya, menerima Andra, menerima perasaannya juga yang kemungkinan memang tertarik pada lelaki yang sudah ditolak cintanya itu. 

Tapi, untuk menikah bulan depan?

Tidakkah ini terlalu terburu-buru?

“Aku gak becanda, Hira. Aku serius!”

Tampang wajah Andra memang sedang tak becanda sekarang. Lelaki itu lurus menatapnya sampai nyaris tak berkedip. 

Mahira membuang napas pendek. “Tapi, menikah itu—” Mahira tergagap. Tak tahu harus berkata apalagi setelahnya. “Menikah itu ….”

“Kamu gak mau nikah sama aku?” potong Andra cepat.

Mahira makin tergagap. Gelagapan harus bicara apa. “Maksudku bukan gitu, Dra. Maksudku menikah itu—”

Andra malah tersenyum lebar sekali. “Apa maksudnya kamu gak akan nolak aku lagi, Hira? Kamu gak akan nolak perasaanku lagi, kan? Iya, kan? Kamu juga suka sama aku, kan? Randu dan Yogi sudah cerita banyak hal. Semenjak aku gak ada, kamu jadi aneh. Hampir mirip seperti orang gila yang kehilangan orang yang dicintainya. Bener, kan? Kamu sampai ngigau aku terus tiap malam! Bener, kan? Kamu gak akan nolak aku lagi, kan? Iya, kan?” cecar Andra dengan beragam pertanyaan, terkaan, tuduhan, bahkan sampai fakta. Menyerang Mahira tanpa ampun!

Kening Mahira bertaut keras sekali mendengarkan pertanyaan panjang Andra barusan. “Aku … ngigau nama kamu? Aku?!” tanyanya tak percaya. Pura-pura tak mendengar dan takt ahu.

Andra mengangguk meski terkejut melihat reaksi Mahira. “Iya. Citra katanya yang cerita. Karyawan perempuan lain juga sering tuh denger kamu ngigau nama aku.”

Mahira langsung membekap mulutnya, bahkan sampai wajahnya. Ia tak membukanya cukup lama. Hanya terdengar teriakan yang teredam. Andra tentu saja panik. Ia langsung menghampiri wanita itu sambil berusaha melepaskan bekapan tangannya sendiri.

“Hey! Hey! Hey! Kenapa? Ada apa, Ra? Hey! Kamu harus napas, Hira! Jangan bunuh diri pake cara ini!” Andra panik bukan main. Ia sampai mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik dua tangan Mahira yang tengah membekap wajahnya sendiri seperti itu.

Andra nyaris tersungkur ke arah belakang ketika tarikan kuatnya itu berhasil membuat Mahira mau melepaskan bekapannya. 

“Aku gak ngigau kamu, Andra! Kapan aku ngelakuin hal kayak gitu? Anak-anak pasti salah denger!” Raut wajah Mahira mengeras. “Aku gak pernah ngigau nama kamu! Mimpiin aja gak pernah! Mereka pasti fitnah aku!”

Andra terdiam sejenak memerhatikan perubahan raut wajah Mahira yang mulanya seperti hendak marah. Pipinya tiba-tiba mengembang sempurna dengan bibir merapat, lalu dua tangannya meraup wajahnya beberapa saat dan melepaskannya kemudian. Terdengar pula desahan pendek setelahnya beserta gumaman kecil dari mulut Mahira.

“Aku gak mungkin kayak gitu, Dra … gak mungkin!” Mahira masih mengelak.

Andra tersenyum tipis. Ia meraup dua tangan Mahira perlahan dan menggenggamnya erat. “Iya. Kita anggap aja kamu gak pernah ngigau kayak gitu. Oke?”

Mahira langsung menepis genggaman tangan Andra dengan kasar. “Ya gak bisa gitu dong! Aku kena fitnah ini namanya!”

“Iya. Iya. Mereka fitnah kamu. Udah. Udah. Gak usah dipeduliin lagi. Yang penting sekarang kamu udah yakin dengan perasaan kamu ke aku itu kayak apa, kan?”

Kening Mahira bertaut keras. “Apa maksud kamu? Kok jadi nanya perasaanku ke kamu sih?”

“Kamu suka sama aku, kan?”

Mahira bungkam. Ia merapatkan dua bibirnya.

“Kamu ngerasa kangen pas aku gak ada, kan?”

Mahira makin bungkam. Bibirnya semakin merapat.

“Aku juga.” Andra tak peduli meski Mahira diam saja. Ia malah menganggap diamnya Mahira itu sebagai jawaban ‘ya’. “Aku juga suka dan kangen sama kamu. Kamu … mau kan nikah sama aku? Kamu gak akan nolak aku lagi kayak dulu, kan?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro