Bab 130 Pernikahan Impian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setiap orang memiliki pernikahan impian, kan?  

Tak terkecuali Mahira. Ia juga memiliki pernikahan impiannya sendiri di mana seiring berlalu waktu, gambaran seperti apakah pernikahan yang hendak ia wujudkan semakin nyata saja. Rumit tapi ini pasti akan membuat siapapun iri akan pernikahannya. Apalagi dengan fakta bahwa ia menikahi Andra, si chef tampan yang sekarang tengah diidolakan kaum hawa, sudah pasti pernikahan mereka ini tak boleh biasa saja, bukan?

Tak boleh! Mahira bisa malu nanti. Mau ditaruh di mana mukanya kalau pernikahannya dengan chef tampan itu berlangsung biasa saja. Ia tak mau sampai menjadi bulan-bulanan hujatan karena pernikahannya tak menarik, tak spektakuler, tak spesial, tak mewah, pokoknya enggak banget deh!

“Harus! Pokoknya nikahan aku sama Andra harus bikin semua orang terkesan sampai gak bisa lupain!” Mahira bertekad penuh.

Tapi, kenapa rasanya jadi sulit begini?

Semakin mendekati hari pernikahannya, segala persiapan yang harusnya sudah rampung malah masih mangkrak. Banyak hal yang belum terselesaikan. Banyak masalah yang timbul secara beruntun.

Setelah gaun pengantin yang masih belum menemukan titik terang, setelah pertemuan dengan Andra yang berakhir percekcokan, sekarang Mahira dihadapkan pada kabar tak sedap bahwa WO yang akan mengurusi pernikahannya ini baru saja mengalami sebuah musibah yang merenggut beberapa krunya dalam perjalanan ke sebuah acara.

“Sudahlah, Mbak. Mas Andra kan lagi cari WO baru. Gak usah stres gini!” Citra mengelus pundak Mahira. 

Saat itu keduanya sedang duduk di bibir jembatan yang menghubungkan pulau dengan cottage terapung. Memandangi pantulan cahaya matahari yang nyaris tertelan lautan di ufuk barat sana. Kegelapan yang mulai menyelimuti sama gelapnya seperti perasaan Mahira saat ini. Nyaris seperti tak ada cahaya satu pun yang nampak. Gelap sekali!

“Persiapannya tinggal dikit lagi, Cit. Masa iya harus ganti WO?” Mahira benar-benar di ambang putus asa sekarang. 

“Ya ampun, Mbak. Siapa juga yang bisa ngira kalau WO yang Mbak dan Mas Andra sewa kecelakaan. Krunya ada yang meninggal loh! Mbak gak boleh ngomong gitu!”

“Emang aku ngomong apaan? Aku cuma ngerasa ngenes aja. Kok nasibku buruk terus, Cit. Kayak kebahagiaan itu ogah banget buat deket-deket. Aku mau nikah loh ini! Mau nikah! Tapi ... kok banyak banget ujiannya! Udah dikhianati mantan, ditikung kakak sendiri, terus sekarang pas bentar lagi mau nikah, ditikung sama maut. Capek tahu Cit ngejalaninnya! Aku juga mau bahagia.”

“Mbak udah bahagia. Yang ngalamin kayak gini pasti bukan cuma Mbak aja kok. Mbaknya yang sabar aja. Bantu Mas Andra nyari solusinya juga. Jangan putus asa dulu.”

Mahira bukan putus asa. Ia hanya tak mengerti kenapa ujian demi ujian malah terus berdatangan. Sepertinya hanya barang sebentar saja ia bisa bernapas lega. Ketika Andra kembali menyatakan cinta padanya, lalu ia terima. Setelahnya apa? Cobaan lagi. Ujian lagi. Masalah lagi. Nyaris tak berujung.

“Dosaku apa sih sampe Tuhan ngasih cobaan gak berhenti-henti gini? Perasaan sama orang tua, hubunganku baik kok sama mereka. Ngebentak aja gak pernah. Malah Kak Zahra tuh yang sering bentak-bentak mereka. Wajar kalau dia kena ujian perceraian juga, kan? Sementara aku? Aku yang udah berusaha sebaik mungkin bersikap baik sama orang tua sampe ngalah dan biarin Kak Zahra nikahin Galang, kok dikasih ujian yang berat juga sih?”

“Mbak ... mending Mbak Mahira nyari hal yang patut buat disyukuri deh ketimbang yang bikin jengkel gini. Emang Tuhan bener-bener gak ngasih Mbak sesuatu hal yang membahagiakan yang gak orang lain dapetin?”

“Gak ada.”

Citra menelan ludahnya sendiri. Jengkel juga menghadapi sikap Mahira yang sekarang sedang uring-uringan begini. Sisi lain dari sosok Mahira yang dikenalnya sebagai atasan yang super gila kerja, ternyata punya sisi negatif juga. Manusia yang sempurna itu emang gak ada!

“Orang tua Andra gak pernah menentang hubungan kalian, kan? Maksudku kayak di sinetron gitu loh.”

Mahira termenung sesaat sebelum kemudian menggeleng.

“Nah! Itu yang patut Mbak syukuri. Mbak dan Mas Andra dapat restu dari orang tua. Mau itu orang tua Mas Andra yang kalangan konglomerat itu, atau dari orang tua Mbak Mahira yang dulu jadi saksi hubungan Andra sama Kak Zahra. Mereka mau nerima hubungan dan keputusan kalian! Itu luar biasa banget loh!”

“Iya sih. Tapi,” Mahira berpikir lagi. Seperti ada sesuatu yang salah dari pendapat Citra barusan. 

“Tapi apa? Gak usah nyari-nyari hal negatif, Mbak. Berusahalah berpikir positif!” Cepat-cepat Citra memotong sebelum mendengar Mahira mengeluh lagi. “Bandingkan sama pernikahannya Zahra dan Galang dulu,” bisik Citra hati-hati. “Apa mereka dapetin restu kayak yang Mbak dan Mas Andra dapetin?”

“Dapet kok! Maka dari itu mereka nikah.”

“Maksudnya, restu yang benar-benar tulus dari kedua orang tua. Bukan karena terpaksa. Mereka senang dengan pernikahan anak-anaknya. Enggak, kan?”

Mahira bergeming karena enggan membenarkan. Ini seperti mengorek luka dalam hatinya yang sudah berhasil ia tutup. 

Mahira tahu Citra bermaksud baik. Mencari perbandingan yang lebih baik dari apa yang ia alami sekarang. Cukup jitu memang. Mahira jadi ikut memikirkannya juga meski tak sanggup membicarakannya secara gamblang.

Pada akhirnya kebaikanlah yang menang, kan? Mendapatkan Andra tentu bukan hal yang Mahira rencanakan sejak awal. Keadaan yang membuatnya akhirnya goyah oleh keberadaan lelaki itu. Perasaan mereka yang akhirnya tertaut tentu bukanlah sesuatu yang sejak awal dirancang. Andra yang semula hanya iseng mengerjainya ternyata malah benar-benar jatuh dalam jebakannya sendiri.

Kalau memikirkannya lagi, rasanya lucu sekali. Ia dan Andra sama-sama terjebak di situasi yang sama. 

Pengkhianatan, sakit hati, dan akhirnya bertemu dalam perasaan damai.

“Aku mau pernikahanku dengan Andra jadi pernikahan terbaik tahun ini, Cit. Aku mau menunjukkan pada semua orang betapa kami yang dulu sama-sama pernah merasakan sakitnya dikhianati, sekarang akhirnya mendapatkan kebahagiaan kami sendiri. Kebahagiaan yang nyata! Bukan berkedok kebohongan bahkan kecurangan. Aku mau pamer semua orang, Cit! Aku mau seluruh dunia tahu kalau aku bahagia bisa menikah dengan Andra, begitu juga sebaliknya.” Mahira bersemangat sekali mengatakannya. 

Citra spontan merangkul Mahira.  Matanya juga spontan basah, padahal kata-kata Mahira itu isinya hal yang membahagiakan. Tapi entah kenapa dada Citra rasanya sesak sekali mendengarnya.

“Aku tahu, Mbak. Aku ngerti. Mbak berhak buat bahagia bahkan pamerin ke semua orang gimana bahagianya Mbak sekarang. Maka dari itu, Mbak harus tetap tenang agar bisa berpikir jernih. Berpikir bagaimana caranya keluar dari masalah dan cari solusi terbaik. Bukan dengan mengeluh.”

Mahira sudah siap membalas pelukan Citra ketika tiba-tiba sebuah kapal dari kejauhan tampak mendekat. Matanya memicing tajam. Ia mendorong perlahan tubuh Citra yang masih memeluknya.

“Kenapa, Mbak?” tanya Citra bingung ketika Mahira tiba-tiba saja bangkit dari tempat duduknya. Ia ikut mengarahkan matanya ke arah Mahira mendaratkan pandangan. “Kapal siapa itu? Pak Supri bukannya udah nyampe dari tadi yah, Mbak?”

Mahira malah menanggapi pertanyaan itu dengan senyum mengembang. Tanpa aba-aba ia lari, ke ujung jembatan seperti hendak menghampiri kapal yang semakin mendekat ke dermaga. Ia melambaikan tangan ketika dari kejauhan juga ada seseorang tampak melambaikan tangan.

“Andraaa!!!”

Mahira lega sekali. Sangat. Melihat calon suaminya itu tiba-tiba datang ke pulau. Meski dalam hatinya bercokol tanya, “ngapain dia kesini? Terus itu kan ... tunggu! Ibu? Bapak? Ngapain mereka di sana juga?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro