Bab 133 Berbeda Dengan Yang Lainnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Dibalut pakaian serba putih, Mahira menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyum malu. Kekhawatirannya kalau-kalau harus berpenampilan seadanya di hari pernikahan rupanya tak terjadi. Tentu gaun pernikahan ini juga bukan bagian dari apa yang diduganya.

Andra benar-benar mengurus segala hal terkait pernikahan mendadak mereka!

“Gimana? Kamu suka gaunnya, Hira?” Bunda Ratih yang tak jauh di belakangnya memegang pundak Mahira. Ikut menatap pantulan calon menantunya itu. “Bunda gak tahu gaun yang kamu suka itu kayak gimana. Kata Andra, gaun-gaun yang ada di butik gak ada yang cocok.”

Malu sekali. Sungguh! Ternyata Bunda Ratih yang mengurus gaun pernikahannya ini. Tentu saja Mahira tak bisa protes, apalagi mengeluh kalau gaun yang dipilihkan oleh Bunda Ratih tak sesuai dengan keinginannya. Bisa-bisa ia benar-benar batal jadi istri Andra.

“Suka kok, Bun.” 

Suka tak suka sih sebenarnya. Ada bagian-bagian tertentu dari gaun yang dikenakannya ini tak sesuai seleranya. Tapi untuk secara keseluruhan, ia menyukai pilihan Bunda Ratih. Ketebalan make up yang dibubuhkan orang pilihan Bunda Ratih pun tak terlalu membuat wajah aslinya dan wajahnya setelah dipoles jauh berbeda. Ini artinya Andra tak akan terlalu terkejut melihatnya nanti saat akad. Karena Mahira tak mau membuat pasangannya terlalu pangling oleh perubahan yang terjadi padanya hanya karena make up.

“Syukurlah kalau kamu suka. Bunda bingung juga waktu Andra minta Bunda yang nyariin gaun pengantin buat kamu. Karena yang bunda tahu kan, kalian ngurusin segalanya sendiri.”

“Ah … itu ….” Malu sekali Mahira. Ia sampai tergagap mengingat hari ia dan Andra berencana fitting baju pengantin tapi malah berakhir percekcokan. Tak mau juga sih Mahira mengaku kalau saat itu perasaannya sedang carut marut sampai merasa semua baju pengantin di butik tak cocok untuknya.

“Jarang banget Andra minta tolong ini dan itu sama Bunda. Selalu aja semaunya dan melakukan hal seenaknya. Susah banget diatur! Tapi, bukan dalam artian gak baik yah, Ra. Maksud Bunda, Andra kayak selalu berusaha menunjukkan ke Ayahnya kalau dia bisa hidup tanpa berpangku tangan pada orang tua dan keluarga meski sudah hidup berkecukupan. Kerjanya aja jadi chef. Malah milih capek-capekan di dapur, nyediain makan buat orang banyak, diperintah atasan, gajinya juga gak seberapa. Padahal dia itu udah kakeknya kasih vila sampe hotel buat dikelola sendiri. Tapi, tetep gak mau. Ditolak terus! Eh, malah tiba-tiba jadi selebriti chef!”

Mahira tak menampik sih kalau emang Andra ini termasuk orang yang susah diatur. Makin dilarang, malah makin menantang balik. Makin ditolak cintanya, malah makin gencar ngejar. Kayak gak ada patah semangatnya dan punya rasa malu juga. 

Ini memang bukan hal yang tak baik. Apalagi jika mengingat dirinya sendiri juga paling ogah berpangku tangan pada orang lain. Mungkin ini yang menyebabkan Mahira akhirnya bisa menerima Andra. Mereka punya sisi kecocokan.

Cara Andra mendapatkan hatinya bukan dengan cara memamerkan harta kekayaan. Bukan pula dengan memberikannya banyak barang berharga meski mungkin Andra bisa melakukannya. Tidak! Andra meraih perasaannya dengan caranya yang unik.

Yah!

MEMAKSA!

Memaksa Mahira untuk pura-pura menjadi pacarnya. Memaksa Mahira agar mau jadi pacarnya. Bahkan sampai memaksa Mahira menerima perasaannya. Cowok yang satu ini kayaknya emang serba tukang paksa. 

“Mahira justru suka Andra yang kayak gitu, Bun. Mandiri. Bener, gak?” Mahira dengan bangga menyebut Andra demikian. Bukan maksud memuji secara berlebihan, tapi ini kan berdasarkan fakta yang ada. “Aku pernah tuh ketemu sama temen-temennya dulu yang temen-temen dari anak Pak Prawira itu.”

“Oh … anak-anak Pandawa.”

“Iya, Bun. Yang itu! Awal ketemu mereka lumayan kaget. Pas tahu Andra dulu temenan sama mereka juga kaget banget. Karena … Andra beda banget sama mereka. Keliatan banget dari cara mereka bicara juga. Bisa dibilang sih, Andra lebih bermasyarakat yah, sementara temen-temennya itu kayak anti bermasyarakat.”

“Oh, yah?”

“Itu juga kayaknya yang jadi alasan aku sama dia cocok. Andra tak suka meninggi, tapi apa adanya. Dia bukan nunjukkin betapa kaya rayanya dia, tapi malah nunjukkin betapa nyebelinnya dia.”

“Loh? Kok jadi nunjukkin nyebelinnya sih? Terus gimana bisa kamu suka sama dia kalau dia emang nyebelin?”

“Karena dia bukan cuma nunjukkin kelebihannya aja yang jago masak, tapi juga gak malu nunjukkin kekurangannya dia. Mahira ketemu cowok kayak gitu tuh baru kali ini dan menurut Mahira ini bener-bener gak boleh disia-siain sih. Orang tuh pada umumnya bakalan jatuh cinta sama kelebihan seseorang, kan?”

“Iya sih. Kayak tampannya, kaya rayanya, atau … karena prestasinya.”

“Nah! Andra beda! Dia itu awal-awal nyebelin banget, Bun. Coba aja tanya sama Andra. Kita itu dari awal sering cekcok apa akur? Pasti jawabannya cekcok.” Bersemangat sekali Mahira menceritakan hal ini pada Bunda Ratih yang juga tampak antusias mendengarkan ceritanya. “Serius, Bun! Dari awal pertama kali kenal, kita bukan orang yang akur. Tiap ketemu pasti aja cekcok dan ribut. Ada aja yang bikin kita tuh debat hebat! Tapi justru dari sana kita jadi kenal satu sama lain lewat kekurangan. Kita bisa dengan mudah nerima kelebihan orang lain, tapi kita belum tentu bisa nerima kekurangan mereka, kan? Kalau yang terjadi sama Mahira dan Andra itu justru sebaliknya. Kita saling menerima kekurangan dulu, baru udah itu kelebihan.”

Bunda Ratih menyemai senyum malu-malu sampai dua bola matanya tampak berkaca-kaca.

“Kok Bunda malah nangis sih? Mahira salah ngomong, yah?”

Bunda Ratih menggeleng. “Bunda seneng dengernya. Karena yang bunda tahu itu dia banyak deket sama cewek itu karena ketampanan dia dan tahu kalau dia itu dari keluarga kaya. Bunda juga ngiranya kamu mau nikah sama Andra karena alasan itu, Ra. Tapi ternyata … cerita kamu sama Andra agak lain daripada cewek-cewek yang pernah deketin dia.”

Bohong kalau Mahira tak merasa kesal mendengar hal itu. Memang sudah menjadi rahasia umum juga kalau Andra sering dekat dengan cewek-cewek. Meski jarang ada yang diakui sebagai pacar secara resmi, tetap saja kedekatan mereka itu bukan hal yang menyenangkan untuk diakui.

“Bunda takut aja kalau Andra itu kayak ayahnya.” Raut wajah Bunda Ratih mendadak kusut. “Bunda takut dia nyakitin banyak cewek di luaran sana termasuk kamu juga. Kayak … ayahnya mungkin. Apakah kamu bakalan kuat hidup berdampingan sama Andra kalau dia itu kayak ayahnya?”

Itu yang Mahira pikirkan juga. Ia tak menampik adanya ketakutan dalam dirinya kalau Andra mungkin saja punya kebrengsekan yang sama dengan ayahnya. Meski sejauh ini ia tak menemukan bukti nyata kalau Andra memang begitu. 

Foto-foto yang tersebar di media sosial juga sudah dijelaskan oleh Andra secara gamblang kalau itu tak berarti apa-apa. Andra juga selalu datang ketika jadwal kencan tiba. Persiapan pernikahan ini juga lebih banyaknya malah diurus oleh Andra. Itu seperti sebuah bukti untuk Mahira kalau Andra serius dengan hubungan mereka. 

“Bunda ceritanya pengen bikin aku mundur nikahin Andra, nih?”

Bunda Ratih panik. “Bukan, Ra. Bukan gitu. Justru bunda ini gak mau nutup-nutupin kejelekan keluarga kami. Setidaknya kamu tahu sendiri kan gimana kelakukan Ayah dan kakeknya Andra. Tentu kamu juga tahu kalau hal kayak gitu bisa aja turun?”

“Mahira juga sempat khawatir kayak gitu. Tapi, sejauh ini, Andra gak pernah macem-macem kok.”

“Syukurlah kalau emang menurut kamu kayak gitu. Bunda … hanya gak mau kamu kecewa karena Andra nantinya.”

“Bunda kok kayak gak percaya kalau anaknya punya sikap baik sih?”

“Bunda percaya kok. Bunda cuma … takut, Ra. Takut apa yang bunda alami, kamu alami juga.”

“Doain Mahira bisa menerima segala kekuranga dan kelebihannya Andra. Begitu juga sebalinya, Bun. Jangan bikin Mahira takut dong!”

“Bunda cuma … takut kamu kecewa, Hira. Bunda tahu sekali kalau kamu ini anak yang baik. Bunda udah merhatiin kamu sejak pernikahannya Zahra dan Galang. Dari sana bunda tahu kalau … kamu anak yang sangat baik.”

Mahira termangu. Terkaget karena Bunda Ratih bisa membahas hal ini dengannya.

“Bunda takut Andra nyakitin kamu juga kayak kakak dan mantan kamu itu. Bukannya Bunda gak percaya sama anak bunda sendiri kalau dia baik. Tapi ….”

Mahira berhambur tiba-tiba dan memeluk Bunda Ratih erat. Tergugu di sana tanpa bisa mengatakan penyebab sebenarnya.

Harus Mahira akui. Seiring berlalunya waktu, ia semakin tersadar betapa banyak orang-orang disekitarnya yang mencintainya dengan tulus.

Mungkin dulu, ketika Zahra mengkhianatinya, Galang mengkhainatinya, ia merasa dunia seperti ikut-ikutan mengkhianatinya juga. Mahira merasa sendiri. Tersisihkan. Seperti ia disiksa oleh semua orang. 

Tapi, saat ini, setelah ia bisa menerima perasaan Andra, Mahira semakin tersadar bahwa masih banyak orang yang benar-benar tulus menyayanginya. 

Ibu, Bapak, Andra, Bunda, bahkan Kakek. Masih banyak orang yang berusaha mencintainya dan menyayanginya, daripada mereka yang berusaha menyakitinya.

“Permisi.”

Bunda Rathi dan Mahira spontan menoleh pada sumber suara. Mereka sama-sama termangu mendapati Zahra tahu-tahu sudah berada di ambang pintu.

“Kak ....” Mahira tergagap. Ia juga spontan berdiri dari duduknya dengan mata lurus menatap Zahra. Tak percaya kalau kakaknya itu ternyata ada di sini.

“Ganggu, yah?” Zahra tersenyum miring. “Kayaknya lagi ngobrol serius.”

“Enggak kok. Bunda tadi cuma ngobrol bentar aja sama Mahira. Ini udah beres dan mau keluar. Kapan kamu datang?” Bunda Ratih menjawab ramah. 

Zahra menarik napas dalam sebelum kemudian masuk ke dalam kamar Zahra. Menghampiri Bunda Ratih dan menyalaminya.

“Bunda sehat? Aku baru dateng.” Zahra balik bersikap ramah.

Bunda Ratih hanya mengangguk sebelum kemudian mengelus punggung Zahra. “Bunda tinggal dulu yah.”

Seperginya Bunda Ratih, Zahra dan Mahira sama-sama saling diam. Melirik malu-malu satu sama lain. Canggung sekali. Sampai tiba-tiba Zahra sendiri berjalan menghampiri Mahira, merangkulnya, lalu memberikan pelukan erat untuknya. Erat sekali. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro