11. No Clue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Awkward.

Awalnya aku dan Friska sama-sama berperan seolah tuan rumah di unit apartemen Jorey. Bersama-sama kami mengambil cangkir dan bergegas ke pantry. Kalau aku mengisi cangkir dengan air panas lebih dulu, Friska justru mengisi cangkir dengan teh. Fakta bahwa Friska cukup mengenal tempat ini, hingga tahu di mana tempat penyimpanan cangkir dan teh, membuat kepercayaan diriku mendadak luruh.

Aku jadi sadar, mungkin sekarang akulah yang tamu di sini.

Maka sambil berjalan gontai, aku menikmati teh untuk diriku sendiri.

Seolah sedang bercermin, aku menemukan Friska sama kikuknya denganku. Pun, dia akhirnya menikmati teh untuk dirinya sendiri. Jorey sendiri memilih untuk berbaring di sofa panjang. Menutup matanya sambil meletakkan punggung tangan di atas kening. Meski matanya memejam, aku bisa melihat banyak kerutan memenuhi keningnya. Bukan tidur, dia hanya menghindar dari persidangan dua perempuan sekaligus seperti ini.

Inginku mencibir, 'Suruh siapa mainin perasaan dua perempuan sekaligus?'

"Kayaknya kamu harus pikirin lagi keputusanmu, Jo. Seperti yang selalu aku bilang ... kamu harus pertahanin Alitha. Dia bisa merawatmu dengan baik."

Usul Friska segera mendapat picingan tajam dari mata Jorey.

Oh, apa sekarang Friska sedang berperan sebagai wanita lemah, dan Jorey akan membelanya?

Apa sih yang sedang kupikirkan saat memutuskan masuk ke dalam tempat ini? Jelas-jelas ini adalah neraka. Tidak seharusnya aku membakar diriku sendiri sampai menjadi abu di tempat ini. Aku seharunya enyah secepat mungkin.

Tapi tunggu, kalau aku melarikan diri sekarang, Jorey akan muncul dengan semena-mena dan menghancurkan hubunganku dengan pria lain lagi. Jadi, kenapa tidak kusaksikan saja dia membela Friska dan setelah ini aku benar-benar bebas darinya.

Maka kutabahkan hatiku. Kuhela napas sewajar mungkin, meski rasanya leherku tercekik.

"Aku ingin dengar pendapatmu, Jo," tantangku. "Apa kamu merasa aku bisa merawatmu? Apa kamu merasa lebih baik mempertahankan aku?"

Picingan mata Jorey melemah, tapi dia tidak berani menatapku. Alih-alih, dia memandangi foto pernikahan kami yang masih terpajang di dinding. Cukup lama. Sampai kemudian, dia menunduk sedih, dan menggeleng.

"JO!!!"

Bukan aku, tapi Friska yang histeris.

"KA, JANGAN CARI GARA-GARA!!!" Jorey balas histeris.

Aku bergeming. Meraba-raba perasaanku.

AKU BARU SAJA DITOLAK. Lebih lagi ... DI DEPAN FRISKA.

Oh Tuhan, aku benar-benar sukses mempermalukan diriku sendiri. Selain malu, marah, kecewa, aku merasa sakit. Jantungku seperti baru saja digiling dan dihancurkan hingga tak berbentuk. Hingga satu-satunya yang terpikirkan olehku saat itu adalah menertawakan diriku sendiri.

Awalnya hanya dengan sebuah tawa kecil. Sampai kemudian menjadi membahana. Sudut mataku sampai basah. Semoga kedua orang yang sedang menyaksikan tawaku mengira itu tawa bahagia.

Di antara semua kepedihan yang tidak bisa kukendalikan serangannya, otakku kupaksa untuk bekerja keras menyelamatkan harga diriku. Tidak salah mereka kerap mengataiku cerdas, karena aku berhasil berimprovisasi dan berakting dengan baik setelahnya.

"Welldone, Jo," ujarku di akhir tawa. "Setelah pengakuan kamu hari ini, kuharap kamu siap untuk menunggu kabar baik dariku dan Caleb."

"Lith!!!" Friska menggeram marah.

"Oh ya, kamu juga bakal kukenalin sama dia suatu hari nanti. Brondong sih, tapi dia jauh lebih dewasa daripada kelihatannya. Paling enggak, dia tahu cara membedakan kerja otak dan otot!" kalimat terakhir sengaja kuucapkan sembari melirik sinis ke arah Jorey.

Setelah meyakinkan diri bahwa Jorey mencerna dengan baik kalimat yang kuucapkan, aku segera berdiri dan memungut barang-barangku. Friska berusaha menahan sambil membujuk. Tapi aku tidak cukup mampu untuk mencerna ucapannya.

Yang kuketahui hanyalah aku sudah berada di luar unit apartemen Jorey dengan membanting pintu tepat di depan hidung Friska, meninggalkan Jorey yang mengamuk seperti anjing gila. Segala macam nama binatang keluar dari mulutnya dan tangan kekar itu tak berhenti membanting setiap barang yang mampu diraihnya.

"ANJING...!!!" diiringi suara pecahan kaca, suara Jorey bahkan terdengar hingga keluar ruangan.

Samar, tapi mampu membuat langkahku mulai goyah. Alih-alih menjauh, aku merapatkan tubuh ke pintu. Bersandar sambil menempelkan telinga pada permukaan pintu.

"Jo, you hurt yourself!" Friska terdengar Frustasi. Tanganku refleks bergerak ke gagang pintu. Tak sabar ingin mengingatkan Jorey tentang kondisinya. Dia masih terluka. Dia tidak boleh bergerak seliar itu kalau masih ingin selamat.

Namun tanganku hanya berhenti di udara. Urung menerobos masuk karena ingat baru saja ditolak di depan wanita yang dipilihnya. Kuberi waktu pada diriku untuk memastikan Friska bisa menenangkannya. Tapi kalimat-kalimat yang kudengar justru membuatku semakin bingung.

Sebenarnya ... hubungan seperti apa yang sedang membelit kami?

Bagaimana bisa Jorey begitu terang-terangan menunjukkan kecemburuannya di depan Friska?

"Did you hear that? APA KAMU DENGAR DIA BILANG SOAL BRONDONG SIALAN ITU??? SHE CAN'T DO THAT, KA!!! NOT IN A MILLION WAY!!!"

"SO WHY DON'T YOU JUST STOP HER!!!"

Pada akhirnya, aku bergeming memandangi pintu. Untuk mencerna keadaan pun aku tak kuasa lagi.

**

"We're talking about Jorey, Lit. Kamu nggak mungkin ngarepin dia bilang cinta kan?"

"Absolutely! Karena kalau dia pinter ngomong cinta, kamu nggak harus hamil dulu baru dinikahin!"

"Dan, kalau beneran cinta, harusnya nggak dicerain juga!"

"Untung kualitas spermanya bagus. Hasil produksinya bisa kayak Bila! Kalau bukan karena Bila, beneran sampai mampus tuh anak kita habisi. Ya nggak, Ben?"

Aku tahu bertanya pada Ben dan Fuad hanya akan membuatku mendengar ocehan sampah seperti ini. Bukannya membantu merapikan benang kusut yang membelit otakku, kedua dokter spesialis bedah saraf ini justru membuat serabut neuronku kian berantakan.

Tidak hanya mengata-ngatai Jorey, mereka juga bernostalgia tentang hari pembalasan dendam yang akhirnya tiba saat aku bercerai dengan mantan suamiku itu.

Kalau biasanya orang-orang backstreet karena halangan restu orangtua, aku justru backtreet karena tahu kedua sahabatku ini pasti menentang hubunganku dengan Jorey. Beruntung waktu itu mereka masih sibuk dengan pendidikan dokter spesialis, aku jadi bisa leluasa berhubungan dengan Jorey. Sampai ketika aku hamil ... aku tidak bisa mangkir lagi. Aku harus mengaku siapa ayah dari si jabang bayi.

Keduanya marah besar, tapi tidak ada yang menunjukkannya dengan terang-terangan karena aku membawa Jorey serta di hari pengakuan itu. Aku juga mengatakan kalau kami siap untuk menikah secepatnya.

Yang aku ingat, Ben dan Fuad menjadi lebih pendiam. Mereka tidak menentang, tapi juga tidak memberi restu. Hubungan kami baik-baik saja tanpa Jorey, tapi selalu menjadi berantakan kalau ada Jorey. Untuk itu aku selalu berusaha untuk memisahkan waktu antara Jorey dengan kedua sahabatku ini. Sampai tahun ketiga pernikahan, usahaku cukup berhasil. Namun di pertengahan tahun ke-empat, aku tidak bisa mencegah Ben dan Fuad mengobrak-abrik apartemen Jorey dan memukulinya habis-habisan.

Bukan tanpa alasan. Tapi karena Jorey memutuskan untuk menceraikan aku.

Anehnya, semua kekuatan Jorey seakan hilang saat itu. Alih-alih membela diri, dia menyerahkan dirinya untuk dihabisi oleh kedua sahabatku.

Dan aku ... mengambil peran sebagai pahlawan kesiangan.

Aku memohon pada Ben dan Fuad untuk berhenti, dan memanggilkan ambulans untuk Jorey. Meski dia menyakitiku, aku tidak tega melihatnya terluka.

"Stop ngebahas Jorey. Gimana kalau kita bahas soal brondong yang kamu sebut-sebut itu, Lit. Siapa dia?" tanya Ben sambil mengambil posisi di sampingku. Kalau sedari tadi dia sibuk bernostalgia sambil memutar-mutar sepeda lipatnya di hamparan jalanan panjang Gelora Bung Karno, sekarang dia memilih duduk di tepi pembatas jalan, tepat di sampingku.

Hari minggu memang sudah menjadi rutinitas Fuad dan Ben untuk berolahraga di sini. Biasanya aku tidak pernah ikut. Tapi hari ini, aku sengaja datang merecoki sambil membawa Nabila sekaligus supaya putri kecilku bisa bermain dengan hoverboard barunya.

"Oh, jadi berondong itu juga yang bikin seorang Alitha Saulina tiba-tiba pengin ngebahas soal ciuman?" pancing Fuad, sok membuat kesimpulan.

Aku segera mencapit mulut Fuad dengan jemari dan membuatnya meringis kuat. "Ini mulut perlu dikasi pelajaran sih biar nggak ngomongin birahi mulu!"

"Mama!!! Mama nggak boleh jahatin Om Fuad!!!" Nabila tiba-tiba muncul dan memeluk Fuad penuh sayang.

"Idih, Mama nggak jahatin Om, kok, Sayang. Mama Cuma bantu bersihin mulut kotornya aja...," kilahku sambil menguwel-uwel bibir yang masih tertawan jemari.

Ben terkekeh. Tampaknya dia merasa geli melihat wajah nelangsa Fuad.

"Bibir Om jadi merah, nggak perlu pakai lipstick lagi dong," cengir Bila setelah kulepas capitanku dari bibirnya.

Fuad meringis. "Om lebih suka merah-merahnya bekas lipstick sih."

"HEH!!!" Kali ini tanganku bergerak mencubit pinggang si-mulut-comberan itu.

"Ya udah, nanti Bila pakein lipstick ya. Bila punya yang warna merah. Waterproof lagi. Kemarin juga Bila pakein ke Papa." Untung Bila tidak cukup paham maksud dari kalimat ambigu Om-Nakal-nya yang satu itu. Karena setelahnya Bila sibuk mengoceh tentang kegiatan salon-salonannya bersama Jorey.

Saat itu pulalah sebuah suara familiar menginterupsi, "Kak Alitha?"

Semua kepala menoleh ke arah suara. Ada jeda sekitar dua-tiga detik untukku mengutuk dalam hati. Kenapa pria ini harus muncul di depan Fuad dan Ben? Bukannya apa-apa, aku mulai bisa melihat tatapan mencurigakan dari kedua pasang mata sahabat itu.

Tapi yah, siapa pula yang bisa melarangnya ada di tempat ini? Ini kan tempat umum. Dan untuk seorang penyuka olahraga sepertinya, adalah wajar berada di tempat ini.

"Sensei Caleb...!" Nabila yang pertama kali bersuara. Tidak sekadar menyapa, anakku yang lincah itu bahkan dengan begitu luwesnya memeluk Caleb.

Caleb balas memeluk dan mengusap rambut Nabila penuh sayang. "Hai cantik, masih rajin latihan kihon dan dachi kan di rumah?"

"Masih dong, Sensei. Semalam abis main salon-salonan, Bila disuruh Papa latihan karate," jawab Bila penuh semangat.

Seperti mempunyai dunia sendiri, Bila dan Caleb lebur dalam bahasan tentang karate yang tidak kumengerti. Tanpa kusadari Fuad dan Ben mengamati. Aku baru tersadar saat Fuad tiba-tiba berbisik di dekat telingaku, "Bibir berondong yang satu ini seksi. Ciumannya pasti enak."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro