Bab 1 - Hari Saat kita Bersama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mohon Tuhan, untuk kali ini saja. Lancarkanlah hariku, hariku bersamanya." – Sheila on 7.

Hidupku terbilang mudah selama ini. Tumbuh besar di keluarga yang harmonis, tidak kekurangan dalam hal finansial, belajar dengan baik dan kemudian menikah dengannya. Setiap kali memikirkan hal itu, aku selalu merasa bersyukur.

Orang bilang pernikahan adalah suatu hal yang sakral. Bagiku, pernikahan lebih dari sakral. Dua manusia, mengikuti takdir dan memilih pasangan untuk bersatu selamanya. Pasangan yang kupilih adalah laki-laki yang kucintai selama dua tahun ini.

Kami menikah kemarin sore. Dia mengumandangkan di hadapan Tuhan dan dunia bahwa aku menjadi pasangannya. Rasanya senyum tidak akan hilang dari wajahku selama berhari-hari.

Sepupuku berkata kalau masa tiga bulan pertama dalam pernikahan akan menjadi masa bulan madu. Aku berharap pernikahan kami akan mengalami masa bulan madu lebih dari tiga bulan. Setidaknya itu yang kuharapkan sampai dengan tadi pagi.

"Ila ... di sini masih ada debu tahu nggak?" Kai mengibas-ibaskan kemoceng sambil berjinjit untuk membersihkan langit-langit.

Aku melirik kaki panjang Kai dengan iri. Dia bisa menjangkau langit-langit hanya dengan berjinjit. Sementara aku harus menggunakan tangga lipat kecil.

"Nggak kelihatan. Kakiku kan cuma separuh kakimu," ucapku kesal sambil turun dari tangga.

Kai menoleh lalu tersenyum dan menghampiriku. Telapak tangannya yang besar melingkari pinggangku. Dia mencium pipiku yang langsung memerah. Selalu saja begitu, tidak peduli ratusan kali Kai mencium, pipiku akan langsung memerah.

"Kamu menggemaskan, Ila. Jangan tinggi-tinggi, nanti aku susah cium kamu," bisik Kai.

Embusan napas hangatnya menggelitik telingaku yang sekarang ikut-ikutan memerah. Berdekatan dengan Kai sangat berbahaya. Baik untuk kesehatan jantung maupun hal-hal lainnya.

"Kamu tahu, La? Seharusnya sebagai pengantin baru kita sibuk melakukan ini dan itu. Berhubung kamu lagi berhalangan, jadi kita terpaksa sibuk di sini." Kai melambaikan satu tangannya ke arah ruangan yang masih berantakan ini.

Aku mengerti sekali apa maksud perkataan Kai. Seharusnya kami pergi berbulan madu, menikmati hari-hari sebagai pengantin baru. Tetapi itu semua hanyalah angan-angan. Kai terpaksa mengubah jadwal bulan madu kami karena aku datang bulan tadi malam. Katanya buat apa repot-repot pergi kalau aku tidak bisa menikmati. Terkadang nyeri di perut ini memang sangat mengganggu.

"Tapi, Kai, nggak gini juga kali. Masa hari pertama kita dihabiskan buat beresin rumah? Kenapa kamu nggak bayar orang saja buat bantuin?" Aku berhasil melepaskan diri dari Kai dan bergegas mengambil tumbler berisi air hangat.

"Perut kamu sakit lagi, La? Mau rebahan dulu?" Wajah Kai terlihat khawatir.

Aku menelengkan kepala, mencoba merasakan sejauh mana rasa nyeri karena kram perut itu menyerang. Sepertinya tidak terlalu parah. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Melihatku menggeleng, senyum di wajah Kai melebar dan itu membuatku was-was.

"Baiklah kalau begitu. Kita lanjut beresin rumah. Kamu lap jendela, aku nyapu. Inget, La! Jangan ninggalin noda sedikit pun." Kai menyerahkan cairan pembersih kaca padaku beserta wiper, ember dan lap kecil.

Sambil cemberut, aku berjalan ke arah depan rumah. Ini adalah rumah kebanggaan Kai. Dia membeli rumah ini dari tabungannya sendiri. Selama mengenalnya, aku tahu Kai selalu berusaha keluar dari kejayaan keluarga besarnya.

Keluarga besar Kai adalah pengusaha dalam berbagai bidang. Tangan-tangan emas mereka selalu bisa merubah kebuntungan menjadi keuntungan. Semua bermula dari sang kepala keluarga besar, Aurio Ezera Wiryawan, yang saat muda berusaha membantu sahabatnya untuk mengelola tambak udang. Pada tahun 1940-an, usaha mereka merambah pada ekspor impor. Setelah itu Aurio Wiryawan tidak terhentikan. Saat ini keluarga mereka masih merajai ekspor impor mulai dari udang galah sampai bahan pangan, memiliki perkebunan cokelat dan kopi serta menjadi pemilik saham untuk berbagai perusahaan properti.

Ayah Kai, memiliki kemampuan bisnis yang setara dengan sang eyang Aurio Wiryawan. Dia membeli perusahaan bus malam yang sedang membutuhkan dana dan berhasil mengubahnya menjadi peluang.

Saat ini perusahaan bus malam ayah Kai sudah berkembang dengan luar biasa. Pandemi yang terjadi memang sempat mengguncang perusahaan tersebut. Namun ayah Kai berhasil mempertahankannya dengan menjual separuh aset untuk menggantinya dengan truk-truk logistik antar daerah. Setidaknya para supir bus tersebut tidak menjadi pengangguran. Selain itu, ayah Kai juga masih memiliki bisnis di bidang kuliner dan properti.

Jika eyang dan ayahnya sangat luar biasa dalam intuisi bisnis, maka ibu Kai tidak kalah hebatnya. Tangan dingin ibu Kai, Mililani Andira, dalam mengolah bahan makanan membuka peluang bisnis dalam hal katering. Saat ini perusahaan katering yang dikelola secara profesional oleh Ibu Kai, masuk ke dalam jajaran katering papan atas di Indonesia.

Sementara itu, kakak perempuan satu-satunya Kai, Loni Wiryawan, adalah pebisnis online. Sebelum penjualan online merajai Indonesia, kakaknya sudah bermain di sana. Sebagai lulusan Teknologi Informasi, gadget dan segala hal terkait bahasa pemrograman adalah keahlian Loni. Belum lagi, intuisi bisnis yang seolah diturunkan dalam garis keluarga mereka menjadikan bisnis Loni berkembang pesat.

Di tengah semua itu, Kai remaja yang sedang mencari jati diri, menyadari bahwa dia tidak memiliki darah bisnis keluarga besarnya. Dia lebih suka belajar kemudian mengajari orang lain. Itu sebabnya saat ini Kai menjadi internal trainer salah satu perusahaan start-up yang menjelma menjadi unicorn tanah air.

Aku bertemu dengan Kai saat berusaha untuk bekerja kantoran. Dia menjadi trainer untuk karyawan-karyawan baru. Akamu Kaimana Wiryawan, nama itu menggelitik rasa ingin tahuku. Aku memang senang pada hal-hal unik. Bagiku nama Kai sangat memancing ingin tahu. Saat itu aku juga tidak tahu kalau nama Wiryawan adalah nama salah satu pesohor bisnis tanah air.

Setelah training, aku menghampiri Kai untuk bertanya apa arti namanya. Aku ingat sekali saat itu Kai seolah terpana menatapku. Mungkin dia heran, ada orang yang tidak mengenal nama Wiryawan atau heran ada yang menanyakan arti namanya.

"Disuruh lap jendela, malah ngelamun kamu, ya?" Kai menjawil hidungku saat berjalan membawa pengki untuk membuang sampah.

"Kamu udah selesai nyapu?" tanyaku heran. Sepertinya baru beberapa menit dia menyuruhku mengelap kaca jendela.

"Belum. Nyapu itu harus dua sampai tiga kali baru benar-benar bersih," ucap Kai santai. Sementara aku terpaku kaget.

"Kamu kalau nyapu dua sampai tiga kali?" tanyaku lagi, mulai berkeringat dingin.

"Iya. Minimal nyapu dua kali, ngepel terus disapu lagi. Nanti kamu juga gitu, ya?" Kai berkata sambil tersenyum manis.

Mati aku! Berarti aku harus mengikuti standar Kai untuk membersihkan rumah setiap hari! Berhubung tidak ada jalan untuk melarikan diri, aku hanya membalas senyum manisnya dengan anggukan meskipun dalam hati menangis.

Jujur saja, aku tidak suka membersihkan rumah. Aku lebih suka mempercantik rumah dengan berbagai pernak-pernik atau mencoba resep-resep kue di dapur. Tetapi aku sudah berjanji pada Kai sebelum pernikahan kami, kalau aku akan mengurus rumah kami sendiri.

Setahun lalu, aku baru sadar kalau dunia perkantoran tidak cocok dengan diriku. Persaingan di dalam pekerjaan membuatku stres dan lelah berlebihan. Kai bilang kalau aku harus mencoba menulis. Setidaknya itu cocok untuk diriku yang lulusan sastra Indonesia. Jadi, aku mulai menulis dan menuangkannya dalam blog. Kemudian aku belajar untuk menjadi editor lepasan. Kini, aku punya kegiatan meskipun dari rumah dan sedikit pemasukan sehingga tidak terlalu bergantung pada Kai.

Aku melihat Kai yang sedang menyapu rumah untuk kedua kalinya. Kusemprotkan pembersih kaca. Dari sela air yang mengalir, aku bisa melihat Kai begitu bersungguh-sungguh dalam membersihkan rumah.

"Bersihin yang bener ya, Ila. Harus bisa sampai orang nggak tahu itu kaca!"

Mendengar ucapan Kai, aku langsung mendengkus. Dari segala kesempurnaan Kai sebagai suami, dia paling menyebalkan dalam urusan bersih-bersih. Saat pacaran dulu aku tahu kalau Kai ini orang yang teratur dan bersih, tetapi aku tidak mengira kalau itu akan diterapkannya padaku setelah menikah.

"Copot saja kacanya biar beres!" sahutku keras. Di dalam sana suara Kai yang tertawa seolah mencubit perutku. Sekian tahun bersama Kai, dia selalu sukses membuatku merona dan berdebar.

"Jangan ngelamun, biar cepat! Aku lapar!" seru Kai dari dalam.

Mendadak cacing-cacing dalam perutku bergolak. Tadi pagi aku hanya makan dua roti panggang dengan teh hangat karena kram perut ini menyebabkan perutku terasa penuh. Aku bergegas membersihkan kaca jendela.

Satu jam kemudian, rumah kami sudah terlihat bersih dan tentu saja wangi. Kai pasti menumpahkan separuh karbol beraroma lemon itu saat mengepel. Kepalaku sudah sakit saja membayangkan harus membersihkan rumah sesuai dengan standar Kai.

"Kita balik ke hotel dan makan siang di sana? Atau kamu mau mampir ke Pagi Sore?" tanya Kai.

Kami memang mendapat hadiah dari Kak Loni untuk menginap di hotel tempat menikah selama tiga hari. Rencana awal, setelah tiga hari, kami akan berbulan madu ke Lombok lalu baru menempati rumah ini. Rencana yang hanya tinggal rencana karena datang bulan ini.

"Mampir ke Pagi Sore, dong!" jawabku cepat.

"Kalau makan masakan padang, kram perutnya mendadak sembuh, ya?" Kai tertawa sampai mata indahnya menyipit. Selalu menyenangkan melihatnya tertawa.

"Tentu saja, Bapak Akamu Kaimana! Soalnya masakan padang itu favorit aku." Aku tertawa sambil berjalan ke arah tempat cuci piring untuk membasuh tangan sementara Kai mengekori.

"Baguslah," sahut Kai sambil tersenyum dan bersandar pada tembok dapur seraya mengeluarkan ponsel. Dia mengirimkan pesan pada supir yang dipinjamkan Kak Loni untuk kami selama tiga hari ini, agar segera menjemput. Tadi pagi setelah mengantar kami, supir tersebut meminta izin untuk mencuci mobil sambil menunggu kami.

"Kalau favorit kamu apa, Kai?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Seingatku selama dua tahun ini Kai tidak pernah memberitahu secara spesifik apa kesukaannya. Aku harus tahu supaya bisa memasakkannya kelak.

"Favoritku tentu saja Haila Iolana Pradipta. Apapun yang kamu makan dan masak, selama kamu bahagia, itu adalah favoritku." Bola mata Kai yang berwarna cokelat memandangku dalam. Dia meletakkan ponsel di atas meja dapur.

Pipiku sudah pasti merona dengan tidak tahu malu. Kai dengan segala ucapan manisnya yang seringkali membuat jantungku berdetak tidak karuan. Apalagi ditambah senyuman yang menampilkan lesung pipi kanan, sepertinya kakiku berubah menjadi jeli.

"Aku suka kamu warnain rambut jadi seperti ini, La," gumam Kai lagi sementara jemarinya menelusuri helai rambut berombak sebahuku yang kini berwarna cokelat. Tangan sebelah kirinya yang bebas menarikku mendekat. Sekarang jemarinya meninggalkan helai rambut dan menyusuri rahangku. Bisa kurasakan kupu-kupu di perutku bergerak dan mengepakkan sayapnya. Bibir Kai mendekat lalu mencuri napasku.

"Pak, Bu! Mobilnya sudah siap!"

Suara supir Kak Loni yang berteriak, membuatku terkejut dan langsung mendorong Kai sampai laki-laki itu menabrak tembok. Mata cokelat Kai terbelalak karena kaget. Sementara wajahku merah padam.

*
Jadi, hari ini adalah perdana cerita ini terbit di Wattpad.

Penasaran si Kai, pelontar goceng alias gombalan goceng ini? Aku berulang kali harus mengernyitkan dahi mikirin siapa ya cast yang pas.

Akhirnya inilah cast untuk Kai yang terus-terusan hadir di pikiranku.


Ada yang bisa tebak ini siapa?

Enjoy this story yaaaa. Nanti aku akan infokan kalau bab selanjutnya terbit.

Love,
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro