Bab 123 Kita Siapa yang Akan Menikah?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Mahira masih tak mau turun dari dalam mobil meski seatbelt tak lagi mengunci tubuhnya. Andra tak protes. Raut wajah Mahira tampak begitu tegang. Ia tak mau membuat situasi Mahira semakin sulit. Andra akan bersabar. Menunggu sampai Mahira benar-benar siap turun dari mobil, lalu masuk ke dalam rumahnya sendiri dengannya. 

Untuk meminta restu kedua orang Mahira atas hubungan mereka.

Gara juga memiliki kecemasan yang sama. Takut sudah pasti. Grogi bukan main. Tapi, kalau tidak sekarang, memang kapan lagi. Kalau tidak sekarang, apa nanti situasinya akan berbeda? Tidak, kan?

“Kita keluar sekarang, Hira. Yakin saja! Semua akan baik-baik saja kok.” Andra mencoba menguatkan Mahira. Dirinya sendiri juga sebenarnya. Ia sampai mengeratkan genggaman tangan keduanya demi mengurangi perasaan ragu.

“Aku gak tahu, Dra.” Mahira menggeleng. “Aku … belum siap. Aku … takut sama reaksi Ibu dan Bapak nanti gimana kalau lihat kita, terus tiba-tiba kita malah minta restu buat nikah. Apa kata mereka nantinya?” Mahira takut bukan main. Apalagi ketika keraguan itu malah semakin merongrongnya.

“Hubungan Zahra dan Galang aja bisa mereka terima, apalagi kita, kan? Mereka yang memiliki hubungan dengan cara yang salah saja bisa dapet restu. Kita yang menjalin hubungan dari nol, dari mulai gak suka satu sama lain, terus sekarang sampe saling suka, mana mungkin kita gak dapet, Hira. Bener, gak?”

Perkataan Andra ada benarnya juga. Lagi dan lagi Andra sendiri yang membuka isi pikiran Mahira untuk bisa berpikir lebih logis ketimbang memikirkan rasa takutnya saja akan sesuatu hal yang belum tentu terjadi. 

Andra dan Mahira mantap melangkahkan kaki ke rumah keluarga Mahira. Saling berpandangan sebentar, sebelum kemudian Mahira memberanikan diri menekan pintu bel. Takut-takut keduanya menunggu pintu yang tertutup itu terbuka.

“Hira! Andra!”

Bu Halimah yang pertama kali membuka pintu, menyambut mereka dengan mata membola sempurna. Ada rasa canggung. Tersenyum pun sulit untuk dilakukan Mahira maupun Andra. Sampai kemudian Bu Halimah tiba-tiba berhambur ke pelukan mereka secara bergantian.

“Kalian ini!” gerutu Bu Halimah yang kemudian memukul pundak Mahira dan Andra secara bergantian, “bikin kaget Ibu aja! Kamu apalagi!” Bu Halimah menunjuk wajah Mahira dengan mata melotot. “Kenapa telepon Ibu gak diangkat-angkat? Huh! Takut Ibu omelin karena pacaran sama Andra? Huh!” tuduhnya sengit.

Mahira merapatkan bibir. Tertunduk. Tak berani menjawab atau membantah tuduhan Bu Halimah.

“Kamu juga, Andra!” Giliran Andra yang kena omelan. “Bisa-bisanya kamu jatuh cinta sama dua anak Ibu! Gak ada cewek lain di luar sana yang lebih cantik dari anak-anak Ibu apa? Huh!”

Andra langsung menyengir kuda mendengar omelan Bu Halimah barusan. Ia bahkan langsung berhambur memeluknya dengan perasaan lega.

“Iya, Bu. Gak ada cewek lain yang lebih menarik ketimbang anak perempuannya Ibu. Andra juga gak rela ada anak cowok lain yang jadi menantunya Ibu. Mending Andra mati aja deh daripada gak jadi mantunya keluarga ini.” 

Semringah sekali Andra sekarang. Sedikit lega juga karena reaksi Bu Halimah atas kehadirannya. Sikap ramahnya tak pernah berubah. Baik sejak ia masih menjalin hubungan dengan Zahra, putus dengan Zahra, bahkan sampai sekarang sudah menjadi kekasih Mahira.

“Dasar anak gombal!” Bu Halimah sampai mencubiti pinggang Andra berulang kali.

Melihat interaksi Bu Halimah dan Andra, tentu saja Mahira cukup terkejut. Keduanya tampak akrab sekali. Mungkin ini memang disebabkan oleh hubungan Andra dan Zahra dulu, tapi Galang dulu tak sedekat dan seakrab ini dengan ibunya. Mantannya itu bahkan jarang sekali mengajak Ibu atau Bapak mengobrol kalau ke rumah.

Ish! Kenapa juga Mahira jadi ingat Galang lagi?

Fokus, Hira! Kekasih kamu sekarang itu adalah Andra! Fokus!

Pertemuan yang tadinya Mahira pikir akan berjalan sulit, penuh onak dan duri, rupanya keliru. Reaksi Ibu bahkan Bapak atas kehadiran mereka mendapatkan sambutan yang begitu hangat. Orang tuanya bahkan tak menyinggung sedikit pun persoalan tentang bagaimana caranya mereka bisa menjalin hubungan sekarang. 

Pertemuan tak terduga ini malah berakhir di meja makan. Keempatnya menikmati makan bersama dengan beragam menu masakan yang dibuat Bu Halimah secara mendadak yang tentu saja mendapatkan bala bantuan dari Andra sendiri.

“Kita mau nikah bulan depan.”

Bu Halimah sampai tersedak, Pak Wisnu juga sampai memuntahkan minuman yang baru diteguknya, dan Mahira spontan memukul bahu Andra.

“Andra!” tegur Mahira. 

“Hah? Nikah? Bulan depan?” Bu Halimah tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Bapak setuju! Lebih cepat lebih baik, daripada lama-lama pacaran. Kalau kalian sudah siap, Bapak gak akan larang.” Pak Wisnu menyahut dengan panjang lebar dan tegas.

“Ih! Bapak kok langsung maen setuju-setuju aja sih?” Bu Halimah protes.

“Bapak cuma gak mau mempersulit Mahira, apalagi bikin dia kecewa sama kita lagi. Kalau nikah dengan Andra bakal bikin dia bahagia, Bapak akan memilih setuju. Ibu harusnya juga begitu!”

Mahira hanya memain-mainkan sendok mendengarkan penuturan Pak Wisnu. Ia tahu arah pembicaraannya ke mana. Ia juga jadi tahu alasan Bapak tak banyak bertanya ini dan itu terkait hubungannya dengan Andra. 

“Iya sih … tapi ….” Bu Halimah tampak sedikit ragu menyetujui perkataan suaminya. “Bulan depan itu apa gak terlalu cepet? Banyak yang harus dipersiapkan loh, Pak. Terus … keluarga Andra juga belum ngelamar ke sini. Tapi baru Andra-nya aja.”

Andra seketika menaruh sendok dan garpu di piring. Duduk dengan tegap bersama senyum mengembang sempurna. “Ibu gak perlu khawatir. Minggu depan, Andra akan membawa keluarga untuk melamar secara resmi ke sini.”

“Hah! Minggu depan?” Mahira lagi-lagi dibuat terkejut oleh tindak-tanduk Andra. 

“Gak usah sok terkejut gitu. Kalau kita berencana nikah bulan depan, otomatis lamaran bakal terjadi sebelumnya, Hira. Gak mungkin kan nikah dulu baru lamaran?” sela Andra enteng.

Gelak tawa pecah mendengarkan perkataan Andra barusan. Suasana yang memang semula sudah menyenangkan jadi tambah menyenangkan. Mahira sampai bingung sendiri, di sini siapa yang anak Ibu dan Bapaknya. Andra atau dia? Karena Andra tampak tak canggung sama sekali berbaur dengan orang tuanya. Malah sudah seperti bagian dari keluarga ini karena bisa dengan santai mengeluarkan pendapat.

“Andra, persiapan pernikahan itu lumayan repot. Apa gak bisa diundur beberapa bulan lagi? Kami harus mempersiapkan banyak hal. Pihak perempuan biasanya yang paling repot loh!” Bu Halimah berpendapat jujur. 

Pengalamannya mempersiapkan pernikahan Zahra yang juga mendadak cukup merepotkan. Masih untung pernikahannya itu terlaksana. Berkaca dari sana, Bu Halimah ingin melakukan persiapan yang lebih baik lagi di pernikahan Mahira.

“Tenang aja! Ibu dan Bapak gak perlu repot. Tinggal bilang setuju, lalu semua persiapan pernikahanku dengan Mahira akan Andra urus semuanya. Iya kan, Ra?” Andra menyela penuh semangat. Menjawab hal yang sama sekali tak pernah ia dan Mahira bicarakan.

Spontan saja Mahira menggeleng. “Kamu baru ngomong ini sekarang loh, Dra. Kamu yakin kita berdua bisa ngurus persiapan pernikahannya? Kita kan sama-sama kerja. Terus tempat kerja kita juga beda. Kapan nyiapinnya kalau kayak gini?”

Andra berpikir sejenak. “Pulau Ampalove, Hira.” Matanya tampak berbinar. “Kita menikah di Pulau Ampalove. Kita bisa mengurus ini sendiri, kan? Kamu dan aku.”

“Bisa sih … tapi … ada hal yang harus diurus di luar pulau. Kayak fitting baju misalnya, mau sewa fotografer siapa. Kalau di pulau, yang bisa aku urusin paling cuma soal tempat dan makanan. Selebihnya …,” Mahira menggeleng, “aku gak bisa.”

“Sisanya, aku yang urus. Pokoknya, kita berdua aja yang urus. Jangan sampai orang tua kamu repot. Oke? Setuju?” Andra tampak bersemangat sekali dengan idenya. “Kamu tentu kasihan dong lihat orang tua kamu yang harusnya santai-santai di rumah malah kerepotan ngurusin pernikahan kita? Apalagi kita udah dewasa. Pekerjaan kita gak terlalu jauh dari persiapan pernikahan. Jadi, kita usahakan semuanya kita urus sendiri.”

Mahira sejenak berpikir. Usulan Andra masuk akal juga. “Kalau gitu … baiklah. Kita coba urus pernikahan kita.”

“Pernikahan siapa?”

Suara asing itu membuat Mahira, Andra, Bu Halimah, dan Pak Wisnu saling berpandangan. Mereka sama-sama tak merasa melontarkan pertanyaan itu. 

“Kita? Kita siapa yang bakalan nikah, Hira?”

Mahira, Andra, Bu Halimah, dan Pak Wisnu spontan menoleh ke sumber suara. Sudah ada Zahra menenteng koper di salah satu tangannya denagn sorot mata tajam.

“Kamu sama Andra mau nikah?” tanya Zahra lagi dengan nada yang cukup tinggi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro