17. Last Bullet

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sadar sepenuhnya bahwa membangun rumah tangga berlandaskan dosa dan kesalahan bukanlah pilihan yang bijak. Namun aku menanamkan keyakinan pada diri sendiri bahwa kami bisa memperbaiki kesalahan awal itu dengan saling mencintai dan menjaga keutuhan rumah tangga hingga ajal menjemput. Sayangnya, keyakinanku tidak bisa menjamin apa-apa.

Nyatanya aku gagal.

Faktanya aku dan Jorey resmi bercerai.

Selama menjanda aku kerap mengintrospeksi diri. Kurasa, kesalahan terbesarku terletak pada kepercayaan diriku yang terlalu besar. Aku menyerahkan diri pada Jorey karena yakin pada diriku sendiri. Bahwa aku memilih pria yang benar.

Aku selalu percaya bahwa arti dari semua sikapnya padaku adalah cinta. Caranya yang tidak lari saat dimintai tanggungjawab, caranya mencintai Nabila, caranya memperlakukan keluargaku dengan baik kuartikan sebagai cinta. Terlambat aku menyadari kalau dia tidak pernah mengakui dengan lantang. Mungkin memang hanya aku yang terlalu percaya diri selama ini.

Maka malam itu, meski pelukan Jorey terasa nyata dan penuh perasaan, aku tidak akan terlalu percaya diri dengan mengartikan semua sebagai sebuah cinta dan penyesalan.

Toh, malam itu kami berpisah tanpa kesepakatan apapun.

Jorey hanya meminta waktu. Dan aku tidak semurah hati itu untuk memberikannya lagi. Jadi aku diam saja. Mudah-mudahan dia paham kalau aku sama sekali tidak ingin berurusan dengannya lagi.

Takut akan terjebak bersama Jorey dalam keadaan yang tidak diinginkan lagi, aku berusaha keras menghindari pertemuan secara langsung. Aku akan meninggalkan Nabila di rumah bersama Bik Jamilah saat waktu asuh Jorey tiba, dan membiarkan Jorey menjemputnya di rumah sementara aku sibuk di rumah sakit. Aku lalu meminta Jorey mengantarkannya kembali saat aku tidak ada di rumah. Aku bahkan memutuskan untuk tidak hadir dalam acara grand launching Metami Beauty Care yang diadakan malam ini di Grand Indonesia.

Hebat memang adik iparku itu. Setelah berhasil membuat Jorey menyetujui idenya untuk mulai berbisnis di negeri sendiri, dia langsung berhasil mendapat tempat yang strategis dan launching dalam waktu sebulan.

Baru saja aku selesai mandi dan memutuskan untuk tidur saja, Bik Jamilah tiba-tiba mengetuk pintu kamarku dan mengabarkan tentang kedatangan Ibu Mertuaku. Riahna Tarigan, Ibunda Jorey yang biasa kupanggil dengan Bibi-panggilan khusus suku yang dianut Jorey-menungguku dengan duduk tenang di ruang tamu.

Aku seharusnya tidak heran bagaimana bisa Jorey menjadi sosok yang begitu kaku dan hanya bisa bisa mengumpat. Pasalnya, dia dibesarkan oleh ibu yang minim ekspresi. Tidak jauh berbeda pula dengan Mura, sang ayah. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, hanya Meta yang berbeda dari anggota keluarga mereka.

Wanita setengah baya yang hari ini mengenakan kemeja sutera berwarna dusty pink itu tengah memerhatikan Nabila yang heboh dipakaikan gaun oleh Bik Jamilah. Gaun yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Sepertinya pemberian dari sang nenek.

Seperti itulah caranya memanjakan cucu semata wayangnya selama ini. Bukan dengan canda gurau melainkan dengan membelikan barang-barang mewah.

"Bibi berencana membawa Nabila ke acara launching-nya Meta. Boleh kan?" pintanya saat aku sudah berdiri dengan jarak tiga meter di depannya. Matanya memandangiku sendu. Seolah ada kepedihan yang dirasakannya hanya dengan melihatku.

"Nanti ... kamu jemput Nabila. Bisa?" tanyanya lagi saat aku menyetujui permintaannya. Lalu sekali lagi, aku mengangguk menyetujui.

"Besok Bila kan nggak sekolah. Mama jangan terlalu cepat dong jemputnya." Bila segera menyela. Layaknya Cinderella, dia takut waktu berpestanya dibatasi.

"Iya Sayang, iyaa...," kataku menenangkan, lalu mengambil alih tugas Bik Jamilah untuk merapikan gaun sang putri kecil.

Dalam hati aku sedikit lega. Paling tidak, ada Nabila yang mewakili kehadiranku di sana. Aku bisa menduga bagaimana kehebohan Meta kalau tidak menemukan sosokku maupun Nabila di acaranya. Bisa-bisa dia bahkan menjemput paksa aku dari rumah.

"Kamu ... nggak ikut?" tanya Bibi Riahna akhirnya. Sedari tadi matanya diam-diam mengawasiku yang masih berkutat dengan rambut Nabila, seolah berharap aku akan bersiap-siap juga.

Aku menggeleng, tanpa merasa perlu memberikan alasan.

"Mama ... mama ... Onty Meta bilang di sana bakal banyak artis-artis cantik lho!" seru Nabila. "Mama nggak mau lihat?"

Aku terkekeh kecil. "Mama nggak pernah nonton ini, nggak bakal kenal juga, Sayang...."

"Tapi Onty Meta bilang Papa pasti suka ketemu artis. Onty Meta juga bilang artis-artis perempuan yang cantik-cantik bakal suka ketemu Papa. Soalnya Papa sekarang sendirian." Saat aku mulai paham maksud Meta-sudah pasti ingin membuatku terbakar cemburu-Bila tiba-tiba mengernyit dan menyuarakan kebingungannya. "Kenapa Onty bilang Papa sendirian, ya? Kan, ada Bila yang bakal nemenin Papa."

Aku lantas mencubit pipi Bila gemas. "Anak pintar!"

Sepanjang interaksiku dengan Nabila, Bibi Riahna hanya mengamati sambil sesekali tersenyum tertahan. Tidak terbaca. Seperti biasa. Saat aku dan Jorey resmi bercerai pun, aku tidak benar-benar tahu perasaannya. Dia tidak banyak memberi komentar.

Aku kembali pada niat awal untuk tidur dan berisirahat saja setelah Bibi Riahna pergi membawa Nabila. Tapi baru satu jam mereka berlalu, aku mendapati diriku sedang duduk di depan meja rias dan berdandan maksimal untuk pergi ke acara Meta. Semata-mata karena terpengaruh oleh kalimat-kalimat Domu, adikku.

"Percaya deh, Kak. Caleb bisa diandalkan," katanya saat memersuasiku di telepon tadi.

Awalnya dia hanya menelepon untuk menanyakan alasan kenapa aku menghindari Caleb belakangan ini. Pertanyaan yang sama sekali tidak perlu dipertanyakan, sebenarnya. Memangnya wajar kalau aku jalan dengan sahabat adikku sendiri? Terlebih lagi ... aku seorang janda beranak satu? Salah-salah, aku bisa diduga orang sebagai Tante Girang, lagi.

"Kalian saling membutuhkan, Kak. He needs you," tambah Domu, hingga aku akhirnya terpengaruh juga.

Tidak ada salahnya dicoba, pikirku.

Kalau setelah hari ini semua usahaku sia-sia. Aku akan berhenti. Aku berjanji pada diriku sendiri.

"Kamu pasti nyesal pernah kagum sama aku?" tanyaku saat Caleb sudah menyupiriku. Berusaha keras menutupi rasa malu.

Dia tertawa kecil. "Apa pendapatku sekarang begitu penting? Bukannya lebih penting aku ada di sini, sama Kakak?"

Aku segera mengalihkan pandangan. Meneliti kuku-kukuku yang dipotong pendek. Menyamarkan rasa tidak nyaman. Tidak tahu harus berkata apa, aku memilih mengucapkan, "Makasih, Leb...."

**

Persis seperti dugaanku. Pesta yang diusung Meta begitu meriah dan berkelas.

Pertama kali menginjakkan kaki saja, aku sudah disambut dengan karpet merah dan berkas-berkas cahaya blitz dari kamera-kamera para pemburu berita. Tidak heran. Firma Keluarga Jorey memang mempunyai kolega dari berbagai kalangan. Baik dari pejabat, artis, bahkan golongan old money. Sasaran yang sangat empuk untuk dijadikan berita. Di tempat ini, semua seolah dikumpulkan untuk memberi dukungan penuh pada usaha baru Meta.

Bisnis Meta tidak bisa dianggap sepele. Selain menjual produk-produk dengan brand sendiri, ternyata Meta juga bekerja sama dengan banyak perusahaan kosmetik yang terkenal. Mulai dari make up sampai kepada skin care. Aku juga baru tahu kalau dia sudah menyiapkan kanal online khusus sebelum membuka gerai secara resmi seperti ini.

Sembari berjalan menyusuri gerai yang begitu luas, aku memerhatikan produk-produk yang terpajang dan tidak bisa berhenti berdecak. Meta pasti menghabiskan banyak modal untuk usahanya ini.

Satu hal yang kubenci dari pesta besar adalah adanya tatapan kepo dari beberapa pasang mata yang menyaksikan kehadiranku. Aku bisa menebak apa yang ada di pikiran mereka. Kalau bukan kasihan, pasti penasaran tentang kisah hidupku setelah ditinggal Jorey.

Padahal ini sudah lewat dari waktu yang dituliskan Meta di undangannya, tapi tetap saja kerumunan tamu tak berkurang. Kupikir tadinya datang terlambat bisa terhindar dari kerabat Jorey yang masih mengenalku dengan baik, tapi ternyata aku tidak seberuntung itu. Beberapa dari mereka tanpa sungkan-sungkan menghampiri dan menanyakan kabarku. Meski malas, aku meladeni sebisaku. Padahal aku tahu, jawaban apa pun yang kuberikan pasti akan mereka jadikan bahan ghibah di belakang punggungku.

Di saat-saat seperti ini aku senang Caleb tidak membuntutiku ke mana-mana. Dia sedang asik mengobrol dengan Apulina, adik kandung Randal, yang katanya pernah satu sekolah dengannya saat SMA. Caleb banyak bercerita tentang gadis ini dalam perjalanan menuju tempat ini, tadi.

"Lit, Bila kayaknya udah mulai ngantuk. Boleh ... Bibi bawa dia pulang ke rumah malam ini?" Bibi Riahna datang sambil menggendong Bila yang sudah terkulai di dalam pelukannya.

Pasti tidak mudah menggendong anak kecil seberat Bila di atas tumit sepatu setinggi itu. Tapi Bibi Riahna menolak saat aku ingin mengambil alih Nabila.

"Biar Litha yang gendong, Bi." Aku mencoba mengambil alih sekali lagi.

Bibi Riahna mundur selangkah. Kepalanya menggeleng pelan.

Aku bisa melihat dia kesulitan mempertahankan Nabila. Tapi aku juga bisa melihat dia rela melakukan itu semua karena dia menyayangi cucunya. Pelukannya posesif. Tangannya tidak berhenti mengusap-usap helai rambut Nabila. Hal-hal seperti inilah yang selalu membuatku sulit untuk membentengi diri dari keluarga Jorey. Meski mereka tidak lihai dalam berkata-kata manis, sikap mereka selalu membuatku percaya cinta itu ada. Untukku. Untuk Nabila.

Lagipula, hanya karena aku dan Jorey bermasalah, bukan berarti aku juga harus bermusuhan dengan keluarganya kan?

Tidak ingin membuat Bibi Riahna menggendong Nabila lebih lama lagi, aku mengangguk. "Pakaian gantinya udah disiapin Bik Jamilah kan, tadi?"

"Ada. Di ransel." Sebelum benar-benar pergi, Bibi Riahna memandangiku lekat. Lagi-lagi dengan tatapan iba dan terluka. "Bisa ... kamu tunggu Jorey?"

Ada jeda yang menguasai setelah pertanyaan itu terlontar. Aku bisa mendengarnya dengan jelas. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana cara meresponsnya. Itu sebabnya aku hanya membisu. Membiarkan suara hiruk pikuk pesta menyamarkan debar jantungku yang selalu berulah hanya karena nama Jorey disebut-sebut.

Syukurlah aku tidak perlu menjawab pertanyaan ambigu itu, karena Jorey tiba-tiba muncul-setelah sejak tadi tidak terlihat batang hidungnya. Ditemani Friska.

"Ma, Bilanya udah ketiduran, tuh. Biar aku gendong." Jorey sudah siap untuk mengambil alih sang putri kecil, tapi lagi-lagi Bibi Riahna menolak.

"Jangan, Jo," tolak Bibi Riahna tenang. Berbeda dengan cara Bibi Riahna memandangiku, dia menatap Jorey dengan tatapan tajam dan mencekam. "Jangan kecewakan Mama lagi."

Hanya dengan satu kalimat itu, kepala Jorey perlahan menunduk dalam. Seolah sedang dimarahi habis-habisan. Jorey bahkan tidak bisa mengangkat kepalanya sampai Bibi Riahna benar-benar pergi membawa Nabila pergi meninggalkan pesta.

"Hei, Lit, udah lama?" Friska mencoba mencairkan suasana yang mendadak kaku.

Aku bisa melihat Friska juga salah tingkah di depan Bibi Riahna, tapi aku tidak ingin terlalu memusingkan diri dengan apa alasan yang membuatnya bersikap seperti itu di hadapan keluarganya sendiri. Karena aku lebih memusingkan keadaanku yang terjebak di sini, tanpa keberadaan Caleb.

"Baru kok, tadinya mau jemput Nabila, tapi kayaknya nggak perlu dijemput karena malah dibawa sama Neneknya," aku berusaha menjawab sesantai mungkin. Tidak lupa menambahkan cengiran di akhir kalimat.

"Mungkin sekarang lebih baik aku pulang," sambungku saat menyadari kepada Jorey sudah terangkat untuk menatapku. Dalam.

"Apa nggak terlalu cepat? Kita belum ke sudut itu, Kak. Pemandangan Jakarta jadi bagus banget kalau dilihat dari situ." Entah bagaimana caranya, Caleb tiba-tiba sudah muncul dan menggamit lenganku.

Tanpa menunggu persetujuanku, Caleb menggiringku menuju sudut yang ingin ditujunya. Sudut yang berada di luar gerai. Terletak di dekat selasar tepi gedung. Suasana menjadi lebih tenang, karena jauh dari hiruk pikuk pesta. Dan, benar kata Caleb, pemandangan kota Jakarta memang terlihat menjadi lebih indah dari tempat ini. Kerlap kerlip cahayanya terlihat mempesona.

Tapi anehnya, Caleb sendiri malah memunggungi pemandangan indah itu. Alih-alih, dia menunduk di dekat telingaku dan berbisik pelan. "Are you ready, Kak?"

"Buat?" tanyaku bingung.

"Ingat kan, apa kata Domu? Kenapa kita ada di tempat ini?"

"Kamu udah selesaikan misimu?"

"Belum. Hanya setelah kakak bilang ready."

Aku mendorong Caleb pelan. Caranya berbisik di telingaku sungguh mengganggu. "Aku nggak yakin, Leb. Bisa bahaya."

Kembali Caleb berbisik. Kali ini dengan kedua tangan mencengkram lenganku kuat. "Dia menuju tempat ini, Kak. Just say you're ready, dan aku akan selesaikan semuanya."

Jantungku seolah baru saja jatuh menuju mata kaki hanya karena mengerti maksud Caleb. Dia yang dimaksudnya pastilah Jorey. Jadi ... Jorey sedang membuntuti kami? Apa dia ada di balik punggungku sekarang? Kenapa kepalaku rasanya ingin cepat berbalik dan memastikan dia benar-benar sedang cemburu?

Tapi tidak. Sekuat tenaga kupertahankan kepalaku berdiri tegak, memandangi pemandangan kota Jakarta dari balik kaca jendela.

Kali ini aku tidak boleh terlalu percaya diri lagi. Kalau Jorey menyusul ke tempat ini karena benar-benar cemburu, dia akan mengatakannya dengan mulutnya. Dia harus mengakuinya dan aku harus bisa membuatnya mengeluarkan isi kepalanya yang rumit itu.

Maka dengan suara bergetar aku berkata, "I'm ... Ready!"

Aku tidak benar-benar tahu apa yang terjadi setelahnya. Semuanya berjalan begitu cepat. Caleb yang tadinya berdiri kokoh di depanku tiba-tiba tumbang dengan bunyi benturan yang sangat kuat saat mendarat di lantai.

Aku bahkan belum sempat berpikir untuk berteriak saking shock-nya, saat tubuhku tiba-tiba sudah melayang dengan pandangan terbalik. Kepalaku menggantung di balik sebuah punggung kokoh dengan pinggang tersangga di sebuah bahu yang keras.

Kesadaranku serta merta kembali saat sebuah pukulan mendarat keras di bokongku. Aku akhirnya bisa mengeluarkan suara. Aku berteriak histeris. Tapi tidak ada yang menyelamatkanku. Pemilik bahu keras yang membuatku serupa karung beras sedang membawa kaki-kaki panjangnya menjauh dari kerumunan orang. Melewati toko-toko yang sudah tutup. Melewati koridor panjang. Melewati pintu-pintu kamar yang tertutup rapat.

Hingga pada sebuah pintu di sudut lorong, dia menyelipkan kartu dan membuat kayu jati itu membuka, lalu membanting tubuhku di atas ranjang besar di tengah ruangan.

Dia ... pemilik punggung kokoh dan bahu keras itu adalah Jorey.

Mantan suamiku.

Aku bisa melihat dengan jelas mulutnya membuka lebar dari tempatku terbaring. Aku sudah menduga mulut itu akan digunakannya untuk memakiku habis-habisan. Tapi tidak. Mulut yang membuka lebar itu mengatup di atas bibirku. Mengunci gerakan mulutku dengan isapannya yang keras dan kulumannya yang kuat.

"Di mana dia menciummu? Biar kuhapus jejaknya!!!" geramnya marah.

💋💋


Makasih buat kesabarannya kesayangan semuanyaa~~

Oia, aku ada cerita baru nih, yang satu ini dijamin fast update karena udah numpuk drafnya..

Kuy, disamperin...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro