Bab 12 - Hari Saat Aku Tahu Kisah Lamanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Harum mawar membunuh bulan. Rahasia tetap diam tak terucap." – Payung Teduh.

Mama Mili tersenyum senang saat aku bercerita padanya tentang rencana renovasi kami. Hari itu pagi hari yang sedikit mendung, jadi kuputuskan untuk menunda menyiram tanaman sampai sore, kalau-kalau hujan turun.

Menelepon orang tua dan kakak Kai adalah rutinitasku secara berkala. Mama Mili yang sibuk luar biasa memintaku untuk meneleponnya di pukul sembilan pagi, saat dia sudah selesai menginstruksikan berbagai macam hal pada orang kateringnya.

"Mama senang sekali Kai mau menerima warisannya. Eyang memang memberikan tempat itu pada Kai sudah sejak lama sekali. Hanya saja Kai lupa."

Ucapan mama Mili tentu saja mengundang rasa ingin tahuku yang selalu berlebihan itu. Namun sepertinya tidak tepat mengorek-orek masa lalu di pagi hari seperti ini. Aku melihat di belakang mama Mili beberapa orang yang membawa tumpukan sayur mayur lalu lalang.

"Mama sibuk apa?" tanyaku.

"Oh! Berhubung kamu nanya kesibukan mama, besok kamu ada waktu, La? Besok mama mau kirim donasi makanan untuk orang-orang yang sedang berjuang untuk sembuh di rumah sakit. Rencananya kita akan menyediakan nasi boks untuk sekitar 2.000 orang. Mama butuh kamu buat ngawasin dapur."

Mama Mili memang beberapa kali meminta bantuanku untuk mengawasi dapur. Biasanya aku akan memastikan jumlah nasi boks sesuai dengan yang direncanakan. Selain itu, aku juga memperhatikan ritme kerja para petugas katering mama.

Aku menimbang-nimbang kalau malam ini semua permintaan artikel bisa kuselesaikan berarti besok aku bisa membantu mama Mili. Setelah menyanggupi permintaan mama, aku menutup telepon.

Jam makan siang masih lama, jadi kuputuskan untuk mencicil permintaan artikel. Hari aku memutuskan untuk bekerja di ruang tamu sambil melihat-lihat taman. Sejauh ini, ruang tamu adalah tempat kesukaanku untuk menulis. Seandainya saja ada gazebo seperti di penginapan, mungkin itu juga bisa menjadi tempat kesukaanku.

Tidak berapa lama, hujan pun turun. Awalnya hanya rintik-rintik kecil kemudian menderas. Aku berhenti menulis sejenak dan keluar dari rumah. Aroma tanah bertemu air yang kusukai tercium. Terdengar suara pintu terbuka, Kai pasti menyusulku ke sini.

"Aku tahu kamu pasti ada di sini," kata Kai sambil memeluk pinggangku.

Pikiranku berkelana kemana-mana saat teringat tentang hujan yang menjadi titik awal dari kedekatanku dan Kai lebih dari sekadar rekan kerja. Saat itu kami menjadi bagian tim CSR yang mengadakan acara sosial di Garut.

Perusahaan kami mengumpulkan donasi dan membelikan barang-barang yang diperlukan. Aku ingat sekali saat itu hari Jumat dan para relawan mendapat bonus satu hari untuk tidak bekerja.

Selain membagikan barang-barang yang diperlukan, kami juga membuat program untuk menghibur anak-anak yang ada di tempat penampungan. Dengan senang hati aku menjadi relawan di program tersebut. Aku membawa stok banyak boneka tangan dan boneka jari untuk mendongeng.

Cuaca saat itu mendung lalu tidak lama turun hujan seperti sekarang. Aku mendapat tempat untuk mendongeng di pelataran masjid, jadi suara hujan terdengar dengan jelas sehingga aku harus berteriak supaya anak-anak mendengar dongengku.

"Terima kasih, kakak Ila. Dongengnya bagus sekali. Terima kasih juga untuk bonekanya." Seorang anak berkuncir dua memelukku setelah dongeng selesai.

Setelah mendongeng aku memang membagikan boneka-boneka jari dan tangan untuk anak-anak. Untunglah semua yang hadir bisa mendapat boneka-boneka. Satu persatu mereka menghampiri dan memelukku. Mereka terlihat ceria dan berseri-seri. Dalam hati aku berdoa supaya mereka tidak mengalami trauma atau rasa takut berlebih setelah mengalami bencana banjir bandang ini.

Hujan turun semakin deras. Beberapa anak terlihat khawatir lalu mereka masuk ke dalam masjid yang menjadi salah satu tempat untuk mengungsi. Aku sendiri tidak tahu di mana timku. Mereka tadi bilang mau bertemu dengan kepala desa untuk serah terima.

Sebuah payung berwarna biru terlihat di kejauhan. Orang yang membawa payung itu setengah berlari dan masuk ke dalam pelataran masjid dengan celana separuh basah. Aku terkejut saat memandang orang itu. Akamu Kaimana.

"Hai, La. Aku datang mau jemput kamu. Kita semua kumpul di rumah kepala desa. Cuma hujannya deras, nanti kamu basah. Kita tunggu sebentar, ya."

Aku hanya bisa mengangguk karena merasa canggung. Kai yang tinggi menjulang, berdiri di sampingku memperhatikan hujan turun. Bukan hanya celananya tetapi sebagian rambutnya juga basah. Mungkin terkena percikan air. Laki-laki ini sungguh baik hati mau menjemputku. Dia bertanggung jawab dengan timnya.

"Terima kasih sudah mau jemput walaupun hujan," ucapku perlahan, merasa bersalah saat melihat rambutnya meneteskan air. Kai mengerling lalu tersenyum seraya berkata kalau itu bukan masalah besar.

Aku mencari-cari dalam tas selempang dan menemukan handuk kecil. Kusodorkan handuk itu dan menyuruh Kai untuk mengeringkan rambutnya. Dia berterima kasih dan menggosok rambutnya supaya kering. Aku memalingkan wajah saat salah tingkah dan berdebar kala melihat sosok Kai yang sedang mengeringkan rambut. Untunglah ketika itu ada yang menyelamatkanku.

"Kak Ila, ini dari kami." Anak berkuncir dua yang tadi memelukku, membawa dua kotak jus jambu dan memberikannya.

"Buat kak Ila yang tadi udah mendongeng dan buat om yang susah-susah jemput kak Ila." Anak itu memamerkan giginya lalu memelukku sekali lagi sambil melambaikan tangan saat kuucapkan terima kasih.

"Kenapa kamu dipanggil kakak tapi aku malah om?" gerutu Kai. Namun dia tetap menerima jus jambu kotak bagiannya.

Aku tertawa mendengar gerutuannya lalu menyadari Kai malah memperhatikanku. Kupalingkan wajah yang mendadak memerah. Hujan sudah reda, menyisakan rintik-rintik. Kai membuka kembali payungnya lalu kami berjalan berdampingan menuju rumah tempat teman-teman lain berkumpul.

Sepanjang perjalanan, aku menghirup udara dengan sepenuh hati. Hujan membawa panas pergi dan menggantikannya dengan kesejukan. Aku selalu suka aroma ini.

"Aku selalu suka aroma saat hujan dan setelah hujan." Aku memecahkan kesunyian tanpa sadar.

"Aku juga ... suka melihatmu tersenyum dan tertawa," ucap Kai seolah melamun. Aku menoleh terkejut dan mendapati wajah Kai memerah.

Sore itu kami berdua berjalan di bawah satu payung dengan wajah memerah. Aku malu sekali mendengar ucapan Kai dan terlalu takut untuk bertanya apa maksud dari ucapannya. Namun sejak sore itu, Kai selalu berusaha menemuiku di sisa tugas kami sebagai relawan.

"Kenapa kamu senyum-senyum?" tanya Kai sambil berdiri di sampingku. Ingatan tentang masa lalu terputus begitu saja.

"Ingat dulu kamu bilang suka lihat senyum dan tawaku," jawabku sambil terkekeh. Kai menggaruk belakang lehernya dengan kikuk karena malu. Oh, sungguh! Dia selalu bisa membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.

*

Mama Mili sudah sibuk saat aku dan Kai datang. Kai memang mengantarku ke dapur katering mama Mili sebelum pergi ke rumah keluarganya untuk bekerja dari sana sambil menungguiku. Sebenarnya rumah kami yang masih ada di kitaran Jakarta Selatan, tidak jauh dari rumah keluarganya. Hanya saja Kai bilang rumah tanpa aku rasanya mengerikan. Sesuatu hal yang kutertawakan sepanjang perjalanan.

"Halo, sayang. Setelah bersih-bersih, boleh tolong bantu mama ya," sapa mama Mili sambil meniupkan kecupan dari jauh. Aku tertawa melihat mertuaku yang bertingkah seperti itu.

Setelah selesai membersihkan diri dan meletakkan tas serta memakai seragam khusus di dapur, aku mendekati mama dan menciumnya. Mama sedang sibuk menghitung berat sayur mayur. Tanpa banyak kata, aku membantu mama.

Siang hari, setelah semua pekerjaan usai dan boks-boks makanan masuk ke dalam mobil-mobil untuk diantarkan ke tempat tujuan, mama menyeduh teh untuk kami berdua. Dia juga menghidangkan sepiring biskuit buatan sendiri.

"Semalam mama panggang biskuit, habis nggak bisa tidur."

Sungguh aku selalu kagum dengan perempuan-perempuan yang pandai memasak. Kalau boleh, aku mau membuat permintaan untuk memiliki ilmu memasak seperti mereka. Kucicipi satu biskuit dan langsung tertegun. Ini rasanya seperti biskuit yang mereknya sangat kusukai.

"Kalau kamu mau coba, nanti mama kasih resepnya," ucap mama Mili saat melihat reaksiku. Tentu saja aku tidak menolak kebaikan hatinya.

"Ila, mama mau ngucapin terima kasih karena sudah bantu bujuk Kai. Anak itu selalu keras kepala. Di beberapa sisi, keras kepala memang berarti mereka tidak mudah menyerah, tetapi di sisi lain pasti merepotkan. Sepertinya itu keturunan."

Aku tertawa mendengar ucapan mama Mili. Itu pasti merujuk pada papa Ansell. Mama Mili menanyakan banyak hal terutama tentang hubunganku dengan Kai. Seperti juga ibuku, mama Mili tidak pernah menanyakan perihal cucu atau mendesakku cepat hamil. Katanya pernikahan itu akan terjadi seumur hidup, jadi dinikmati saja perlahan-lahan.

"Omong-omong, Ma, Ila boleh nanya?" tanyaku sambil mengambil satu biskuit lagi. Enak banget biskuitnya! Mama Mili mengangguk sambil ikut mengambil biskuit juga.

"Kenapa Kai nggak inget kalau eyang puteri pernah tinggal di penginapan itu?"

Entah karena perasaanku atau pantulan sinar, tetapi mama Mili terlihat sedikit pias saat mendengar ucapanku. Dia menatap dengan bola mata membulat. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mama Mili.

"K-kenapa kamu nanya kaya gitu?"

Sekarang aku mengernyitkan dahi karena merasakan kegugupan mama.

"Cuma mau tahu. Soalnya di sana ada foto Kai sama eyang Aurio dan eyang Puteri. Jadi pasti dia pernah ke sana. Tapi waktu aku tanya Kai, dia bilang nggak ingat. Jadi kupikir pasti ada sesuatu yang terjadi."

Orang tua Kai yang masih terlihat cantik di usianya itu menunduk seolah mempertimbangkan sesuatu. Lalu dia menggenggam jemariku.

"Jika mama ceritakan, tolong jangan beritahu Kai terlebih dulu."

Aku bisa melihat ada kesungguhan di matanya. Sorot mata seorang orang tua yang akan melakukan segalanya demi sang anak. Aku mengangguk, sedikit merasa gentar karena merasa masalah ini cukup serius.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro