VIII. Petuah Kakek Tua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gibran memainkan jempolnya di layar ponsel-menggeser ke kanan, melihat foto-foto kebersamaannya dengan Hanum selama ini. Jempolnya berhenti ketika foto pertunangan mereka muncul. Dalam potret tersebut tampak dirinya dan Hanum tertawa bahagia. Ia ingat sekali betapa risaunya Hanum semalam sebelum pertunangan. Ia khawatir akan ada kendala yang dapat membatalkan pertunangan mereka. Sampai-sampai perempuan kesayangannya itu tidak bisa tidur. Untung ia tidak terkantuk saat proses lamaran.

Gibran memandangi potret tersebut sekitar tiga puluh detik, dan kemudian mematikan layarnya. Pesan Johan yang dibacanya di ponsel Hanum kemarin bermain di kepalanya. Hanum pun belum menghubunginya hingga sampai saat ini. Tidak seperti Hanum yang selama ini. Biasanya, ketika ada masalah atau kesalahpahaman antar keduanya, mereka akan langsung menyelesaikan saat itu juga agar tidak berlarut.

Gibran kembali memutar memorinya ke saat ia bertemu Hanum beberapa hari lalu. Ia mengurai kejadian demi kejadian yang membuatnya kebingungan sampai sekarang. Hanum yang bertingkah tidak mengenalnya. Hanum yang mengenakan pakaian seperti saat masih kuliah dulu. Hanum yang membicarakan tentang perjalanan waktu. Hanum yang tidak pandai menunjukkan cinta pada dirinya.

"Apa dia benar-benar datang dari masa lalu?" Gibran bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

"Siapa yang datang dari masa lalu?" Sebuah suara muncul dari balik punggungnya. Seorang lelaki tinggi mengenakan setelan jas berwarna coklat terang. Lelaki itu melonggarkan dasi yang mengait kerah bajunya.

"Galen, apa yang kamu pikirkan tentang perjalanan masa lalu?" tanya Gibran dengan antusias.

Galen yang sedang menghisap rokok elektronik, menatap Gibran dengan tatapan menyelidik. Sepengetahuannya, Gibran kurang tertarik dengan dunia fantasi. "Sejak kapan kamu penasaran dengan hal begituan?"

"Udah, jawab aja," desak Gibran. Selaku penggemar fantasi, Galen diyakini akan memberikan jawaban yang dapat dipercaya olehnya.

"Kalau dalam fiksi ya itu sah-sah aja. Nggak ada yang perlu dipertanyakan. Kalau dalam kehidupan nyata, aku pernah baca katanya, menurut NASA, hal itu mungkin aja terjadi. Ingat, ada kata mungkin. Tapi, sejauh ini, aku belum menemukan hal itu. Mungkin aku yang ketinggalan atau emang belum ada, aku nggak tahu," jawab Galen seadanya.

Gibran meminta Galen bertemu dengannya memanglah untuk menanyakan hal tersebut. Dan ternyata, jawaban yang diterima tidaklah ada kepastian. Menggantung. Hal ini semakin membuat Gibran sakit kepala.

"Kamu ketemu seseorang yang ngaku mengalami perjalanan waktu?" Pertanyaan Galen segera diangguki oleh Gibran. Matanya kembali mengibarkan harapan.

"Coba bawa dia periksa, deh. Mungkin dia kebanyakan menghayal," sahut Galen sambil tertawa garing yang membuat Gibran memukul kepalanya. "Lagian ada-ada aja, hari gini ngayal ketinggian. Disangka dia hidup bareng Doraemon ya, bisa menjelajahi waktu." Lagi-lagi Galen menertawai ucapannya sendiri.

Gibran kembali sibuk dengan pikirannya sendiri, mengabaikan Galen yang menikmati isapan demi isapan dari rokoknya. Galen memang tempatnya bisa bercerita, tapi respons yang diterima terkadang tidak sesuai dengan harapan, seperti saat sekarang ini. Mungkin lelaki berprofesi sebagai jaksa itu juga sedang terbeban dengan banyaknya pekerjaan.

"Hanum sehat?" tanya Galen tiba-tiba.

"Tumben nanya keadaan dia?" Gibran balik bertanya.

"Sensi banget. Sepertinya kami bakal bertemu di persidangan. Kamu tahu kasus penipuan artis ternama itu, kan? Kudengar, Hanum dan Johan yang menjadi pembelanya dengan memutar balikkan fakta menjadi pencemaran nama baik," ujar Galen dengan nada tidak suka.

Gibran yang tidak tahu tentang hal tersebut kembali tercengang. Mendengar nama tunangannya disandingkan dengan Johan sangat tidak baik bagi perasaan Gibran. Johan satu-satunya lelaki yang dapat membuat Gibran cemburu setengah mati, karena ia tahu bagaimana dulu Hanum tergila-gila pada seniornya itu.

"Kamu nggak salah? Kenapa mereka berdua? Nggak bisa salah satunya aja? Lagian kenapa Hanum ikut-ikutan? Dia artis yang banyak tersandung kasus sejak akhir tahun lalu, kan? Oh Tuhan, apa yang kamu lakukan sebenarnya, Hanum?" Gibran semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada tunangannya. Hanum dulunya tidak pernah menyembunyikan apa pun darinya, bagaimana bisa hal sepenting ini dirahasiakan?

"Kamu benaran nggak tahu?" Galen yang melihat gelagat Gibran, kaget mengetahui bahwa sahabatnya itu tidak mengetahui fakta tersebut. Ia pun merasa bersalah karena memberitahu lebih awal daripada Hanum. "Mungkin ada alasan kenapa dia belum kasih tahu," ucapnya berusaha meredam amarah Gibran. Ia yakin, lelaki itu sekarang sedang dalam mode overthinking.

"Karena dia tahu aku akan marah kalau ketahuan dia bekerjasama dengan cinta gilanya itu?" tuding Gibran sekenanya. "Aku lebih marah ketika dia merahasiakannya. Seolah, dia sedang bermain di belakangku dan akan mengkhianatiku," geram Gibran. Gelas yang berada di tangannya diregam dengan erat. Jika itu gelas plastik, pastilah sudah penyok.

"Jangan negatif dulu." Galen yang merasa menjadi penyebab pun serba salah dalam menenangkan Gibran. "Kamu tanya dulu baik-baik, apa yang membuat dia menyembunyikan hal ini dari kamu. Mungkindia dipaksa atasannya untuk menangani kasus ini. Artis itu anak dari pengusahaternama di tanah air, dan kasus ini masuk dalam kategori kasus yang sangat genting, diabutuh pendamping dan terpilihlah Johan. Kamu tahu, kan, tunanganmu itu seorangpengacara yang kompeten. Siapa saja pasti mengejarnya untuk mendapatkan pembelaan." Galen mencoba menerka keadaan, mana tahu tebakannya benar.

Gibran menyeringai. "Aku mulai meragukannya, Gal. Beberapa hari ini dia seolah menjadi Hanum di masa lalu. Dia bukan Hanum yang udah tunangan dengan aku. Dia terlihat seperti Hanum yang menjadi senior kita di kampus dulu," ungkap Gibran dengan nada rendah. Ia seperti lelaki yang putus asa karena perubahan sikap Hanum.

Galen kini mengerti alasan Gibran bertanya tentang perjalanan waktu. "Kamu nggak berpikir itu benar-benar terjadi, kan?" selidik Galen.

Gibran mendongakkan kepalanya. "Gimana kalau itu benar-benar terjadi?" adu Gibran dengan tatapan tanpa harapan.

Galen terdiam. Telah banyak kisah perjalanan waktu yang ditonton, dan ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti film-film yang ditontonnya. Pikirannya mulai mencari hal-hal yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Sial. Tidak ada yang memungkinkan.

Galen menepuk pundak Gibran. "Kamu tenang aja, Gib. Hal itu nggak mungkin terjadi. Buktinya, dia tetap Hanum yang satu. Nggak ada Hanum lainnya," kata Galen dengan yakin.

"Dia memang Hanum dari masa lalu." Suara lain muncul mengalihkan pandangan Gibran dan Galen secara bersamaan.

"Apa maksudmu?"

Kakek tua yang hadir di tengah-tengah mereka terkekeh kecil. "Ajari dia untuk mencintaimu, dan jangan salahkan dia jika berbeda dari yang biasanya. Ia hanya ingin tahu, seperti apa wujud kekasih sejatinya di masa depan. Berpura-pura saja untuk tidak tahu."

Gibran dan Galen tercengang. Pasalnya, setelah mengucapkan dua kalimat tersebut, si Kakek Tua segera pergi dan menghilang begitu saja. Keduanya saling pandang dan mengucek mata; tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan.

***
Galen

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro