Bab 4 - Hari Saat Dia Tiada

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"What about you? What about me? What about me? What about us?" – Ify Alyssa.

Aku baru saja mengirimkan tulisan untuk artikel yang dipesan sebuah perusahaan ketika menyadari kalau hari sudah sore. Semalam Kai berkata kalau dia ingin merayakan tiga bulan keberadaan kami di rumah ini.

Selama tiga bulan ini aku menyadari kalau ucapan orang-orang yang berkata kalau sifat pasangan baru akan terlihat saat menikah, itu sangat benar. Setelah dibuat terkaget-kaget oleh Kai tentang bagaimana cara menyapu dan mengepel yang baik menurut dia, aku kembali di buat terkaget-kaget bagaimana laki-laki ini sangat rapi. Bahkan dia lebih rapi daripada ibu yang melahirkanku.

Masih terbayang dalam ingatan ketika Kai mengajariku melipat kain lap dapur. Ya, Tuhan! Aku curiga kalau dulu Kai pernah ikut pelatihan Marie Kondo. Dia juga memintaku untuk mengatur pakaian di lemari sesuai dengan kebutuhan dan warna. Jadi, lupakan lemari baju berantakan. Sejujurnya, ini hal berat karena aku seringkali cuek dengan segala macam penempatan barang.

Setelah menutup laptop, aku memperhatikan meja kerja dan memperbaiki letak reed diffuser beraroma vanila. Celakalah aku kalau Kai menemukan ada satu benda yang letaknya miring. Kemudian aku bergegas ke dapur untuk memastikan kebersihannya sekaligus menyiapkan makan malam.

Tepat saat ceret mengeluarkan suara melengking tanda air matang, terdengar deruman mobil memasuki carport kami. Aku membuka pintu depan dan menemukan Kai yang baru selesai melakukan prosedur sepulang kerja sambil tersenyum lebar.

"Selamat malam istriku tersayang." Kai berjalan sambil menyembunyikan tangan di balik punggung. Aroma lemon dari disinfektan tercium.

"Selamat malam suamiku," balasku sambil tertawa.

"Aku bawa hadiah!" seru Kai saat berada tepat di depanku.

"Martabak!" seruku senang.

"Heran kamu deh, La. Kalau perempuan lain biasanya suka dikasih bunga atau perhiasan, kenapa kamu dikasih martabak saja senangnya bukan main." Kai tersenyum lembut.

"Kamu kan sering kasih bunga. Hidup lagi tuh di taman. Perhiasan? Kamu tahu aku nggak suka pakai perhiasan berlebih. Lagipula setiap bulan kamu tambahin tabungan emas batangan kita. Justru kalau kamu bawa makanan ini yang istimewa. Kamu selalu ingat kalau aku suka martabak, bahkan tahu mana tempat martabak favoritku. Menurutku itu lebih romantis, Kai," ucapku perlahan seraya berjalan masuk ke dalam rumah.

"Air panas sudah tersedia di kamar mandi. Handukmu juga sudah kuletakkan di sana. Mandi yang bersih ya, Suami," kataku lagi sementara Kai hanya tertawa dan mengucapkan terima kasih lalu langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Sejak pandemi ritual membersihkan diri dan barang bertambah. Kali ini aku merendam peralatan makan yang dibawa Kai untuk makan siang dan menyemprotkan disinfektan untuk barang-barang yang dipakainya bekerja. Kantor Kai menerapkan 50-50 untuk bekerja di kantor. Minggu ini gilirannya bekerja sementara minggu depan dia akan bekerja di rumah.

Sementara Kai mandi, aku memindahkan martabak ke piring dan menyiapkan makan malam. Sebenarnya aku tidak pandai memasak. Rasanya sehari-hari otakku selalu ada di tulisan-tulisan dan tulisan. Namun, Kai senang masakanku walau rasanya biasa-biasa saja.

"Kamu masak apa, La? Sup?" Tangan Kai menelusup dan memelukku dari belakang. Aroma sabun dan sampo maskulin menggoda indera penciumanku.

"Jangan peluk-peluk. Ini ada sup panas. Nanti tumpah." Kupukul tangan laki-laki dengan rambut berantakan sehabis keramas itu. Kai hanya terkekeh lalu duduk dan memperhatikanku.

Kami makan malam sambil berbincang tentang apa yang dikerjakan hari itu. Bagiku, sarapan dan makan malam adalah cara kami membuat waktu berkualitas. Pepatah mengatakan, laki-laki akan lebih tenang jika perutnya kenyang. Itu sebabnya aku suka mengobrol dengan Kai di waktu makan. Setidaknya dia tidak ribut menyuruhku merapikan barang atau heboh mengelap debu yang tertangkap tangannya.

"Kamu tadi telepon eyang?" tanya Kai tiba-tiba.

Gerakan tanganku yang sedang menyendok sup berhenti di udara. Kuperhatikan raut wajah suamiku yang terlihat tenang, menimbang-nimbang apakah informasi yang akan kusampaikan nanti akan mengubah mood-nya.

"Iya. Aku nanyain kabar eyang. Sabtu nanti kita ke rumah eyang, yuk," ajakku.

Di luar dugaan Kai menggeleng. Ini baru pertama kalinya Kai menolak untuk mengunjungi eyang. Dia tertawa saat melihatku mengernyit dan menatap heran.

"Seminggu ini aku bekerja di kantor, La. Bahaya kalau bawa penyakit ke eyang. Kondisi eyang memang sudah stabil. Tapi ...."

"Ya sudah. Nggak apa-apa, Kai. Eyang tadi nanyain kabar kamu dan cerita-cerita masa kecil kamu. Aku pikir, mungkin eyang kangen sama kamu." Kuulurkan jemari untuk menggenggam tangan Kai.

Sehabis makan, aku membereskan dapur dibantu oleh Kai. Di balik sikap perfeksionisnya terhadap kebersihan dan kerapian, Kai sebenarnya sangat membantu pekerjaan rumah tangga tanpa segan. Dia bilang kalau menikah itu bukan mencari pembantu, melainkan teman hidup.

"Terima kasih, sayang." Kukecup pipi Kai saat kami selesai membereskan dapur.

"Cuma cium pipi?" bisik Kai menggoda.

Wajahku langsung menghangat mendengar bisikan Kai. Sudah tiga bulan dan aku masih saja belum terbiasa mendengar Kai menggodaku. Semburat merah di pipi ini selalu membuat Kai lebih gencar lagi menggodaku.

"Kamu imut-imut kalau pipinya merah. Kaya Chibi Maruko-chan."

Mulutku langsung terbuka ingin marah. Chibi Maruko-chan itu kan tokoh film anak-anak tahun 2000-an yang bahkan anak zaman sekarang tidak kenal. Tetapi gerakanku malah membuat Kai lebih mudah untuk menciumku lembut. Gelenyar aneh di perutku langsung terasa.

"Kamar atau sofa?" tanya Kai dengan suara serak.

Selama tiga bulan ini, berkat konsep bekerja dari rumah, aku dan Kai sudah menjajah seluruh rumah. Sofa adalah tempat favorit Kai untuk bercinta. Katanya udara di luar kamar cenderung lebih dingin.

"Di mana pun kamu mau," kataku sambil berjinjit memeluk laki-laki berambut hitam ini.

"Seharusnya kamu pakai dingklik, La."

Aku langsung mencubit pinggang Kai. Ini lagi romantis, lho. Menyebalkan sekali laki-laki satu ini. Merusak suasana. Namun, bukannya minta maaf, Kai malah menggelitiku. Dia menyebalkan sekali!

"Jangan marah, sayang. Kalau kamu cemberut, aku jadi pingin ngerjain kamu lagi." Kai kembali menciumku lembut dan hal yang paling menyebalkan adalah aku tidak berdaya untuk marah.

Sambil tertawa, Kai mengangkatku seperti karung. Dia membawaku ke kamar sementara aku mencubitnya minta diturunkan. Suatu hal yang tentu saja tidak terasa oleh badan Kai yang keras.

"Ini kekerasan dalam rumah tangga, Ila," ujar Kai sambil tertawa ketika aku menendang perutnya.

"Kamu nyebelin. Emangnya aku karung beras!" omelku.

"Masih untung kamu makannya nasi. Kalau kamu makannya batu, aku gendong karung batu."

"Kaiii ...." Kata terakhir berakhir dengan pekikan ketika Kai menghempaskanku ke tempat tidur. Mata cokelatnya bersinar-sinar lembut saat dia mengelus perutku melalui sweater tipis yang kukenakan. Rasanya malam ini kami berdua akan lembur.

*

Sinar matahari menyelinap masuk melalui sela-sela gorden. Terdengar kicau burung liar di luar sana. Aku melirik nakas untuk melihat jam berapa saat ini. Hampir jam enam pagi. Kai masih tertidur nyenyak.

"Kai, kamu berangkat ke kantor?" tanyaku pelan.

"Aku capek, La. Kerja dari rumah saja. Sini peluk dulu."

Kai tipikal laki-laki yang di luar terlihat tidak butuh-butuh amat, tetapi di dalamnya dia sangat manja. Mungkin karena dia memiliki gengsi tinggi. Aku juga senang-senang saja memanjakan laki-laki ini. Terlihat ponsel yang ada di nakas berkedip-kedip. Semalam kami memang mengubah mode ponsel menjadi silent supaya tidak terganggu.

"Kai, wake up! Sekarang juga!" Aku melompat dari tempat tidur sambil bergegas memakai kimono. Sementara Kai mengaduh karena aku melempar ponsel tepat di wajahnya.

"La, jangan gila dong pagi-pagi. Masa ini dilempar-lempar," keluh Kai. Aku tidak mempedulikannya dan langsung memeluknya. Dia terperangah melihat kelakuanku yang aneh.

"Kai ... kamu harus sabar, ya?"

Jika berita eyang jatuh dan masuk rumah sakit bisa mengguncang jiwa suamiku, entah bagaimana dia bisa bertahan dengan berita yang saat ini masuk ke dalam ponsel kami. Berturut-turut pesan WhatsApp dan Line masuk tanpa henti. Sementara Kai menatap nanar ponselnya.

"Ini nggak mungkin, La," bisik Kai.

Inilah yang kutakutkan. Kai menolak mempercayai berita yang masuk itu. Dia mengurai pelukanku lalu melangkah keluar kamar, masih bertelanjang dada dan langsung menyalakan televisi. Aku tahu apa maksud Kai. Jika berita eyang masuk rumah sakit baru diterima para wartawan seminggu setelahnya, maka seharusnya tidak ada berita apa pun tentang eyang pagi ini.

Bahu Kai merosot dan dia terisak ketika televisi menyiarkan headline news dengan berita kepergian Aurio Ezera Wiryawan. Aku melangkah pelan dan berlutut di hadapan Kai. Awalnya dia menolak pelukanku dan hanya mengucapkan kata-kata yang sama bahwa tidak mungkin eyang meninggalkannya tanpa pamit.

"Bahkan kamu mendapat kesempatan bicara dengan eyang untuk terakhir kalinya. Sedangkan aku ...." Kai tersedak oleh air matanya sendiri.

"Kai ... ini bukan salahmu." Suaraku bergetar oleh rasa pedih. Aku juga menyayangi eyang Aurio tetapi bagi Kai, eyang adalah matahari keduanya.

Kami berpelukan di sofa, menangis tersedu dengan televisi yang terus menyiarkan kepergian eyang. Kai gemetaran dengan hebat dan tidak mau melepaskan pelukanku. Sungguh, hatiku teriris melihat laki-laki yang biasanya gagah sekarang begitu rapuh.

"Aku bahkan belum bilang terima kasih karena eyang selalu mendukung keputusanku. Aku juga belum bilang maaf karena tidak bisa datang dalam beberapa minggu karena takut akan menularinya dengan virus. Sekarang terlambat, La."

Dadaku sesak. Penyesalan Kai seperti penyesalanku juga. Kepergian seseorang tanpa aba-aba memang menyakitkan. Dan hal paling menyakitkan adalah ketika ucapan maaf dan terima kasih belum sampai pada mereka yang tiada.

*
Baiklah... Ini part ke 4 dan aku masih hutang 4 part. 🤣
Di part ini sebenarnya aku mau nulis yang romantis menjurus. Tapi jurusannya nggak ada. Malah mewek di akhir part. 😭

Baiklah... Aku mau lanjut nulis part 5. Lagi dilema, mau dilanjut mewek atau yang lain aja. 😬

Happy reading yaa.
Love,
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro