9. Shit Happens

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari yang dimaksud Jorey sebagai hari kepulangannya adalah hari ini. Hari Sabtu. Karena bertepatan di akhir minggu, Jorey mengajak Nabila menginap di kediamannya, sampai besok.

Seperti biasa, Nabila langsung antusias menyambut hari kebersamaan dengan papanya. Dia bahkan bersenandung sambil menari-nari saat membereskan ransel berisi perlengkapan menginapnya.

Melihat tingkahnya, mendadak aku ingin menjawil kupingnya dan mengingatkan kalau baru dua hari yang lalu dia berteriak dan mengatakan "Papa jahat!"

Enak ya, jadi anak kecil! Semudah itu mereka bisa melupakan kekecewaan.

Walau untuk kasus Nabila yang satu ini, mungkin andil Jorey harus diapresiasi karena begitu rajin membujuk dan meluluhkan hati puteri kecilnya. Selain lewat kata-kata manis di setiap percakapan mereka di telepon, Jorey juga menjanjikan hadiah-hadiah istimewa untuknya.

"Papa bilang, mau beliin Bila hoverboard lho, Ma!" lapornya dengan cengiran bangga.

"Emangnya kamu udah bisa main begituan? Nanti jatuh lho! Itu kan mainnya susah, harus pakai keseimbangan, Sayang."

"Keseimbangan itu apa, Ma?"

Oh ya, aku lupa sedang berbicara dengan seorang anak kecil. Aku berpikir sejenak untuk membuat Nabila lebih mudah paham. "Keseimbangan itu, kayak waktu Nabila belajar sepeda roda dua. Badannya nggak boleh berat sebelah. Kalau nggak seimbang nanti bisa jatuh."

Nabila berpikir sejenak, mungkin mengingat kembali kala dia belajar mengendarai sepeda roda dua. Lantas dengan angkuh dia menyahut, "Kata Papa bisa ngajarin kok!"

Jawaban itu sukses membungkam mulutku. Dulu pun, saat usia Nabila masih empat tahun, aku berkeras mengatakan kalau dia belum cukup umur untuk mengemudi sepeda roda dua. Tapi saat Jorey mengatakan dia bisa mengajarkan Bila, dia benar-benar berhasil melakukannya. Meski keberhasilan itu harus dibayar dengan luka sepanjang siku karena dia menumbalkan dirinya sendiri sebagai tameng saat Nabila terjatuh.

Sungguh, dia layak mendapat predikat sebagai ayah idola.

Sayangnya, predikat idola itu tidak berlaku saat dia menjadi seorang suami, ataupun mantan suami. Buktinya, baru dua hari yang lalu dia mengaku sebagai biang kerok dari semua kegagalan usahaku untuk mencari pendamping hidup baru. Dan, dengan semena-mena lari dari tanggung jawab.

Entah apa motif dari sikap overprotective dan posesif-nya itu.

Baru saja aku ingin menganalisis, dering ponsel membuyarkan semuanya. Nama Jorey muncul di layar.

"Lit, Bila udah ready?" tanyanya dari seberang sana dengan suara yang terdengar lemah dan terengah-engah. Seperti sedang kelelahan.

"Banget," jawabku sambil mengernyit. Rasanya aneh saat mendengar Jorey berbicara tanpa nada ketus dan arogansi. "Kamu jadi jemput kan? Dia udah exited banget karena kamu janjiin hoverboard."

Terdengar umpatan lirih dan tegukan ludah besar. Lalu disusul dengan suara napas terengah-engah lagi. "Kamu bisa anterin Bila ke tempatku nggak? Nanti hoverboardnya biar Panji yang urus." Jorey menyebut nama salah seorang junior partner di kantornya. "Please .... "

Entah karena nada lemahnya, atau mungkin juga karena kata "please" ajaib yang meluncur di akhir kalimatnya. Aku mengiyakan dengan cepat. Secepat itu pula aku memberi penjelasan pada Nabila dan dengan ikhlas mengemudi ke apartemen Jorey. Tempat yang sebenarnya sudah kupantangkan sejak dua tahun terakhir.

Aku ingat pernah menduga-duga kalau apartemen Jorey mungkin sudah menjadi tempat kumpul kebo-nya dengan Friska, maka aku bersumpah tidak akan pernah mengunjungi tempat ini lagi. Tapi bodohnya, aku baru mengingat tentang sumpah itu setelah tiba di depan pintu bernomor 2001 itu.

Sekarang aku merasa tolol, setolol-tololnya. Bagaimana kalau suara aneh Jorey di telepon tadi ternyata akibat dari permainan panasnya dengan Friska? Lalu, apakah sekarang aku sedang mengantarkan diriku untuk menyaksikan kemesraan dua orang itu? Oh Tuhan, jantungku refleks terasa dicengkeram hanya dengan memikirkannya.

Aku bahkan sampai kesulitan menanggapi Nabila yang sudah mengoceh panjang-lebar dengan suara nyaringnya. "Ma, bukain dong pintunya! Mama lupa bawa keycard-nya? Yaudah, dipencet aja belnya. Papa di dalam kan? Ma!!! Jangan melamun aja dong!!!"

Belum sempat berpikir jernih untuk menenangkan Nabila, handle pintu tiba-tiba berputar sendiri. Disusul sosok Jorey muncul dari balik bingkai pintu yang terkuak.

Penampakannya membuat jantungku kian berdebar kencang. Tubuh tinggi kekar itu dibalut dengan celana selutut dengan kemeja yang tidak simetris karena kesalahan dalam menempatkan butir kancing dengan lubangnya. Rambutnya basah, dengan tetesan air mengalir melintasi leher.

Sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bersenang-senang dengan wanita. Tapi justru membuatku semakin khawatir. Kulitnya pucat, seolah kekurangan darah. Bibirnya kering dan pecah.

"Hallo, Princess!" Bahkan dengan sambutannya yang begitu bersemangat, aku bisa mendengar getar samar dalam suaranya.

Pikiranku semakin menjadi-jadi, saat Nabila menabrakkan tubuhnya untuk memeluk Jorey. Alih-alih menggendong seperti biasanya, dia malah meringis tertahan.

Demi rasa penasaran yang kian membuncah, aku resmi melanggar sumpahku. Kakiku yang sedari tadi memaku di depan pintu akhirnya kulangkahkan memasuki apartemen terkutuk itu.

Jangankan aku, Jorey sendiri tampaknya kaget melihat tingkahku.

"Sayang, kamu udah kasih tahu Papa model hoverboard yang kamu pengin?" tanyaku, membuat kebingungan Jorey sedikit teralihkan.

Nabila sontak melepas pelukan dari Jorey dan sibuk mengubek-ubek ranselnya untuk mencari ponsel. Setelah menemukan ponsel--tempat dia menyimpan beberapa gambar hoverboard yang diinginkannya--dia melapor pada ayahnya, "Papa! Papa! Papa! Bila mau hoverboardnya yang kayak gini, ya! Warnanya harus begini, lho! Ada logo kuda ponny-nya begini, Pa!"

"Supaya nggak salah pilih, gimana kalau Bila sendiri yang beli?" Aku mengusulkan. "Nanti kalau ternyata hoverboard pilihan Bila nggak tersedia di sana, Bila bisa pilih sendiri dari model yang ada."

"Well, tapi Panji udah on the way beliin, sih," gumam Jorey. Alih-alih terdengar bingung, dia malah terdengar seperti kelelahan. Aku semakin curiga, saat menemukan bulir keringat bermunculan di keningnya.

"Mumpung masih on the way, kenapa nggak minta Panji untuk jemput Nabila dulu? Jadi mereka bisa beli hoverboard bareng," bujukku. "Nanti Bila bisa sekalian belajar juga cara pemakaiannya dari penjualnya."

"Nah!" Bila menjentikkan jemari. "Bila juga bisa sekalian beli froyo dong sama Om Panji. Papa janji kan, weekend ini Bila boleh makan froyo pakai toping mochi sama cloudy jelly?"

Jorey tertawa melihat tingkah putrinya. "Belajar dari siapa sih anak Papa ini jentikin jari begitu?"

Setelahnya, Nabila bercerita tentang usahanya belajar membunyikan jentikan jemari dari teman di sekolahnya. Nabila bahkan dengan sok-tahunya mengambil peran menjadi guru yang akan mengajari Jorey melakukan hal yang sama. Seolah Jorey sama sekali tidak tahu cara menjentikkan jemari. Dan ya, seperti selalu, Jorey bertingkah sebagai murid kesayangan yang mendengarkan gurunya dengan patuh.

Sementara itu, aku mulai memindai isi apartemen Jorey. Tidak banyak yang berubah. Well, karena sebenarnya tempat ini pernah kami tinggali bersama sebelum Nabila lahir. Rumah yang kutempati bersama Nabila sekarang adalah rumah pemberian mertuaku atas kehadiran putri kecil kami di dunia. Sebagai hadiah, katanya.

Jorey kembali menempati tempat ini seorang diri setelah proses perceraian berlangsung, hingga saat ini. Dan, entahlah sampai kapan.

Sepenglihatanku, sama sekali tidak ada yang berubah. Letak furniture, tata ruang bahkan foto-foto pernikahan masih terpajang di beberapa permukaan dinding. Semuanya rapi dan bersih, khas Jorey. Kecuali satu. Koper yang teronggok di depan pintu kamar utama. Handle-nya bahkan belum diturunkan.

Seingatku, Jorey paling tidak suka meletakkan barang di sembarangan tempat.

Kembali, kutolehkan pandangan kepada pemilik ruangan. Dia masih memainkan perannya sebagai murid kesayangan, dengan Bila sebagai guru. Namun kali ini mereka sudah berpindah tempat ke sofa. Nabila duduk di pangkuannya, sibuk mengoceh dan memainkan jemari sang ayah. Semuanya tampak normal, tapi aku tahu betul semua tidak seperti kelihatannya.

Terbukti, satu menit setelah Panji datang menjemput dan membawa Nabila hunting hoverboard. Dengan jantung bertalu keras, kuraih kemeja berantakan Jorey dan menyibaknya.

"Shit!!!" pekikku, bersamaan dengan lirihan Jorey.

Terjawab sudah rasa penasaranku. Jawaban dari napas putus-putus, suara yang bergetar, ringisan tertahan, bulir keringat, juga sumber segala serampangan Jorey hari ini ada di balik kemejanya. Diwakili oleh perban sepanjang sepuluh senti dengan noda darah segar merembes di permukaannya.

"Kamu sebenarnya kerja jadi pengacara apa jadi preman sih, Jo???" amukku.

Jorey menyerah. Dia bahkan tidak punya tenaga untuk mendebatku. Membawa tubuhnya untuk rebah di sofa, dia malah tersenyum kecil. "Don't worry too much. I'm okay."

"Oke gimana??? Badan kamu panas begini???" Tanpa bisa kucegah tanganku sudah menempel di kening dan lehernya. "Ini lukanya kenapa, Jo??? Kamu abis perang apa gimana, sih???" Marah, khawatir dan kesal yang bersarang di dalam dada malah membuatku gagal menjaga image. Dengan tololnya air mataku menetes membasahi pipi.

"Kenapa sih kamu nggak pernah bisa berhenti bikin aku kepikiran???" Tidak bisa memilah emosi yang bercampur-aduk di dalam dada, akhirnya aku membiarkan tangisku pecah sambil memijit kepala dengan kedua tangan.

Jorey memberi waktu untuk menangisinya. Dia pasti senang telah berhasil membuatku tampak lemah seperti ini. setelahnya, dia menjemput kedua tanganku dan meletakkannya di atas dadanya. Sebelah tangannya ditumpu di atas punggung tanganku, sementara tangan yang lainnya mengusap pipiku yang basah. "Kadang-kadang untuk mempertahankan kebenaran, aku harus mengorbankan diriku sendiri, Lit."

🧸🧸

Till next week, dear...
Mudah2an mggu dpn bs lbh panjang.. 🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro