Bab 135 Perkara Nikah Dadakan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Kenapa gak bilang sejak awal?!” serbu Andra setengah berteriak pada Mahira yang tengah menggerai rambut sepinggangnya. Sejenak ia termangu menatap pantulan Mahira di cermin, tapi beberapa detik kemudian ia tampak frustrasi sendiri. “Aaarrrggghhh!!! Kamu gimana sih? Harusnya kamu ngomong dong!”

“Emang kamu nanya? Enggak, kan?” Mahira yang tak terima dibentak, tentu saja langsung membalas. Ia sampai melemparkan tatapan sengit lewat cermin yang ditujukan langsung pada Andra.

“Harusnya kamu inisiatif dong! Bilang gitu, Ra. Aaarrrrggghhh!!! Anjir!” Andra sampai mengumpat kasar di depan istrinya yang langsung melotot tajam.

“Jaga yah mulut kamu kalau lagi sama aku, Dra!” Mahira memperingati.

“Bodo amat! Aku lagi kesel, jengkel, dan frustrasi. Gak boleh aku luapin perasaan aku di depan kamu? Kamu juga tuh alasan aku jadi kesel begini!” Andra tak peduli. Ia tetap meluapkan emosinya sekarang di depan Mahira.

Mahira membuang napas pendek. “Ya … emang ini kehendaknya aku apa? Tanya tuh sama Tuhan! Kenapa aku mesti datang bulan sekarang? Kenapa gak besok atau misalnya minggu depan. Protes aja sana sama Tuhan!” Mahira sampai menantang Andra. 

Enak saja dia! Malah melampiaskan emosi kepadanya karena masalah ini. Memangnya Mahira yang ngatur? Bukan, kan? Ada-ada saja emang Andra.

“Aaarrrggghhh!!! Mana bisa aku protes ke Tuhan soal siklus datang bulannya kamu? Emangnya bisa dipesen? Enggak, kan?” Andra jadi makin jengkel akan tanggapan Mahira barusan. 

“Makannya, kenapa juga kamu tiba-tiba majuin jadwal nikahannya kita?” tuduh Mahira menyudutkan. Ia tentu tak mau disalahkan terus-menerus oleh Andra hanya karena masalah seperti ini. “Jadwal yang udah kita tentuin dari awal itu dari hasil perhitungan datang bulannya aku, Andra. Gini nih jadinya kalau ngebet banget pengen nikah gak pake mikir panjang! Rasain! Emang enak!” 

Puas sekali rasanya Mahira mengolok Andra sekarang. Apalagi ketika melihat raut wajah terkekuk lelaki itu. Rasakan! Memang hanya Andra saja yang bisa membuat Mahira kelabakan karena pernikahan yang tiba-tiba dipercepat begini? Mahira juga bisa meladeni sikap Andra yang mahir sekali memberikan kejutan.

“Waaahhh … ada yah istri sengaja ngolok-ngolok suami kayak gini? Kita ini pengantin baru loh, Hira.” Andra masih belum bisa menerima begitu saja situasinya sekarang. Datang bulan di hari pertamanya menjadi pengantin baru?

Ya Tuhan! Ini benar-benar musibah besar!

“Terus? Kalau kita pengantin baru, emang kenapa? Gak boleh ngolok-ngolok? Gak boleh becandaan? Mesti ribut gitu maksudnya? Kamu mau ribut sama aku?” balas Mahira malah menantang balik.

Andra berdecak sebal. “Udah! Daritadi kita ini emang lagi ribut, Hira.”

Andra hampir saja kehilangan kata-kata untuk bicara lagi karena dari tadi hanya berdebat sengit dengan Mahira. Cekcok. Membicarakan masalah datang bulan yang ternyata sedang dialami Mahira sekarang ini. 

Tentu saja ini kabar paling menyebalkan yang Andra dapat. Bayangan malam pertama di Pulau Ampalove, suasana romantis di dalam cottage terapung, di bawah sinar cahaya lampu temaram, bergumul dalam kebahagiaan, harus pupus seketika. Gagal total! Bayangannya ini menjadi sekedar mimpi!

Andra menjatuhkan diri di sofa. Memijit pelipisnya yang benar-benar terasa nyeri. 

“Kapan beresnya? Besok?” Andra masih belum putus asa. Siklus datang bulannya perempuan itu tak akan sampai bertahun-tahun lamanya, kan? Paling cuma beberapa hari saja. Itu sih yang Andra tahu.

“Baru juga dateng hari ini, Dra.”

Andra menjitak dahinya sendiri cukup keras. “Ah! Sialan! Kenapa harus hari ini sih?” Ia makin jengkel.

“Emang siklusnya, Dra. Kalau kita nikahnya di jadwal yang udah ditetapin di awal, itu pas banget siklus datang bulannya beres.” Mahira beralasan. Bukan hanya untuk membela diri, tapi juga menenangkan emosi Andra yang sedari tadi terus meletup-letup. Malah semakin meletup sepertinya saat tahu kalau baru hari ini datang bulannya Mahira datang.

“Aaarrrggghhh!!!” Andra berteriak lantang sekali. Ia sampai meremas rambut-rambutnya cukup keras.

“Kenapa sih?” Mahira jadi sewot sendiri. “Biasa aja kali! Tungguin aja sampe beres. Datang bulananku cuma semingguan kok!”

“Seminggu kata kamu?” Sumpah! Ini bukan hal yang ingin Andra dengar. “Itu lama, Hiraaaa!!!”

“Ada yang lebih lama loh! Ada yang nyampe dua minggu!”

“Hiraaa!!!”

“Apa sih? Sewot banget jadi cowok! Segitu pengennya emang langsung malam pertamaan?” Mahira mati-matian menahan diri untuk tak tertawa ketika melihat Andra yang menjatuhkan diri di ranjang dengan menampakkan raut wajah kusut. “Dasar mesum!” oloknya puas sekali.

“Bukan mesum, tapi itu naluriah sebagai manusia.” Andra membela diri. Tak terima dituduh demikian meski sebenarnya tak salah juga.

Naluriah alami sebagai manusia terutama lelaki. Pernah dengar kan kalau hawa nafsu lelaki itu begitu besar? Ya! Itu dia! Naluri alaminya sebagai lelaki!

“Ya udah sih biasa aja. Nanti juga ada beresnya, kan? Buat sekarang mending kita istirahat aja. Kamu gak capek emangnya?” Mahira tak mau lagi mengolok. Kasihan juga Andra. Dia benar-benar tampak frustrasi sekali sekarang. Raut wajahnya begitu tak bersahabat.

“Enggak. Orang acara nikahannya aja bentar kok!” timpal Andra tak acuh.

Andra sampai enggan menerbitkan seulas senyum. Mahira mengambil posisi duduk di bibir ranjang, tepat disisi kepala Andra. Menyentuh anak-anak rambut suaminya itu dengan hati-hati sampai membuat Andra jadi menatap padanya lekat.

Sungguh! Jantung Mahira nyaris copot rasanya ditatap begitu oleh Andra. Apalagi ketika sadar kalau mereka kini sudah menjadi sepasang suami istri. Duh … perasaan Mahira makin tak karuan begini jadinya. Ia ingin sekali menarik tangannya lagi dari menyentuh kepala Andra, tapi enggan dilakukannya. 

Dalam satu gerakan cepat, Andra menggenggam tangan Mahira. Melayangkan kecupan di telapaknya sebelum kemudian menaruhnya di atas dadanya sendiri. Mengunci tangan itu erat sekali sementara matanya perlahan menutup.  

“Cuma seminggu, kan?” Andra bergumam. “Oke. Cuma seminggu. Tapi … lusa aku harus balik lagi ke Jakarta, Hira.” Ia membuang napas berat.

“Jakarta? Mau ngapain?” Giliran Mahira yang terkejut sekarang.

“Kok mau ngapain sih? Ya, kerja dong. Emangnya mau apa lagi coba? Selingkuh dari kamu? Mana berani!”

Abaikan lelucon Andra soal selingkuh. Karena Mahira sudah terlanjut memusatkan perhatian pada keputusan Andra untuk bekerja. “Tapi kamu bilang waktu itu mau resign kalau udah nikah, Dra.” Mahira butuh penjelasan yang benar soal ini. Jelas-jelas waktu itu Andra sendiri yang bilang akan tinggal dengannya di pulau, kan? Kenapa sekarang malah tiba-tiba mau balik ke Jakarta?

“Tapi sekarang aku belum resmi resign. Masih banyak kerjaan yang harus aku beresin sebelumnya. Rencananya juga baru minggu depan ngurusin ini sambil ngomongin soal nikahannya kita. Eh … rencananya berubah total ternyata.”

“Kamu sih!” Mahira tiba-tiba menepis tangan Andra. “Kenapa juga pake nikahan dadakan begini? Huh! Tahu kan akibatnya sekarang? Apa yang kita rencanain sejak awal jadi gak jelas begini. Terus sekarang gimana? Kita udah nikah loh, Dra.”

Andra beringsut bangkit. Mengambil posisi duduk berhadapan dengan Mahira dengan dua kaki bersila. “Gimana apanya? Ya, udah. Kita udah jadi suami istri. Mau gimana apanya emang?”

“Maksudku … soal itu, Dra. Soal kita bakal tinggal bareng di pulau setelah nikah. Kamu yang bilang sendiri gak mau LDR, kan? Kamu juga yang bilang mau resign?” tuntut Mahira. Ia tadinya menganggap perkataan Andra soal keputusannya untuk resign ini serius. Tapi … kenapa jadi begini?

“Dan kamu ngarepin itu terjadi?” sengit Andra.

“Kamu kok malah balik nanya sih?”

“Sekarang aku yang nanya balik. Kamu mau aku yang ngikut kamu atau kamu yang ngikut aku?’

“Kok jadi bahas ini lagi sih?”

“Status kita udah beda sekarang, Hira. Kamu sama aku udah jadi suami istri. Kamu mau aku resign dan ikut kamu tinggal di pulau ini? Atau … kamu yang resign dan ikut suamimu?”

Mahira tak tahu jika pertanyaan sederhana ini ternyata sekarang malah terasa sulit untuk dijawabnya sekarnag. Apalagi ketika Andra menyinggung soal status mereka yang sudah menjadi pasangan suami istri. Seperti yang pernah Mahira pikirkan juga sebenarnya. Dan ternyata menjawab pertanyaan ini tak mudah.

“Kamu sendiri? Maunya gimana, Dra?” Mahira malah bertanya balik.

“Oke. Jujur. Dulu, aku memang bilang kalau aku sanggup resign, terus ngikut kamu di sini karena kamu tetep pengen kerja. Tapi … setelah aku pikir-pikir, ada yang keliru dari keputusanku, Hira. Apalagi dengan status kita yang udah jadi suami istri sekarang.” Andra sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi atas jawabannya ini, terutama bentuk bentuk pertentangan dari dia. “Aku mau kamu resign dari tempat ini. Aku gak mau ngalah dan ngikutin kamu, Hira. Bukan hanya karena aku ini imam kamu, tapi juga karena inilah solusi yang menurut aku paling baik.”

Raut wajah Mahira seketika kusut. Andra tahu ini yang akan terjadi setelah ia mengungkapkan keputusan akhirnya sekarang. Masih untung Mahira tak langsung menanggapi atau bahkan mendebat jawabannya ini yang jauh berbeda dengan kesepakatan awal. Istrinya itu malah diam saja. Entah menentang keputusan akhir Andra atau tidak.

Sampai tiba-tiba Mahira menggelengkan kepalanya pelan. “Enggak, Dra. Aku kayaknya gak bisa.”

Sudah Andra duga. Ia spontan menundukkan kepala lesu.

“Ya, sudah. Kita LDM aja kalau gitu. Yuk tidur!”

Andra kembali merebahkan diri di ranjang. Kali ini mengambil posisi tertelungkup, bahkan membelakangi Mahira yang masih duduk di bibir ranjang. Tanpa adanya pembicaraan lagi di sisa malam itu.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro