XIV. Menikah Bukan Hal yang Mudah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gibran memarkirkan mobil tepat di depan sebuah butik mewah. Hanum melebarkan mata ketika melihat di balik gedung kaca tersebut terpajang sebuah gaun yang cantik. Ia tidak mengingat di kehidupannya yang lama di tempat ini sudah dibangun butik atau belum. Atau mungkin ia yang terlalu abai dengan lingkungan sekitar.

Seolah mampu membaca isi pikirannya, Gibran bersuara, "Ini butik kakakku. Udah berdiri sejak lima tahun yang lalu. Ayo."

Hanum manut. Ia mengikuti langkah Gibran yang santai memasuki butik. Tempat tersebut dibangun dengan gaya Eropa yang sangat memanjakan mata Hanum. Langit-langitnya tinggi, serta dindingnya ditutupi oleh warna krem dengan furnitur berwarnakan elemen netral. Berjalan di butik megah ini seakan membawa Hanum berjalan ke masa Eropa kuno.

"Hanum, I miss you. Terasa lama banget kita nggak ketemu, padahal mungkin baru terhitung 10 hari." Seorang perempuan menghampirinya dengan sangat ramah bahkan melakukan cipika-cipiki dengannya. Hanum hanya bisa tersenyum mengangguk sebagai balasannya.

Perempuan itu, Farah, menangkap kejanggalan yang ditunjukkan oleh Hanum. Tidak seperti biasanya, yang mana lazimnya Hanum akan membalas ocehannya dengan ocehan yang serupa. Farah menempelkan punggung tangan di dahi Hanum, dan tidak panas sama sekali.

"Hanum lagi banyak kerjaan di kantor, Kak," ucap Gibran menjawab tanda tanya di kepala kakaknya.

Farah mengangkat bahu dan tidak mempermasalahkan lebih lanjut. Ia menarik tangan calon adik iparnya dan membawa ke salah satu sofa panjang yang berada di tengah-tengah ruangan.

Farah menunjukkan beberapa album dekorasi dan pakaian. "Kalau nggak salah ingat, kalian berencana mengadakan pernikahan di pinggir pantai, kan? Maka, Kakak sarankan memilih pakaian yang formal tapi santai," usungnya.

Hanum menelengkan kepalanya. Mana ia tahu akan memilih menikah di pinggir pantai. Selama mengejar Johan, ia tidak sekalipun memikirkan pernikahan. Asal Johan sudah mau meluangkan waktu untuk meladeninya saja ia sudah senang, tidak sempat berpikir terlalu jauh sampai ke pernikahan.

Ia memusatkan perhatian pada album dengan konsep outdoor, dan itu memang sangat memikat. Tidak hanya untuknya dan pasangan yang bisa lebih terbuka terhadap para undangan, tamu juga tidak perlu engap di dalam ruangan yang sesak dengan dekorasi dan semacamnya.

"Aku nggak terpikirkan rancangan khusus untuk pakaianku akan seperti apa di hari pernikahan nanti, bisa aku percayakan pada Kakak?" tanya Hanum dengan mendongakkan kepalanya menatap Farah yang sedikit kebingungan. Apa aku pernah menyebutkan konsep pakaian yang kuinginkan?

Gibran menepuk pundak Hanum, "Tentu kamu bisa memercayakannya pada Kak Farah. Gaun yang kamu kenakan di pertunangan saja sangat elegan sampai banyak yang meniru."

Farah yang dipuji oleh adiknya sendiri merasa sangat bangga. Ia sampai menepuk dada. "Akan sangat bermasalah jika desainer andal sepertiku nggak bisa memberikan yang terbaik di hari penting kalian. Aku tahu selera Hanum dalam berpenampilan, itu udah cukup menjadi pedomanku dalam merancang gaun untuknya," ungkapnya sambil mengelus puncak kepala Hanum.

Hanum menatap Farah yang sedari tadi tidak melepaskan senyum dari bibirnya. Ia menemukan persamaan antar adik-kakak tersebut. Mereka sering memberi sentuhan kepada orang terdekatnya, dan sentuhan itu tidak mengganggu sama sekali.

"Waktu menuju pernikahan udah nggak lama lagi. Akan banyak rintangan yang kalian hadapi, entah itu berbentuk godaan dari luar maupun keegoisan dalam diri. Pasti akan ada. Kalian harus menguatkan pikiran dan hati bahwa kalian diciptakan untuk bersama, bukan hanya sebatas tunangan saja lantas berpisah dengan alasan-alasan nggak masuk akal. Setan suka banget berkeliaran di dekat orang yang mau halal. Tinggal kaliannya aja yang harus bisa mencabuk setan itu biar jauh," petuah Farah dengan tegas.

Entah mengapa, Farah begitu senang memberi petuah pada pasangan ini. Walau dirinya pernah gagal membangun rumah tangga, ia tidak ingin adik bungsunya ini juga mengalami hal serupa. Ia juga telah mengenal Hanum sangat lama. Ia tahu Hanum bukan seseorang yang akan melukai adiknya seperti dilakukan oleh mantan suaminya dulu.

"Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami. Apa pun rintangannya, kami akan tetap bersama. Mana mau aku perempuan secantik Hanum diikhlaskan untuk lelaki lain," sahut Gibran mantap seraya menyatukan jemarinya dengan milik Hanum.

Hanum hanya dapat tersenyum untuk menanggapi pernyataan tersebut. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan calon kakak iparnya ini. Haruskah bucin atau jaim.

"Kamu hari ini terlalu banyak diam, ya?" ucap Farah ketika melihat respons Hanum yang tak seperti biasanya. "Memikirkan pernikahan memang bukan hal yang mudah. Seringkali keraguan datang. Apakah dia orang yang tepat? Akankah dia akan mampu menghadapi orang sepertiku seumur hidup? Bagaimana jika nanti kutemui hal yang tak kusenangi selama kami menikah? Atau sebaliknya. Sangat, sangat banyak pertanyaan yang berputar dalam pikiran ketika akan menikah. Namun, jika harus memikirkan itu semua, maka tidak akan ada habisnya. Langkah harus tetap diambil. Lakukan dengan kepercayaan pada diri dan pasangan, bahwa kalian akan baik-baik saja selama bersama," lanjutnya.

Entah apa yang mendorong Hanum untuk memeluk tubuh Farah. "Aku nggak akan menyakiti Gibran. Dia orang yang tepat sejak dulu, sekarang, dan nanti. Aku yang rugi jika menyia-nyiakan orang sepertinya."

Bukan hanya Farah, tapi juga Gibran yang mendengar penuturan Hanum pun ikut terenyuh. Hanum mengucap hal tersebut dengan sadar. Pernyataan yang mendebarkan sekaligus menenangkan. Gibran merasa, Hanum tetaplah Hanum, entah ia yang datang dari masa lalu atau pun yang selama ini ada di sampingnya. Mereka orang yang sama dan akan memiliki perasaan yang sama; untuk dirinya. Tidak akan ada yang beda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro