Bab 88 Kamu Itu Pembawa Sial

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sesuai arahan Pak Satya, beberapa hari sebelum akhir pekan, Mahira sudah sibuk berkoordinasi dengan para karyawan. Antara senang dan tidak. Karena ia harus membujuk beberapa karyawan untuk tetap tinggal di pulau, sementara yang lainnya liburan ke Pulau Palapalove lagi setelah sekian minggu berlalu.

Di hari pemberangkatan tiba, semua orang sudah berkumpul di dermaga. Sayangnya, mereka harus menelan kekecewaan ketika Pak Supri mengabarkan kalau mesin kapalnya sedang butuh perbaikan.

“Terus nasib kita gimana dong?” keluh seorang karyawan.

“Kita butuh liburan nih! Masa gak jadi sih? Hampir pecah nih kepala gara-gara kerja terus tanpa healing!”

Semua orang sibuk berkeluh kesah. Perjalanan liburan setelah berminggu-minggu berlalu terancam batal terlaksana. Bayangan betapa menyenangkannya bisa menikmati kembali suasana menyenangkan di Pulau Palapalove seketika lenyap. Bayangan pekerjaan yang menumpuk, pemandangan yang hanya itu lagi dan itu lagi terasa begitu menjengkelkan. Untuk kembali bekerja rasanya begitu berat.

“Naik kapalku saja.”

Suara itu berhasil menghentikan kegaduhan yang terjadi. Semua mata kini hanya menatap pada Andra yang tengah mengacungkan jari telunjuknya ke udara begitu tinggi. Lengkap dengan senyum mengembangnya.

“Pakai kapalku saja! Bagaimana?” ulang Andra.

Andra menunjuk sebuah kapal berukuran hampir sama persis seperti kapal yang biasa dikendarai Pak Supri, terombang-ambing tak jauh dari bibir pantai. 

“Emang boleh yah, Chef?” tanya seseorang yang tampak khawatir. “Soalnya kan … itu kapal pribadi milik Chef Andra. Apa gak masalah kalau dipake sama karyawan buat acara liburan ke Pulau Palapalove?”

“Gak masalah.” Andra enteng menjawab.

“Mesti bayar gak, Chef? Soalnya kan … kalau kapal milik pulau, kita gak perlu bayar segala. Tinggal nikmatin perjalanan aja. Kalau pakenya kapal pribadi punya Chef, itu artinya kita mesti bayar dong?” tanya karyawan lainnya.

Andra menatap para karyawan yang sudah menjadikannya pusat perhatian sejak tadi. “Tak perlu.” Suara lantangnya terdengar tegas. “Kalian tak perlu bayar kok alias gratis!”

Para karyawan bersorak heboh tentu saja mendengar penuturan Andra. Perlahan merangsek memasuki kapal, saling berebut posisi dengan wajah berbinar.

Mahira menjawil lengan baju Andra erat tepat ketika lelaki itu hendak melangkah menyusul. “Siapa yang jadi nakhodanya?” tanyanya dengan mata memicing. “Bukan kamu, kan?” sengitnya.

“Emang kenapa kalau aku? Itu kan kapalku!”

“Minta Pak Supri aja yang jadi nakhodanya! Jangan kamu! Aku gak mau kapal ini juga sampai tenggelam gara-gara nakhodanya amatir!” kata Mahira memperingatkan. “Pak Supri!!!” teriaknya lantang. 

Andra tak banyak protes. Ia senyum-senyum aja waktu Mahira setengah menyeretnya menuju kapal setelah memberikan perintah pada Pak Supri untuk menjadi nakhoda. 

“Daripada bajunya doang, kenapa gak tangan orangnya langsung?” goda Andra.

Andra menengadahkan telapak tangannya tepat ke depan Mahira yang seketika termangu. Baru tersadar beberapa saat kemudian kalau tangannya memang sejak tadi menarik baju Andra. Spontan Mahira melepaskan tangannya.

“Lah? Kok dilepasin?” protes Andra. Wajahnya spontan kusut dengan bibir mengerucut tajam. 

Mahira sendiri lebih memilih buru-buru menjauh dari Andra, menelan rasa malu akibat tindakannya barusan. Wajahnya terasa panas membara.

“Dia gak akan mikir aneh-aneh, kan? Tadi itu beneran gak sengaja! Aaarrrggghhh! Gimana dong? Duh! Malu banget!” gumam Mahira dalam hati.

Wajah kusut Andra kembali semringah melihat Mahira tampak melangkah terburu-buru menuju kapal. Lelaki itu juga sempat melihat Mahira seperti mau terjatuh, tapi setelah itu Mahira berjalan kembali menuju kapal.

“Kenapa dia?” tanyanya sambil menahan tawa. “Hira! Tunggu!”

Lari Mahira malah semakin cepat.

***

Palapalove tak berubah sejak beberapa minggu terakhir tak pernah dikunjungi. Sepanjang bibir dermaga, kapal-kapal berlabuh membentuk barisan rapi, terombang-ambing beraturan. 

Tak jauh dari tempat Mahira berdiri sekarang, orang-orang tampak berkerumun menghampiri tumpukan ikan beragam jenisnya yang teronggok di salah satu sudut pasar. Beberapa orang mengangkat ujung jarinya secara bergantian setelah lelaki bertopi merah memulai kegiatan pelelangan salah satu jenis ikan, menyebutkan berapa nominal rupiah yang hendak mereka tukar dengan ikan yang sedang dilelang. 

“Mau ikut lelang juga?”

Mahira langsung memegangi dadanya, menoleh pada Andra yang baru saja berbisik nyaring tepat diujung telinganya. “Kaget! Bisa gak sih negur dulu atau apa gitu? Jangan langsung ngagetin orang kayak gitu dong!”

Bukannya menjawab, Andra malah mengacungkan sebuah kunci ke muka Mahira. “Mau aku culik gak?”

Kening Mahira bertaut keras. “Apaan sih? Mau nyulik kok bilang-bilang. Aneh!”

“Ayo ikut! Mau jalan-jalan dulu gak kayak waktu itu?”

“Nyampe nginep?”

“Enggaklah! Cuma motor-motoran doang.”

Tawaran Andra memang menggiurkan, apalagi Mahira juga pernah melakukannya dulu dengan lelaki itu. Menikmati liburan dengan cara yang berbeda. Bukan hanya sekedar nongkrong di kafe, belanja di pasar, atau sekedar mondar-mandir dekat dermaga. Tapi, Mahira malah menggelengkan kepala setelah berpikir sejenak.

“Enggak deh,” tolak perempuan itu. “Aku gak mau diculik secara sukarela sama kamu. Masih mending kemarin itu bisa pulang dengan selamat dan dengan nyawa utuh. Gak tahu deh kalau sekarang!”

“Ya ampun, Ra. Mana mungkin aku hilangin nyawa orang yang aku suka. Aneh-aneh aja sih kamu!”

Perasaan Mahira tergelitik mendengarnya. Ia hendak memberikan tanggapan, tapi ketika menoleh ke arah Andra, lelaki itu malah sudah melengos pergi. Mahira nyaris tak bisa berkata apa-apa.

“Dia serius ngajakin pergi gak sih sebenernya?” dumelnya malah dongkol sendiri. 

Padahal tadi saat Andra sudah mengajaknya, Mahira menolak. Tapi ketika Andra sudah berjalan pergi, Mahira malah berharap Andra balik kanan. Ya Tuhan!!! Sepertinya hati Mahira sedang tidak baik-baik saja.

Demi mengesampingkan perasaan dongkol alias kecewa itu, Mahira memilih pergi dari tempat itu juga. Mencari tempat lain yang bisa ia kunjungi selama waktu liburan hari ini. Ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk menghibur dirinya.

Tapi, baru beberapa langkah menjauh dari tempat pelelangan ikan, Andra tiba-tiba muncul di depannya lengkap dengan sebuah motor. Menyodorkan pada Mahira sebuah helm, persis seperti kejadian waktu itu.

“Ayo naik!”

Mahira menggeleng. Mengabaikan helm yang ada di depannya. 

“Udah … buruan naik. Aku gak bakal culik kamu!” Andra bersikeras.

Mahira celingukan sebentar. “Ada motor lain yang bisa disewa dulu gak? Aku nyetir sendiri aja deh.”

Mahira serius dengan perkataannya. Ia memang ketagihan menikmati liburan dengan menaiki motor seperti yang pernah dilakukannya dengan Andra dulu. Tapi untuk kali ini, ia memilih mengendarai motornya sendiri. Tak mau ia kalau sampai diculik lagi oleh Andra!

“Keren juga kamu bisa pake motor gitu, Ra!” teriak Andra yang mampu menyejajarkan kecepatan dengan Mahira yang tengah mengendarai motor trail. 

Perempuan berhijab itu juga sebelumnya langsung membeli jaket tebal, benar-benar mempersiapkan perjalanan dengan motor ini dengan matang. Andra lega karena tawarannya soal liburan dengan menaiki motor rupanya memang menarik bagi Mahira. Dengan melihat perempuan itu tampak begitu mempesona mengemudikan motornya dari arah belakang, Andra tak bisa berhenti untuk menyemai senyum.

“Bener-bener perempuan langka! Jangan sampai lepas pokoknya!” gumam Andra dengan hati senang. “Wooohhh!!!”

Andra berteriak lantang, menyuarakan rasa lega dan kebahagiaan yang semakin bertumpuk. Sesekali menoleh pada Mahira yang ternyata berusaha menyamakan kecepatan dengannya.

“Kita berhenti dulu kalau ada restoran! Makan dulu!” teriak Andra lantang pada Mahira yang langsung mengangguk. 

Secepat kilat perempuan itu mempercepat laju motor. Andra yang tak mau kalah tentu saja langsung menyusul.

Selang satu jam kemudian, dua motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah kedai kecil. Dari luar tampilannya tampak kumuh, belum lagi tak ada kendaraan lain selain mereka yang berhenti di sana. Tapi itulah satu-satunya tempat makan yang akhirnya mereka temui setelah melakukan perjalanan cukup panjang.

“Kalau dari si google map sih … ini juga tempat makan.” Andra menatap ponselnya sebentar, lalu kedai kecil yang berada di depannya kemudian. 

Dua daun pintu kayu itu hanya terbuka salah satu saja. Ada sebuah papan kayu kecil teronggok tak jauh di depannya berisi deretan menu makanan dan minuman. Tulisannya berwarna putih. Ada beberapa huruf yang sudah tak lagi jelas terbaca juga.

“Tapi, kayaknya emang ini beneran tempat makan sih.” Andra cukup yakin setelah melihat papan menu itu lebih teliti. “Mau masuk dulu gak?”

Mahira masih bergeming dengan wajah kusut. “Kenapa sih kalau jalan sama kamu tuh, kita pasti aja ketemu hal atau ngalamin kejadian aneh? Kamu pembawa sial nih kayaknya, Dra! Kamu yakin ini tempat makannya aman?” Mahira beringsut mendekat. “Gimana kalau ini restoran berhantu?” bisiknya pelan. Takut-takut. 

Tepat ketika itu muncul sosok wanita berpakaian kebaya lengkap dengan sanggul dari balik pintu. Menatap Andra dan Mahira dingin. Keduanya spontan saling mendekat dan saling berpegangan tangan secara spontan.

“Selamat datang di Resto Sawangsa Ayu.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro