Bab 36 Perubahan pada Mahira

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Andra menenteng nampan berisi hidangan udang di salah satu tangannya dan berjalan memasuki area Restoran Ampalove. Ada banyak pengunjung di sana yang tengah menikmati waktu siang mereka. Ada yang menyantap makanan sambil bercengkerama, sekedar menikmati pemandangan, atau hanya sekedar duduk di sana ditemani secangkir kopi. 

“Silakan!”

Andra menaruh sajian makanan di depan seorang laki-laki yang tengah duduk berhadapan dengan Mahira. 

“Selamat menikmati hidangan spesial di Restoran kami.”

Andra tersenyum pada Mahira yang tampak terkejut melihat kemuculannya, tapi ia malah melemparkan wajah kusut pada si lelaki. Tatapannya begitu sengit sampai-sampai membuat si lelaki kebingungan harus tersenyum atau membalas raut wajah Andra seperti apa.

“Perkenalkan.” Andra tiba-tiba mengulurkan tanganya pada si lelaki. Mendadak ramah. “Andra. Saya Chef utama di tempat ini.”

“Oh? Perkenalkan. Saya Rangga. Suatu kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan Anda. Dan terima kasih karena Anda harus repot mengantar pesanan saya ke sini sendirian.”

“Anda arsitek yang akan mengurus pembangunan cottage baru di atas laut, kan?” terka Andra yang ditingkahi Mahira dengan kerutan di wajah. 

Heran saja melihat Andra tiba-tiba mengantarkan makanan langsung ke pelanggan, sampai mengajak pelanggannya berbincang. Tak pernah Mahira melihat hal seperti ini karena Andra biasanya hanya berjibaku di dapur. Yang mondar-mandir keluar masuk dapur pastilah para pelayan. Andra juga sampai tahu siapa yang tengah ia layani saat ini.

“Benar.” Rangga menjawab dengan senyuman mengembang. “Dan secepatnya pembangunan itu akan terlaksana mengingat Pulau Ampalove ini sedang menjadi primadona para wisatawan. Pak Prawira tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan ia ingin fasilitas di Pulau Ampalove semakin ditingkatkan, terutama bagian fasilitas penginapan.”

“Benarkah? Apa itu artinya Anda akan tinggal di pulau ini untuk sementara waktu? Maksud saya, selama proses pembuatan cottage baru.”

Rangga mengangguk. “Sepertinya memang begitu.”

“Wah … benarkah?” Wajah Andra tiba-tiba semringah. Ia menarik salah satu kursi dan duduk tepat di dekat Mahira. 

Mahira menggeser kursinya sedikit, tapi Andra malah menahannya dengan menjawil lengan baju Mahira.

“Mau ke mana? Kok malah ngejauh?” protes Andra.

Rangga memandang keduanya dengan tatapan bingung. Andra kembali mengarahkan perhatiannya pada Rangga.

“Kamu tuh ngapain duduk di sini segala. Sana kerja!” usir Mahira keras. “Para pelanggan nungguin pesanannya. Nanti kalau ngamuk, tanggung sendiri akibatnya!”

“Randu sama Yogi bisa diandelin kok. Gak usah takut! Meskipun aku ninggalin mereka beberapa menit aja, gak akan ada masalah.”

“Kenapa gak sekalian resign aja sana kalau emang mereka berdua bisa handle kerjaan kamu?”

“Gitu amat ngomongnya! Kamu mecat aku?”

“Kalau bisa, kenapa enggak? Sana! Sana! Ganggu aja nih orang!”

Mahira mendorong tubuh Andra untuk menjauh, namun lelaki itu hanya mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang. Menolak angkat pantat dari tempat duduknya.

Melihat interaksi keduanya, Rangga hanya bisa tersenyum. “Kalian … pacaran?”

“Ya!”

“Enggak!”

Andra dan Mahira kompak menjawab bersama dengan jawaban yang saling bertolakbelakang. Justru hal itu malah membuat Rangga tergelak. 

“Oh … ada cinta lokasi rupanya di sini,” terka Rangga. “Cinta bertepuk sebelah tangan, yah?”

“Begitulah!”

“Enggak ada cinlok!”

Andra dan Mahira kembali menjawab sengit. Masing-masing memiliki jawaban yang saling bertolakbelakang.

“Jangan tikung saya yah, Pak. Karena saya sedang memperjuangkan Mahira,” celetuk Andra.

“Apaan sih?” Mahira mendengkus jengkel. “Pergi sana! Kerja yang bener!”

Kali ini Andra menurut setelah sebelumnya sempat mengelus puncak kepala Mahira sampai kerudung perempuan itu hampir saja rusak. Tentu saja Mahira langsung mengomel. Tapi Andra kalah cepat menghindar darinya.

“Waaahhh … Pulau Ampalove sepertinya punya segudang cerita menarik. Saya pasti betah sementara tinggal di sini, Bu Mahira.”

Mahira hanya menggeleng. “Dia emang usil, Pak Rangga. Gak usah dianggap!”

Sayangnya, keusilan Andra rupanya tak hanya berhenti di situ saja. Lelaki itu kerap kali menunjukkan batang hidungnya di tempat yang tak Mahira duga. Tampaknya gertakan Mahira tak begitu dianggap serius oleh Andra. Ia malah semakin gencar berada di sekitarnya.

Wajar saja jika hubungan mereka menjadi topik hangat kembali di kalangan para karyawan. Andra disebut-sebut tengah berjuang keras untuk mendapatkannya kembali. Benar-benar berita konyol!

Mahira sudah lelah mengelak atau memberikan penjelasan pada mereka. Ia hanya bisa memendam rasa takut setiap kali bertemu dengan orang baru atau pengunjung yang datang. Mahira semakin waspada, sering bergabung dengan para karyawan meski hanya sekedar berbincang hal yang tak penting. Ketika berada di ruang kerjanya sendiri pun, Mahira selalu memastikan kalau di sana ada Pak Satya. Pokoknya, Mahira harus menghindari yang namanya seorang diri meski ia tahu kalau Andra selalu berada di sekitarnya. Tapi itu bukan jaminan jika keberadaannya akan baik-baik saja, kan?

Karena rencana pembangungan cottage baru, Mahira dan Rangga sering bertemu untuk sekedar berdiskusi. Tentu saja itu menjadi bahan gosip baru di kalangan para karyawan. Terlebih ketika mereka tahu kalau Rangga masih single. Terang saja Mahira kembali menjadi sasaran gosip.

“Kamu seneng tuh kayaknya digosipin sama si Rangga itu, Hira?” 

Bukan hal aneh kalau Andra tiba-tiba muncul seperti pagi itu, saat Mahira tengah menikmati waktunya untuk melakukan olahraga lari di sekitar pantai. 

“Biasa aja. Karena pernah digosipin sama kamu, jadinya biasa aja sih. Bodo amat mereka mau ngomong apa. Toh aku sama Pak Rangga sekedar rekan kerja aja.”

Andra diam-diam tersenyum lega. Hatinya juga ikut meyakini kalau perkataan Mahira itu sebuah kejujuran. Selama ia memantau kedekatan Mahira dan Rangga, Andra bisa menebak secara akurat kalau Mahira memang hanya menganggap Rangga rekan kerja. Gelagat perempuan itu tak aneh, genit apalagi. Tidak! Mahira begitu menjaga sikap. Tegas, ramah, dan menyenangkan.

“Bagus! Itu baru calon istriku!”

Delikan tajam Mahira tentu hal yang ditunggu-tunggu oleh Andra. Kalau boleh ia meminta, Mahira boleh mengemelinya karena berani menggoda wanita itu lagi. Tapi sayang, Mahira malah lebih memilih mempercepat larinya. Ia seolah menghindar untuk cekcok dengannya.

Andra bukannya tak sadar akan perubahan kecil itu. Jika dulu Mahira akan marah ketika digodai olehnya, kali ini Mahira lebih sering diam saja dan tersenyum. Reaksi yang membuat Andra harus berpikir keras akan makna dibaliknya itu apa. 

Dia tak mengelak, tak marah, atau bahkan tak lagi memintanya untuk tak lagi membuat orang-orang salah paham. Mahira berubah lebih kalem, pendiam, tapi tak acuh. Entah apa maksud dari sikapnya ini.

“Hari ini rencana mau ke mana aja pas nyampe Pulau Palapalove? Selain menghubungi keluarga dan orang terdekatmu maksudku. Cewek-cewek lain biasanya belanja kebutuhan. Kok aku jarang liat kamu heboh bawa seabrek barang belanjaan?”

“Entahlah. Aku memilih belanja via online saja meskipun pengirimannya membutuhkan waktu lama. Ketimbang harus berkerumun di pasar lama-lama, di tempat rame, bising, belum lagi harus nenteng-nenteng barang belanjaan sendiri.”

“Wah. Wah. Wah. Kamu punya sisi malas juga rupanya!”

“Aku emang orangnya males kok!”

Andra jadi ingat waktu ia meminta Mahira mengupas bawang merah dan bawang putih. “Ah … kayaknya iya juga yah. Tapi, kamu kayaknya gak males tuh kalau soal kerja. Kok bisa gitu?”

“Ya … beda dong! Kerja itu menghasilkan uang. Uang itu bisa aku pakai untuk mencukupi kebutuhanku yang orangnya malasan. Kalau gak ada uang, aku gak bisa seenaknya makan enak di luar, belanja barang ini dan itu sesuka hati, beli sesuatu yang diinginkan. Di zaman serba instan begini kan yang penting punya uang dulu baru bisa hidup malas-malasan. Dan aku gak suka menengadahkan tangan ke orang lain!”

“Kamu beda sama Zahra. Zahra tuh orangnya—”

Mahira sudah lebih dulu berlari kencang sebelum Andra menuntaskan kalimatnya. Sejenak Andra terdiam, merenungi apa yang baru saja terlontar dari mulutnya. 

Andra meremas rambutnya yang sudah basah. Mendesah jengkel karena tak bisa mengontrol dirinya dari mengingat Zahra.

Apa ini artinya yang dikatakan Amel benar? 

Kalau Andra sebenarnya belum sepenuhnya melupakan sosok Zahra.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro