Bab 24 - Hari Saat Gelap Mulai Datang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Everybody hurts sometimes. Everybody hurts someday." – Maroon 5.

Perjalanan kembali ke penginapan kami lalui dalam senyap. Aku terlalu sibuk dengan pikiran sendiri sedangkan Kai lupa menyalakan radio. Ingatanku kembali pada saat masih berada di perpustakaan tadi.

Eyang Aaron memang mengatakan bahwa lukisan itu adalah bukti perjuangan cinta dari eyang Aurio pada eyang puteri. Namun ucapan itu tidak dilanjutkan. Kami malah diberikan teka-teki lainnya.

"Kalian sudah menemukan surat-surat lama itu. Coba kalian hubungkan isi suratnya dengan lukisan." Eyang Aaron mengedipkan sebelah matanya.

Aku selalu mengira orang kaya itu memang eksentrik tetapi tidak pernah terpikirkan akan terlibat dalam kisah seperti ini. Kulirik Kai yang menyetir dengan wajah tertekuk. Dia seperti tidak terpengaruh pada kesenyapan ini.

"Apa maksud eyang Aaron, Kai?" tanyaku penasaran sambil setengah melamun.

"Kalau aku tahu, pasti nggak bingung kaya gini. Dasar orang kaya aneh! Tempe basi!"

Tawaku langsung meletus saat mendengar omelan Kai. Saat menikah dulu kami memang sepakat untuk tidak pernah mengumpat. Kai langsung mengganti umpatannya dengan kata-kata ajaib yang selalu membuatku tertawa.

"Kamu juga orang kaya loh, Kai. Cuma gengsi saja nggak mau ngakuin," cetusku sambil tersenyum. Wajah Kai semakin muram mendengar ucapanku. Dia pasti mengira kalau aku akan menyindir atau menyebutkan nama keluarganya.

"Kita ini orang paling kaya di dunia. Kita saling memiliki satu sama lain. Kita bahkan punya cinta eyang Aurio dan eyang puteri. Penginapan itu adalah cinta mereka. Jadi kekayaan kita berlipat-lipat," ujarku cepat sambil memandang awan dan langit biru kelabu. Sepertinya nanti malam akan turun hujan.

"Maksud kamu cinta adalah hal paling berharga di dunia?" tanya Kai sambil membelokkan mobil menuju penginapan.

"Cinta itu kedua berharga buatku."

"Yang pertama apa?" Kai menoleh dengan mata penasaran.

"Hal paling berharga buatku adalah kamu."

Aku masih bisa melihat semburat merah mendadak muncul di wajah Kai. Rasanya bibirku tertarik sampai nyaris mencapai telinga karena lebarnya senyuman. Sungguh manis suamiku ini. Dipuji sedikit langsung malu-malu.

"Apalagi kalau kamu lagi nggak nyuruh-nyuruh aku beresin rumah dan lap-lap barang," sambungku sambil tertawa. Sementara Kai mengomel, merasa diperdaya dengan kata-kataku.

Rintik hujan pertama turun saat kami tiba di pekarangan penginapan. Pengerjaan renovasi yang mendekati akhir membuat pekarangan yang tadinya penuh dengan pasir, batu, semen dan kayu, sekarang mulai rapi. Siapa lagi kalau bukan Kai yang mengomandoi seluruh pekerja untuk membereskan pekarangan.

Ketiga pekerja kami sudah pulang ke rumah mang Asep yang menampung mereka. Bicara tentang rumah, aku baru sadar kalau rumah orang kepercayaan eyang itu cukup besar. Sepertinya eyang memberikan biaya tambahan sebagai ucapan terima kasih karena telah mau menunggui penginapan itu selama pewarisnya belum muncul.

Setelah makan malam, hujan turun semakin menggila. Kuputuskan untuk membaca surat-surat eyang Aurio sementara Kai berkata kalau dia mau menghitung sisa biaya renovasi kami.

Aku mengambil surat dengan gambar menara Eiffel yang indah. Pinggiran amplop dan kertas suratnya menandakan betapa tua benda itu. Menyandarkan tubuh pada headrest tempat tidur dan menarik selimut untuk melindungi tubuh dari udara dingin, aku mulai membaca suratnya. Seperti biasa aku melewati informasi berulang yang biasanya ditulis eyang Aurio pada awal surat.

*

Dear Leia,

Tuan puteriku yang cantik. Hari ini aku berada di Paris. Ingatkah kamu dengan Paris, sayang? Kita selalu bercita-cita ke sini. Sayangnya aku terlalu sibuk untuk bekerja dengan alasan mengumpulkan uang.

Sayang, meskipun aku tidak menampik takdir sebagai seorang pengusaha, aku selalu berharap bisa hidup sebagai orang biasa. Bangun di tempat tidur pada pagi hari, memandang isteriku yang cantik kemudian bersantap dengan keluarga.

Aku terlalu sibuk mengejar dunia sampai lupa untuk apa awalnya aku bekerja keras. Saat tersadar, semua sudah terlambat. Maafkan aku Leia sayang. Aku tidak bisa memberimu kebahagiaan atas janji-janji yang kuucapkan dahulu.

Kamu tahu apa yang kulakukan saat pertama kali menginjak Paris? Aku berkeliling kota seperti cita-citamu dulu. Aku bahkan memakan Croque Monsieur dan Croque Madame hanya karena mengingat tawamu dahulu yang berkata kalau kita memakan keduanya bersama-sama, maka hidup akan menjadi sempurna.

Leia, aku berjalan di sepanjang kota Paris. Menghirup udara dan merasakan aroma makanan serta minuman yang ingin kamu santap. Lalu aku menangis. Sungguh Leia, hidup tanpamu sangat berat. Aku tidak lagi bisa melihat senyum manismu yang sabar saat menemaniku bekerja di malam hari. Aku juga tidak bisa merasakan pelukan hangatmu yang lebih sering kutepis karena masih harus bekerja.

Aku sungguh menyesal Leia. Seharusnya kuhabiskan waktu lebih banyak denganmu. Semestinya kuluangkan waktu untuk bermain dengan anak-anak kita. Kakiku berhenti di sungai Seine. Melihat airnya yang tenang, pikiranku kembali padamu. Sungguh aku merindukanmu, Leia.

Bagaimana makanan di rumah sakit? Apakah enak? Apakah tidurmu nyenyak? Seandainya saja bukan karena keinginanmu, aku pasti tidak akan berada di sini. Besok aku akan berjuang untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Tunggu aku Leia. Setelah mendapatkan karya Monet, aku akan segera pulang.

Peluk dan cium,

Aurio

*

Mataku berkaca-kaca saat membaca surat itu. Jelas itu adalah goresan pena yang berisi penyesalan dan pengharapan. Kubalik-balik suratnya tetapi tidak menemukan jejak tanggal atau tahun. Sepertinya surat ini di tulis saat eyang puteri mulai masuk rumah sakit.

Kai menoleh tepat saat aku menyusut air mata dengan ujung selimut. Dia langsung meninggalkan pekerjaannya lalu naik ke tempat tidur, menatapku dengan khawatir. Aku mengulurkan tangan dan Kai menyambutnya. Kami berpelukan kemudian aku mulai terisak.

"Kamu kenapa?" tanya Kai. Dia mengelus rambutku perlahan diselingi dengan gerakan menepuk punggung yang menenangkan.

Tanpa banyak bicara kuulurkan surat eyang Aurio. Kuperhatikan raut wajah Kai saat membacanya. Di awal dia tersenyum lalu semakin lama senyum itu menghilang, tergantikan oleh rasa haru.

"Eyang Aurio meninggalkan eyang puteri hanya untuk membeli lukisan Monet?" gumam Kai bertanya pada dirinya sendiri.

Claude Monet adalah pelukis impresionisme terkenal dari Perancis. Aku bisa mengerti kenapa eyang puteri menyukai lukisan Monet. Karya-karyanya kebanyakan menyoroti alam dan pewarnaannya indah.

"Lukisan bunga iris itu karya Monet? Bagaimana aku bisa tidak tahu?" ucapku tiba-tiba saat teringat lukisan taman bunga yang indah.

"Memangnya kamu mengerti lukisan?" cibir Kai.

"Nggak juga, sih," sahutku mengakui.

Kusentuh pinggiran kertas yang rapuh perlahan. Mencoba merasakan suasana saat eyang Aurio menulis surat itu, mencurahkan kerinduan pada belahan hatinya yang sedang terbaring sakit.

"Eyang berharap lukisan itu bisa membantu kesembuhan eyang puteri." Mataku yang menerawang bisa melihat pengharapan besar dari eyang Aurio saat menginjakkan kaki di Perancis.

"Bagaimana bisa lukisan bisa membantu kesembuhan?" tanya Kai tidak percaya.

"Kamu tahu legenda burung bangau di Jepang?" balasku sambil duduk menghadap Kai. Mata cokelat gelap laki-laki itu mengerjap karena kaget.

Jepang memiliki legenda 1.000 burung bangau kertas, maka permohonannya akan dikabulkan. Orang-orang yang percaya akan terus melipat kertas menjadi bentuk burung bangau sambil berdoa terus menerus, berharap permohonannya akan terkabul. Mungkin itu hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh eyang Aurio. Dia berkeliling dunia, membeli berbagai macam lukisan dengan harapan lukisan itu akan membawa kesembuhan bagi eyang puteri.

Kai mengangguk-angguk setuju akan teoriku. Dia masih termenung menatap kertas tua yang tampak rapuh ketika sebuah pertanyaan hadir di benakku. Sebelum bisa kutahan, pertanyaan itu muncul begitu saja.

"Eyang puteri punya penyakit apa ya selain demensia?"

Pertanyaanku seperti menyulut api yang sebelumnya tidak ada. Kening Kai berkerut saat menatapku lalu seperti mimpi buruk, aku melihat wajahnya terlihat kesakitan. Tanpa suara, Kai memegangi kepalanya seolah ada sesuatu yang akan meledak di sana.

Aku langsung melompat bangun, berusaha untuk memeluk Kai sambil merutuk mulut yang tidak bisa menahan diri ini. Namun Kai berontak. Dia terlihat lebih kesakitan daripada saat terakhir kumat.

Air mataku keluar begitu saja saat menatap Kai yang merintih dengan suara pelan seperti kanak-kanak yang menderita. Lenganku tidak mampu untuk menenangkan tubuh besar yang sekarang meringkuk di atas tempat tidur. Selang beberapa saat, serangan sakit kepala Kai sepertinya mereda.

Mata Kai berkabut seolah habis menembus awan. Dia terengah-engah dan berkeringat meskipun udara di kamar dingin karena hujan. Kami memang memiliki air conditioner yang bisa dinyalakan sewaktu-waktu. Namun malam ini, kami belum menyalakannya karena merasa udara sudah cukup dingin.

"Ila ...." Suara Kai pelan dan menderita.

Kurengkuh laki-laki yang kucintai ini. Dia terisak dalam pelukanku sampai lama sekali. Aku tidak tahu berapa lama kami duduk berpelukan sambil menangis.

"Aku ingat, Ila. Gara-gara akulah eyang masuk rumah sakit." Kali ini suara Kai pecah dalam tangis yang meyayat. Aku terperangah, tidak tahu harus mengatakan apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah terus mengelus rambut Kai, berharap itu bisa menenangkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro