20. KEMBALI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa bulan, rumah Derren kosong. Mbok Nah juga pamit pulang kampung. Entah, tak ada yang beres-beres rumah pasti kotor sekali. Berulangkali pula Zee menatap rumah Derren dari balkon kamarnya. Sepi dan sunyi, seperti hatinya setelah ditinggalkan. 

Menelepon Derren tidak pernah lagi dilakukan sejak pesannya dibalas oleh seseorang, entah siapa. Seseorang itu mengetik kalimat yang membuatnya mundur dengan paksa. 

Kesibukan belajar dan mengambil bimbel lebih dari satu berhasil membuat Zee sibuk. Cukup berhasil pula untuk berhenti berpikir tentang hal lain. Dia ingin kejar beasiswa ke luar negeri. Zarra tentu saja mendukung, meskipun sementara waktu akan berjauhan lagi. 

Dan hari ini orang itu hadir lagi. Derren datang lagi, suaranya  masih lembut seperti dulu. Satu panggilan namanya, begitu menggetarkan sekaligus menyakitkan. Perasaan yang dia rasakan campur aduk dan satu rasa yang lebih dominan. Zee merindukan pemilik suara itu. 

Ponsel yang langsung ditaruh begitu saja di atas meja, masih tersambung. Tiba-tiba air mata  menggenang dan menetes satu persatu. Tak lama makin menderas dan Zee pun terisak. 

"Gusti! Mbak Zee kenapa? Sakit? Kumaha iyeu*, aduh. Mbak, teh Lilis telepon Ibu, ya?" 

"Ja-jangan, Teh! Mama nanti khawatir, hari ini Mama ada klien penting." Dengan sedikit terbata, Zee berhasil mencegah Lilis memberitahu mamanya. 

"Tapi bener, Mbak Zee nggak apa-apa?" 

Zee segera menghapus airmata dan berusaha tersenyum. "Zee nggak apa-apa, Teh. Tolong jangan bilang Mama. Please!" 

"Iya iya. Mbak istirahat aja, ya!" 

Zee masuk ke kamar lalu mengunci pintunya. Dia sama sekali tidak tahu kalau ponselnya masih hidup dan terhubung dengan orang di seberang sana. 

"Kenapa harus datang lagi, Kak. Kak Derren yang mau aku mundur. Kakk Derren yang mau aku anggap semuanya nggak pernah terjadi." 

Apa yang Derren rasakan? Hatinya hancur mendengar suara Zee yang bergetar. Di kota kelahirannya, Gresik, Jawa Timur, Derren baru saja selesai melewati proses pemakaman sang ayah. 

"Maafin saya, Zee. Sudah bikin kamu sakit hati sedalam ini." Derren menutup teleponnya lebih dulu. 

Di kamarnya, Zee tertidur sambil memeluk boneka kesayangannya. Menjelang sore, begitu sampai rumah Zarra langsung menuju kamar putrinya. Ada rasa khawatir karena pesannya tak dibaca dari dua jam yang lalu. 

***

"Kak Derren hubungin lo? Tiba-tiba begini? Terus dia ngomong apa?" Meta penasaran dan langsung menarik Zee ke kantin. Setelah ujian akhir selesai kegiatan kelas XII lebih banyak bebas dan hanya mengisi presensi. 

Zee hanya mengangkat bahu. Waktu itu dia menangis karena kesal dan kangen jadi satu. Ternyata amarahnya lebih besar. 

"Gue marah dan masih belum bisa percaya, Ta. Lo tahu gimana kata-kata perempuan itu, kan. Ya, kali gue langsung tertawa seneng dan yakin kalo Kak Derren hubungi gue, karena mau balik."

Meta tahu persis, hari itu adalah hari yang mengkhawatirkan. Dia rasa wajar kalau Zee marah, tetapi dia juga tahu kalau sahabatnya sangat mencintai Derren. Sekacau ini fakta yang sudah terjadi. 

"Lo, pikir baik-baik dulu, aja. Toh, lo juga belum tahu masalah apa yang menimpa Kak Derren, kan. Dengerin penjelasannya, baru putusin lo mau apa." 

Zee mengangguk. Meta lebih dewasa dari yang usianya. Kata-kata yang keluar sudah semacam motivator di televisi. 

"Gue akan lakuin saran lo. Makasih, Ta." 

Kelas XII diperbolehkan pulang lebih dulu. Sedangkan adik kelas masih ada remidial bagi siswa yang belum tuntas nilainya. Zee menuju motornya, sudah lama tidak dipakai motor kesayangannya ini harus menginap di bengkel lebih dulu sebelum dipakai hari ini. 

"Zee, bawa motor hari ini?" Jovan menghampiri. 

"Iya, lagi pengen. Sayang, kalo nggak dipake. Kenapa?" 

"Enggak. Pengen pulang bareng aja, sambil ngobrol soal beasiswa ke luar negeri. Gue denger lo juga daftar." 

Zee berpikir sejenak. "Van, sorry banget, hari ini gue sudah ada janji. Nanti gue hubungi lo." 

"Ok. Hati-hati, lo!" 

"Siip!" 

Jovan menghela napas dalam. Dia tidak berniat ingin mengikuti Zee. Hal itu akan sangat mengganggu privasinya. Untuk sekarang dia hanya mengikut hal positif yang mantannya lakukan. Tidak harus negara yang sama untuk pergi, meski tak bisa dipungkiri dia sangat bisa lakukan itu. Tetapi tidak dilakukannya. 

Di tengah perjalanan Zee kesal ponselnya bergetar terus. Biasanya dia akan angkat atau balas chat setelah sampai di rumah. Terpaksa dia berhenti di sebuah taman bermain. Ada tempat duduk yang cukup nyaman, suasananya juga tidak terlalu berisik. 

Zee melihat riwayat panggilan dan menemukan nomor tak dikenal. 

"Ini nomor yang dipake Kak Derren." Zee masih ingat empat nomor di belakang. Keraguan hadir, sehingga Zee menunda niatnya untuk menghubungi lebih dulu. 

Dua menit berlalu, tanpa permisi perkataan Meta kembali terngiang. Dan dia sudah janji untuk melakukan sarannya. Sekarang nada dering terdengar, tak butuh waktu lama, dua kali dering orang di seberang mengangkat. 

"Halo." 

"Kamu lagi? Aku sudah bilang jangan hubungi calon suamiku. Kamu dengar?" 

Sebelum sesal dan tangisnya turun, Zee hendak memutus pembicaraan. Tetapi niatnya terhenti saat suara orang yang dirindukan terdengar. 

"Aku sudah bilang jangan sentuh ponselku. Dan kamu harus ingat, kita nggak ada hubungan apa pun. Bapak sudah meninggal, jadi aku anggap perjodohan konyol ini cuma permainan." 

"Mas, nggak bisa gitu. Nggak boleh batal." Suara perempuan di sana masih merengek, tapi perlahan memelan dan hilang. 

Sekarang hanya suara napas terengah dan terbata memanggil namanya. 

"Zee, masih di situ, kan? Bisa jawab saya, Zee? Saya mohon!" 

"Zee masih dengerin, Kak. Kak Derren utang penjelasan. Zee nggak mau dibohongi lagi." 

Derren terdengar bernapas lega. Ini saatnya meluruskan semua hal yang hilang arah. 

Bersambung

Siapa yang dukung mereka balikan? Komen di sini, yuk.

Thank you for reading. See you on the next chapter.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro