Bab 32 Mahira Kecelakaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hira!"

Mata Mahira mengerjap-ngerjap saat mendengar suara itu. Ia dapati Andra tak jauh darinya dengan wajah tampak terkejut.

"Andra ...."

Kerongkongan Mahira terasa kering. Di atas sana langit gelap gulita. Tangannya meraba-raba sekitar. Ketika ekor matanya menangkap sosok lain yang berada di belakang Andra, mata Mahira seketika membola.

"Kamu—" Tangan Mahira gemetaran hendak menunjuk Amel yang tampak menangis. Entah sebab apa.

"Amel yang menemukan kamu." Andra lebih dulu menyela. "Katanya kamu tergeletak di sini. Ada apa? Bagaimana bisa kamu kayak gini, Hira?"

Mahira yakin ingatannya tak salah. Ia datang dengan Amel untuk menemui Andra. Tapi tiba-tiba perempuan itu mendorongnya sampai menendangnya hingga terjatuh. Atau ... Mahira yang salah mengingat?

"Kita ke Rumah Ampa buat obatin luka kamu, Hira. Kamu bisa berdiri?"

Pertanyaan Andra tak digubris oleh Mahira yang kini tengah melayangkan tatapan tajam pada Amel. "Kamu sama aku kan tadi—"

"Cheeefff!!!" Amel meraung tiba-tiba. Lantang sekali sampai membuat Mahira dan Andra kaget. "Gimana dong? Mungkin Tante gak bisa jalan. Gimana kalau kita minta bantuan yang lain?"

Andra kembali memalingkan wajah pada Mahira setelah mendengarnya. "Bisa berdiri gak? Kalau enggak, biar aku yang gendong."

Mahira mengangguki perkataan Andra meski sorot matanya tetap menaruh kecurigaan pada perkataan Amel barusan yang terdengar ambigu. Ia meraba-raba tiang pengaman, mencoba menarik tubuhnya sampai berdiri. Tapi hanya selang beberapa detik saja, tubuh Mahira nyaris ambruk.

Untung saja Andra sigap menopang meski caranya menopang Mahira tampak kaku. Takut-takut menyentuh Mahira, tapi ia juga tak bisa membiarkan wanita itu terjatuh.

Andra membantu Mahira duduk di anak-anak tangga. Ia sendiri segera membalik badannya dengan berjongkok di depan perempuan itu. "Naik! Biar aku yang antar kamu sampai Rumah Ampa."

Mahira terdiam sejenak menatap punggung Andra yang membelakanginya. Ia juga melirik Amel yang tampak sengit menatapnya dengan wajah cemberut.

Mahira diam saja meski beragam tanya dan terkaan mulai bercokol di kepalanya. Ia yakin kalau Amel tadi sengaja mendorongnya hingga terjatuh.

Namun, lihatlah sikap perempuan itu sekarang. Dia menangis dan ... tunggu! Dia yang menemukannya di sini? Apa maksudnya mengatakan hal ambigu begitu?

Mahira mengalungkan dua tangannya di pundak Andra sambil memerhatikan sesekali perubahan wajah Amel. Mahira makin yakin, Amel memiliki alasan untuk mendorongnya dan tampaknya perempuan itu tak suka melihatnya dengan Andra.

Tepat ketika Andra menggendong tubuh Mahira di tubuhnya, raut wajah Amel makin tambah kusut. Perempuan itu juga tiba-tiba menghadang langkah Andra.

"Chef yakin mau gendong Mahira ke bawah? Gimana kalau kita minta tolong yang lain dulu biar Chef bisa gantian bawa Mahira ke bawah."

Andra sudah terengah-engah, padahal ia belum melangkah satu jengkal pun.

"Minggir! Kamu ngalangin jalan, Mel."

Mahira membenamkan wajahnya ke pundak Andra. Sengaja tak mengalihkan pandangan pada Amel lagi ketika Andra menggendongnya.

"Kepalamu berdarah. Kerasa sakit gak?" tanya Andra dalam perjalanan.

"Enggak, Dra."

"Kalau kerasa ada yang sakit, bilang!"

"Hmm ...."

"Jangan tidur!"

"Hmm."

"Hira! Jangan tidur?"

"Iya, Dra. Aku gak tidur," jawab Mahira dengan suara gumaman.

"Mau makan apa? Omelet? Nasi goreng? Roti kukus? Atau seafood yang kemarin?"

Napas Andra terdengar terengah-engah. Namun ia terus saja menanyai Mahira. Andra takut Mahira kehilangan kesadaran. Meski lelah, Andra tetap berusaha membuat Mahira sadar.

"Apa aja. Masakan kamu enak semua kok."

Andra diam-diam tersenyum senang. "Kalau gitu, kita coba menu baru lagi. Aku buatkan menu yang spesial untuk kamu."

"Menu yang biasa aja. Aku gak suka sesuatu yang spesial."

"Kenapa gak suka yang spesial?"

"Gak suka aja. Aku lebih suka sesuatu yang biasa aja."

Andra membawa Mahira melalui jalan memutar. Ia melakukannya agar tak ada siapa pun yang melihat mereka, apalagi melihat kondisi Mahira yang tengah mengalami cedera di kepala. Pesta pernikahan masih terus berlangsung. Para tamu undangan sedang hanyut dalam pesta. Andra takut jika mereka melihat keadaan Mahira akan membuat situasi pesta kacau balau.

"Di mana si Amel?"

Andra baru ingat perempuan itu. Ketika ia menoleh ke arah belakang, perempuan itu tak ada di sana. Andra tak terlalu memikirkannya karena mungkin perempuan itu kembali bergabung ke pesta.

"Dra ...."

"Apa?" Andra sudah kehabisan napas. Untung saja Rumah Ampa sudah ada di depan mata. Kakinya terasa pegal sekali. Nyaris tak kuat lagi berjalan.

"Turunin aku."

"Nanti. Bentar lagi kita nyampe, Hira."

Andra mendudukkan Mahira dengan hati-hati di kursi teras Rumah Ampa. Setelahnya Andra membuka pintu Rumah Ampa yang ternyata terkunci rapat.

"Rumahnya di kunci, Hira." Andra melapor.

Mahira terduduk dengan tubuh bersandar di pagar teras rumah itu. Tampak lemas dengan darah di kepala yang masih mengucur.

"Gak mungkin, Dra .... Rumah Ampa gak pernah kami kunci." Mahira bingung dengan laporan Andra barusan. "Kamu buka yang bener coba."

"Udah, Hira. Pake tangan cowok nih! Kekuatan seorang Chef. Bener-bener dikunci!"

Andra berjongkok di depan Mahira. Kerudungnya tampak basah. Tentu bukan karena keringat, melainkan luka di kepala Mahira yang entah seberapa parah.

"Lukamu harus segera diobati. Tunggu di sini! Aku ambil kotak P3K di dapur."

Mahira mengangguk. Sesaat setelah Andra lenyap dari balik pintu dapur, suara pintu Rumah Ampa terdengar di belakangnya. Mahira menoleh perlahan dan mendapati Citra di berdiri di ambang pintu. Dia tampak terkejut melihatnya.

Mahira pun tak kalah terkejut. Bukan karena pintu Rumah Ampa ternyata dikunci dari dalam, tapi karena sosok Randu berada di belakang Citra.

"Kalian berdua ngapain?"

Pertanyaan Mahira tak terjawab karena Citra lebih dulu menghampirinya.

"Apa yang terjadi? Kamu kenapa, Mbak?"

"Hira, kepalamu berdarah. Kamu kenapa?" Randu ikut-ikutan menanyai.

Mahira menyeringai tipis. "Kalian berdua ngapain di dalam sana?" cecarnya mengintrogasi. Tentu Mahira tak bodoh. Ia sudah punya terkaan sendiri. Mahira senang saja membuat Citra dan Randu sekarang yang memasang wajah malu. "Sejak kapan?" tanyanya lagi karena Randu dan Citra tak kunjung menjawab.

Randu garuk-garuk kepala. Citra menyikut Randu cukup keras.

"Kok kamu malah diem aja sih? Perlu aku yang jawab, Mas?" serang Citra sengit.

Randu makin malu karenanya yang berhasil membuat Mahira tertawa melihat tingkat Randu yang tiba-tiba duduk sambil menahan dua lututnya.

"Baru kok." Randu menjawab singkat.

"Cepetan nikah kalau gitu," kata Mahira singkat.

"Loh? Kok kalian ada di sini?"

Andra muncul sambil membawa kotak putih di tangannya. Ia tak punya waktu mengusut keberadaan Citra dan Randu yang tiba-tiba saja ada di sana.

Citra segera mengambil kotak P3K di tangan Andra. Dia membawa Mahira masuk ke dalam Rumah Ampa segera. Sementara itu, Andra meminta Randu membantunya memasak di dapur. Keduanya kompak membuat masakan yang dikhususkan untuk Citra dan Mahira nanti.

"Mahira kenapa? Kok bisa terluka kayak gitu, Dra? Lo yang bikin dia kayak gitu?" cecar Randu di sela-sela kesibukannya memotong bahan makanan di atas cutting board.

"Enak aja! Mana mungkin gue tega nyakitin tuh cewek sampe kayak gitu."

"Godain dia terus aja lo berani. Bisa aja kan lo berbuat hal aneh lagi ke anak orang? Jangan nyakitin si Mahira, Dra. Dia cewek baik."

"Gue juga tahu kok kalau dia cewek baik. Galaknya kayak singa!"

"Kalau gitu berhenti godain dia terus. Seriusin dong! Awas aja lo kalau cuma maenin hati orang doang."

"Siapa juga yang maenin hati orang?"

"Elo tuh! Kapan ngajakin serius si Mahira. Ajakin pacaran kek, lamar dia kek, atau apa gitu. Masa beraninya cuma godain doang!"

"Pernah, Bro! Gue juga udah ngajakin dia nikah. Tapi dianya nolak mulu! Gue mesti gimana lagi coba? Ngerangkak sampe bertekuk lutut gitu ke dia? Ogah ah! Malu gue kalau nyatain perasaan cinta pake cara lebay kayak gitu."

"Serius? Lo udah ngajakin dia nikah?"

"Udah ... Tapi dia nolak, Ran."

"Elo kali ngajakinnya gak serius, Dra. Gimana cara lo ngajakin dia nikah?"

Andra menceritakan bagaimana awal mula ia mengajak Mahira menikah saat keduanya menyaksikan perhelatan pernikahan tadi pagi yang malah ditanggapi gelak tawa oleh Randu.

"Ya ampun, Dra. Padahal lo bukan anak orang miskin. Ajakin dia naik kapal pesiar kek, ngadain acara makan romantis kek, beli cincin mahal misalnya, bawa dia ke tempat romantis, atau gimana kek. Lah, ini? Lo malah ngajakin dia nikah kayak ngajakin dia makan bakso. Mana mau si Mahira! Aneh banget lo jadi cowok!"

Andra terdiam sejenak memikirkan kata-kata Randu. "Bener juga yah, Ran. Kok gue gak mikir ke arah sana?"

Randu tak hentinya mencecar Andra dengan segala sindiran dan olokan. Tanpa menyadari kalau ada Amel diam-diam mendengarkan mereka bicara.

"Tapi, lo beneran suka emang sama si Mahira?"

Andra hanya angkat bahu, lalu menggeleng. Tak menjawab dengan gamblang. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro