Bab 39 Siapa yang Belum Move On?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Citra menyikut Randu di mana saat itu keduanya tengah berada di balkon Kafe Palapalove. Ada sesuatu yang mencuri perhatiannya dan ia tak ingin menyimpannya sendiri. 

“Itu Mahira.” Citra menunjukkan ujung jarinya. “Itu Andra.” Jari telunjuknya bergerak ke arah Andra yang berjalan tak jauh di belakang Mahira. “Kok mereka jalannya gak barengan sih?”

Randu melirik sebentar. Jadi ikut memerhatikan juga. “Oh … itu si Andra kayaknya gagal lagi.”

“Gagal apanya?” Suara Yogi menyahut. Tahu-tahu ia sudah berada di antara Citra dan Randu, duduk di tengah-tengah dengan wajah tak acuh.

Citra yakin kalau sejak tadi, hanya ia dan Randu yang ada di meja ini. Tapi, kapan Yogi datang? Mengganggu acara kencan orang saja!

“Dari mana lo? Kok sendirian?” Randu malah balik bertanya. “Bukannya tadi gabung sama si Rani dan temen-temennya.”

Yogi menggeleng sambil tersenyum kecut. “Enggak deh. Gue malah diporotin sama mereka suruh traktir ini itu. Habis nanti uang gue!”

Yogi ikut mendongakkan kepalanya, sedikit mengintip ke arah mana Randu dan Citra mengarahkan pandangannya tadi sambil membahas Andra. Rupanya ia juga melihat Mahira yang tengah diekori sahabatnya itu. Mereka sudah berjalan cukup jauh ke ujung dermaga.

“Masih gagal juga si Andra?” celetuk Yogi. 

“Gagal apaan sih?” Citra jengkel karena Randu dan Yogi tampaknya punya pandangan yang sama. 

“Itu si Andra. Gagal lagi kayaknya buat dapetin si Mahira.” Randu kali ini menjawab tegas.

“Emang Chef Andra beneran suka sama Mbak Mahira, Mas?”

“Menurut kamu?” Randu malah banyak bertanya.

“Keliatan sih sukanya. Tapi … kok bisa gitu Chef Andra suka adik dari mantannya? Itu kan kayak punya maksud terselubung jadinya.” Citra tak bisa menepis pikiran buruknya akan hal itu.

“Gue juga mikir yang si Citra omongin nih. Si Andra beneran suka atau cuma lagi iseng doang deketin si Mahira? Kali aja gitu kan lagi gabut dan asal aja ngecengin anak orang.” Yogi malah ikut-ikutan mengompori.

“Yang tahu beneran suka atau enggak yah cuma si Andra. Kita gak berhak menilai. Dari gelagatnya sih kayak yang beneran suka. Tapi entahlah! Antepin aja. Itu urusan dia.” Randu sok tak acuh.

“Mahira sendiri gimana menurut kamu, Cit?” Yogi makin tak bisa mengakhiri percakapan yang mendadak begitu menarik untuknya. “Dia suka cerita atau pernah cerita apa gitu soal sikap si Andra gimana ke dia? Baper, kah? Atau gimana gitu?”

Citra berpikir sejenak. Potongan gorengan kentang di depannya ia lahap beberapa kali. “Entahlah. Soalnya kayaknya Mbak Mahira masih belum move on deh dari masa lalunya itu. Siapa sih tuh nama cowoknya?”

“Galang.” Randu menjawab cepat.

“Ya! Itu.”

“Mahira yang cerita kalau dia belum move on dari si Galang?” tanya Randu.

“Bukan cerita sih, tapi buktinya ada. Mbak Mahira masih nyimpen foto-foto mereka gitu di ponselnya, malah dipajang jadi wallpaper segala.”

“Gila! Seriusan? Itu kan kakak iparnya sekarang?” Yogi nyaris berteriak kencang.

Citra angkat bahu atas tanggapan Yogi yang tampak terkejut mendengarnya. “Itu dari yang aku lihat. Kayak yang Mas Randu bilang tadi soal rasa suka Chef Andra ke Mbak Mahira, yah yang tahu Mbak Mahira udah beneran move on atau enggak yah cuma dia sendiri juga yang tahu.”

“Kalau nih yah,” Yogi malah makin bersemangat tampaknya, “kalau misal tuh dua orang sebenernya belum move on dari masa lalunya, berarti mereka deket kayak gini tujuannya buat apa dong?”

“Emang Mbak Mahira yang deketin Chef Andra? Chef Andra kali tuh yang sering deketin Mbak Mahira.” Citra begitu bersemangat membela Mahira. “Tujuan Chef Andra deketin adik dari mantannya apa coba kalau bukan niat terselubung? Kan mencurigakan banget! Orang awam pun pasti berpikiran yang sama kayak aku.”

“Kalau kata gue sih gelagatnya itu mirip pas lagi bucin ke si Zahra, Ran. Lo inget gak pas dia tiba-tiba mutusin resign dari Restoran? Terus tahunya buat nyusul si Mahira kan ke sini!” balas Randu pada Yogi.

“Wah? Serius? Jadi Chef Andra ngikutin Mbak Mahira nyampe sini?” Citra tak mau diabaikan dari obrolan seru ini.

“Iya! Dia langsung resign tiba-tiba pas tahu Mahira kerja di sini. Kalau bukan karena kekuatan koneksi orang dalam, mana mungkin si Andra bisa dengan mudah dapat informasi plus langsung keterima kerja di sini,” timpal Randu.

“Kalian sendiri tujuan kerja di sini buat apa?”

Randu dan Yogi saling bersitatap dan menyengir kuda.

“Nyari suasana baru lah, Cit. Emang mau apa lagi?” Randu beralasan.

“Plus nyari jodoh!” sambung Yogi sambil menyikut Randu.

“Sialan! Elo aja kali yang dateng ke sini nyari jodoh. Gue sih murni buat nyari suasana baru plus pengalaman.”

“Sok suci lo! Terus si Citra ngapain lo pacarin? Huh!”

“Itu namanya jodoh datang di saat yang tak terduga. Masa iya kan gue tolak? Daripada gue kelamaan ngejomblo kayak elo, kan? Mending gue terima jodoh yang ada di depan mata aja.”

“Maksud Mas Randu apa? Pacaran sama aku karena iseng gitu karena kebetulan ada di depan mata?” sela Citra di tengah percakapan sengit Yogi dan Randu.

Yogi buru-buru menjejalkan potongan roti dari salah satu piring sambil bangkit dari kursi. “Mampus! Gue gak ikutan yah. Gue pamit.” Dia buru-buru kabur sementara Randu harus kalang kabut diserang oleh Citra.

Sementara Randu dan Citra tampak bersitegang, suasana yang dialami Mahira dan Andra juga tak kalah tegangnya. Keduanya duduk berhadapan di dalam kapal, padahal Pak Supri sudah mengatakan kalau kapal berangkat masih lama. Tapi keduanya tak peduli.

“Kapan terakhir kamu dan Zahra ngobrol?” tanya Andra tapi Mahira hanya diam saja. “Kamu bisa mengajukan cuti dan bertemu keluargamu. Kenapa gak pernah ngelakuin itu? Sengaja gak ketemu keluarga?”

Andra terus berusaha mengajak Mahira bicara, namun perempuan itu tak sekali pun menjawab pertanyaannya. Bukannya jengkel, Andra malah semakin merasa khawatir melihat perempuan itu diam saja. Benar apa kata pepatah. Wanita yang mendadak diam lebih mengerikan ketimbang saat mereka sedang cerewet-cerewetnya. Apalagi sedari tadi Mahira hanya melemparkan pandangan ke arah lautan sambil memunggunginya.

“Kalian beneran mau diem di sini? Gak beli apa dulu atau ngapain gitu? Kapalnya masih lama nih. Gak takut mabok laut kalau diem di kapal kayak gini?” Pak Supri menginterupsi.

Mahira tak menggubris. Andra juga malah menggeleng. Ia tak mau mengusik Mahira atau memaksanya turun dari kapal ini jika memang ia tak ingin.

“Maaf kalau perkataanku tadi menyinggungmu, Mahira. Aku gak bermaksud buat nyudutin kamu. Aku cuma gak mau kamu masih terus mikirin masa lalu kamu aja. Aku tahu! Pasti rasanya sulit ngelupain si Galang, apalagi posisinya itu sebagai kakak ipar kamu. Tapi, gak etis rasanya kalau kamu masih nyimpen kenangan-kenangan soal dia. Aku gak maksa. Tapi itu saran dariku. Kamu harus coba hapus semua soal dia dari mulai hal sederhana yaitu ngebuang kenangan-kenangan yang ada sangkutpautnya sama dia. Kamu harus berproses untuk melepaskan dia dari kehidupan kamu karena masa lalu gak akan pergi dengan sendiri kalau kita sendiri malah merawat masa lalu itu tetap ada di kehidupan kita.”

“Kamu sendiri gimana?” Mahira menoleh pada Andra kali ini dengan tatapan menusuk. “Sudah berhasil melupakan Zahra? Udah bener-bener move on dari dia?”

Andra mengangguk meski hatinya berbisik lain. “Perlahan tapi pasti, aku akan melupakan dia. Itu sudah menjadi tujuanku setelah dia memutuskan untuk menikahi pria lain. Untuk apa mengharapkan seseorang yang sudah memilih orang lain? Buang-buang waktu dan tenaga. Masih banyak hal yang lebih menyenangkan ketimbang mengharapkan seseorang dari masa lalu untuk kembali pada kita.”

“Itu artinya kamu belum sepenuhnya bisa melupakan Zahra, kan?”

Andra mendesah napas berat. “Semuanya perlu proses, Hira. Dan aku menjalani proses untuk melupakannya meski memang belum sepenuhnya itu bisa aku lakukan. Tapi tidak seperti kamu yang masih terus mengungkung perasaan kamu sama si Galang itu. Kamu tak punya niat untuk melupakan dia, kan?”

Mahira kembali memalingkan wajahnya dari Andra. Ia merasa tertohok karena lagi-lagi Andra berhasil menyudutkannya. 

“Ambil satu langkah untuk melupakannya. Setelah itu kamu harus perlahan menghilangkan jejak-jejak dia dari kehidupanmu, Mahira.”

Dering suara ponsel terdengar. Mahira merogoh ponselnya dan mendapati nama Zahra ada di layar. Raut wajahnya semakin kusut dan Andra dapat menangkap ada gurat ketidaknyamanan di wajah perempuan itu ketika akhirnya menerima sambungan telepon tersebut. 

“Assalamu’alaikum, Kak Zahra.” ujar Mahira saat menerima sambungan telepon itu sambil melirik Andra yang tampak terkejut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro