Bab 93 Kepergian Andra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah surat pengunduran diri berada di tangan Mahira yang sejak beberapa menit lalu ditatapnya lekat. Nama Andra tertera jelas di salah satu bagian, menggunakan huruf kapital dengan cetakan tebal. 

“Dia resign?” Mahira bertanya-tanya dalam hati, tapi tak berani mengungkapkannya pada Andra yang sejak tadi duduk di depannya.

“Kalau ada yang mau ditanyain, tanyain aja, Ra,” kata Andra tenang. 

Raut wajah lelaki sedikit tak acuh jika dipandangan Mahira. Entah ini hanya perasaannya saja?

“Gak ada. Surat pengunduran diri kamu, aku terima.” Mahira menjawab tegas dan lugas.

Andra menatap Mahira sinis. “Kamu gak penasaran kenapa aku resign?”

“Ini ada sangkut pautnya sama tawaran dari salah satu stasiun televisi itu, kan?” terka Mahira yang kini sibuk membubuhkan cap di surat pengunduran diri Andra. “Itu kan alasannya?”

Bibir Andra mengerucut tajam. “Selain itu? Menurut kamu ada alasan lain?”

“Entahlah. Aku gak tahu. Yang tahu alasan kamu resign kan hanya kamu sendiri, Dra.”

Andra tiba-tiba mendekatkan diri hingga tubuhnya sedikit condong ke arah Mahira. Perempuan itu tercekat bukan main, tapi tak memiliki banyak waktu untuk menghindar atau menarik mundur tubuhnya. Matanya terlanjur terkunci menatap Andra yang membuatnya tak bisa bergerak sedikit pun. Kaku.

“Aku mau ninggalin kamu dan buat kamu rindu. Itu alasannya!” Dengan tegas Andra mengatakannya.

Satu ujung bibir Mahira perlahan terangkat. “Oh? Buat aku rindu karena ditinggalin sama kamu? Jangan harap!” balas Mahira tak kalah tegas juga. Mana mau ia mengaku kalah?

Andra menggebrak meja cukup keras. Wajahnya juga tampak menegang lengkap dengan sorot mata sinis. “Oke! Kita lihat saja nanti! Kalau kamu sampai merindukanku, siap-siap saja untuk jatuh cinta padaku melebihi aku cinta sama kamu!”

Mahira tak mengalami cukup banyak masalah akibat kepergian Andra. Terlebih yang pergi memang hanya dia seorang diri saja. Randu dipilih menjadi kepala koki di Restoran menggantikannya. Bukan atas usulan Mahira, rupanya itu memang sudah direncanakan oleh Andra sebelum kepergiannya.

Mahira menyempatkan diri melepas kepergian Andra. Bukan karena ingin melarangnya pergi, tapi sebagai rasa hormat padanya yang sempat menjadi bagian dari pulau ini. Sama halnya seperti yang lain juga, di mana mereka juga ikut menyempatkan diri melepas kepergian Andra. 

“Chef, jangan lupain kita!”

“Kapan-kapan Chef harus mengunjungi kami!”

“Kami pasti akan melihat Chef tampil di televisi nanti! Agar rating acaranya Chef tinggi!”

Ucapan-ucapan perpisahan terlontar dari mereka yang menyempatkan diri menyalami Andra sebagai bentuk tanda perpisahan. Tak terkecuali Mahira yang menjadi orang terakhir yang menyalaminya.

“Pergilah!”

Ucapan Mahira itu sontak membuat para karyawan yang lain terperangah hingga mata mereka semua membola sempurna.

“Jangan ke sini lagi kalau bisa.” Mahira masih bersikap sinis juga, tak peduli akan protes yang mulai dilayangkan para karyawan lain padanya.

“Jangan gitu dong, Bu! Kasihan Chef Andra. Udah ditolak mulu cintanya, sekarang malah diusir.”

“Bener, Bu. Kasih Chef Andra hadiah perpisahan yang menyenangkan gitu. Misal … pelukan?”

Gelak tawa pecah. Para karyawan tampak begitu senang menggodai Mahira dan juga Andra yang malah menganggukkan kepala seolah sepakat dengan usulan mereka. Tapi tidak dengan Mahira yang langsung berbalik arah hendak melangkah pergi.

Tepat saat itu, tangan Andra cepat-cepat meraih tangan Mahira. Menariknya erat hingga hampir membuat wanita itu terjerembab ke dalam pelukan Andra yang kontan saja menimbulkan kegaduhan. Orang-orang bersorak heboh karenanya. Mahira sendiri buru-buru menjauhkan diri.

“Apaan sih?” protes Mahira yang langsung menepis tangan Andra dengan kasar. “Pergi aja sana!”

Andra malah tersenyum menanggapinya. “Kalau kangen, tonton aku aja nanti di televisi. Oke?”

“Bodo amat!” balasnya tak acuh.

“Gak mau berterima kasih dulu atau apa gitu?”

“Buat apa? Karena kamu sering gangguin aku? Bikin aku hampir mati gara-gara fans fanatik kamu itu? Atau gara-gara kamu yang bikin aku tenggelam?”

“Ya ampun, Hira. Apa gak ada hal baik yang pernah aku lakuin sampe kamu susah banget bilang terima kasih? Misal, terima kasih karena telah mencintaiku tanpa pamrih, terima kasih karena sudah pergi tanpa meninggalkan masalah apapun, atau apa kek gitu. Kayak barusan contohnya!”

“Ya. Ya. Ya. Terima kasih.” Terpaksa Mahira mengiyakan keinginan Andra.

Andra mendengkus jengkel. Para karyawan tertawa terbahak sebelum kemudian perlahan meninggalkan dermaga. Mereka sudah cukup sering melihat dua orang itu saling cekcok dan debat. Di mana yang satu sedang dimabuk cinta, sementara yang satunya lagi dimabuk rasa benci. 

“Aku sengaja gak ajak Randu sama Yogi pergi. Karena aku tak mau kepergianku malah bikin kamu repot,” ucap Andra.

“Baguslah!”

“Sesekali aku usahakan berkunjung biar kamu gak perlu malu mengatakan rindu.”

“Gak perlu!”

“Kalau kangen, telepon aku aja diem-diem. Atau kita bisa janjian ketemuan gitu?”

“Udahlah! Sana pergi! Sana!”

Saking jengkelnya karena Andra terus mengoceh, Mahira sampai mendorong tubuh Andra untuk masuk ke dalam kapal. Kapal pribadinya tentu saja di mana yang jadi nakhodanya itu ternyata adalah salah satu bawahan keluarga Andra. 

“Jangan lupain aku, Hira!” teriak Andra lagi ketika kapal mulai melaju yang dibalas Mahira dengan lambaian tangan tak acuh.

Meski Mahira sudah balik badan, suara Andra masih mampu ia dengar. Berteriak lantang mengatakan hal yang sering Mahira dengar selama ini.

“Aku cinta sama kamu!”

“Aku suka kamu, Hira!”

“Aku akan menikahimu!”

Mahira tersenyum lega mendengarnya. Tapi ketika suara itu tak lagi terdengar, senyumannya berhenti terurai di wajahnya. Ketika Mahira menoleh ke arah belakang, kapal itu rupanya sudah berlayar menjauh. 

Selang beberapa hari setelahnya Mahira mulai merasakan ada perbedaan yang terjadi setelah kepergian Andra. Mulanya biasa saja, malah Mahira merasa senang karena tak ada lagi yang mengusiknya saat bekerja. Tapi beberapa hari kemudian, Mahira merasa tak begitu bersemangat melalui hari-harinya. Seperti ada kesepian yang tiba-tiba menyeruak. Tawa yang terdengar di sekitarnya terasa asing dan mengganjal. Mahira tak tahu alasan macam apa yang ia punya agar bisa menyemai tawa seperti yang lain. Seolah alasan untuk ia merasa bahagia itu tidak ada.

“Aku kenapa sih jadi kayak gini? Masa sih gara-gara dia?” Sering Mahira bertanya-tanya demikian. Mengerucut pada sosok yang tak lagi ada di hadapannya.

Waktu berlalu begitu lambat. Masih terhitung satu minggu lamanya sejak kepergian Andra. Para pengunjung di tempat ini masih belum mengalami kenaikan. Belum ada yang berubah sejak kepergiannya. Padahal Mahira yakin sudah banyak hal yang ia lakukan demi menarik minat pengunjung lagi, termasuk promosi besar-besaran di berbagai media sosial. Tapi, tetap saja tak ada yang berubah. 

Mahira frustrasi sendiri. Nyaris tak bisa tersenyum meski sudah menghabiskan waktu seharian untuk berpikir dan bekerja. Sampai ia sering lupa jadwal makan pagi, siang, dan sorenya. Padahal biasanya Andra rutin mengingatkan sambil membawa semangkuk dua mangkuk makanan untuk ia santap. 

Makanannya enak sekali.

“Sadar, Mahira! Sadar!” Mahira memukul dua sisi kepalanya dengan frustrasi. “Andra gak ada di sini!”

Mahira termangu kaget. Membekap mulutnya sendiri yang baru menggumamkan hal aneh. Mengucapkan nama Andra antara sadar dan tidak sadar. Ya Tuhan!

“Tunggu! Kenapa aku jadi tiba-tiba inget dia? Jangan-jangan … aku kangen sama dia?”

Berulang kali Mahira menggeleng, menampik pikiran itu jauh-jauh. Ia sampai meremas kepalanya karena pikiran tersebut tak kunjung pergi. Kesal sekali rasanya sampai Mahira memukul meja kerjanya sendiri dengan kasar.

“Bu Mahira baik-baik saja?”

Suara itu berhasil mengalihkan perhatian Mahira. Ada sosok Rangga tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu, tampak memamdangnya dengan kening mengerut.

“Boleh saya masuk?” tanya lelaki itu kemudian. 

Mahira mengangguk spontan. “Silakan, Pak Rangga. Ada yang bisa saya bantu?”

Rangga perlahan berjalan mendekat. Ragu-ragu duduk di kursi. “Bu Mahira sudah makan malam? Saya lihat dari tadi Bu Mahira di sini terus. Mau makan malam bareng di restoran?”

Mahira berpikir cukup lama atas ajakan Rangga barusan. 

“Emang Pak Rangga tahu dari mana kalau saya di sini terus? Pak Rangga,” Mahira menjeda kalimatnya, “nguntit saya?” terkanya penuh curiga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro