Bab 7 - Hari Saat Aku Menghampirinya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Feeling like your life's an illusion and lately you're secluded. Thinking you'll never get your chance." – Marshmello & Demi Lovato

Aku memakai kacamata hitam, merapikan masker lalu menyetel GPS sebelum menyalakan mesin mobil. Hari ini Kai ada acara seharian di Zoom, jadi kuputuskan untuk pergi. Pekerjaanku untuk membuat artikel dan membuat tulisan di blog sudah selesai.

Semalam kuputuskan untuk menanyakan penginapan tua eyang pada Pak Hendrawan. Bila Kai tidak mau bergerak, sebaiknya aku duluan yang melihat penginapan tua itu. Aku tidak gila harta seperti dugaan Kai. Namun ada sesuatu di balik ucapan dan genggaman tangan eyang saat menitipkan pesan itu padaku.

Penginapan tua itu ada di sebuah desa di kaki gunung Pangrango. Aku melirik GPS, sepertinya jalur yang diarahkan menuju Gadog. Suara Marsmello dan Demi Lovato menyanyikan lagu Ok Not to Be Ok menemani saat aku membelokkan mobil ke arah jalan kecil menuju desa Cibedug. Semakin mendekati titik GPS, aku merasakan perubahan suasana.

Dua puluh menit kemudian aku sudah berada di sebuah tempat berhalaman luas dengan bangunan yang meskipun terlihat tua tetapi tetap bersih dan terawat. Kulepas kacamata lalu membasuh tangan dengan hand sanitizer.

"Assalamu'alaikum," sapaku pada seorang laki-laki tua yang sedang menyapu halaman. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum di balik masker kain. Gurat wajahnya terlihat ramah.

"Wa'alaikumsalam. Saha anu dipilarian?"

Aku tertegun. Tidak tahu harus menjawab apa.

"Mau cari siapa, Neng?" Ulang laki-laki tua itu lagi saat melihatku tidak memahami bahasa yang diucapkannya.

"Mau cari Mang Asep. Saya istri dari cucunya eyang Aurio," jawabku menangkupkan tangan pengganti jabat tangan.

Saat mendengar ucapanku, laki-laki itu terkejut sampai menjatuhkan sapu yang sedang dipegang. Dia menghampiriku dengan mata berkaca-kaca. Seandainya saja sedang tidak dalam kondisi pandemi, dia pasti sudah menggenggam tanganku.

"Saya Asep," katanya dengan terbata-bata.

"Saya Haila, Mang Asep. Salam kenal."

Mata Mang Asep yang besar, menyipit saat tersenyum. Tiba-tiba saja dia terisak. Aku sampai kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Tiga menit kemudian tangisan Mang Asep mereda.

"Maaf, Neng. Saya terharu. Bapak bilang kalau ada cucu atau istri cucunya datang, berarti tempat ini akan berpenghuni lagi."

Belum sempat aku tertegun, Mang Asep sudah berbicara panjang lebar menceritakan tentang tempat ini. Aku memandang bangunan tua yang sepertinya tidak tepat disebut penginapan. Ini seperti Bed and Breakfast, jenis penginapan skala kecil untuk masa inap jangka pendek dan biasanya tuan rumah juga tinggal di penginapan tersebut.

Aku mengelilingi bangunan dua lantai yang bersih meskipun perabotannya sudah tua. Melihat tempat ini, aku seakan masuk ke dalam masa tahun 70-an. Di sebuah dinding malah tergantung Puka Shells berukuran besar, kalung yang tersusun dari kerang yang berserakan di pantai. Puka Shells paling terkenal di Hawai.

"Itu hiasan kesayangan Ibu," ucap Mang Asep pelan dengan mata menerawang jauh. Aku paham kalau panggilan Bapak merujuk pada eyang Aurio dan Ibu merujuk pada eyang puteri.

"Eyang puteri sering ke sini, Mang?" tanyaku.

"Ibu tinggal di sini beberapa tahun sebelum beliau tiada." Pancaran mata Mang Asep berubah sendu dan sedih.

Kami berjalan melintasi ruang makan dan tempat tamu berkumpul. Sepertinya pada masa lalu tempat ini penuh kehangatan. Lantai kayu yang kuinjak ini pasti dulu dipoles sampai mengkilap. Cahaya matahari masuk ke dalam ruangan dengan bebas sehingga pada siang hari dan cuaca cerah tidak butuh bantuan lampu penerangan.

Di halaman belakang penginapan, ada gazebo yang diperuntukkan untuk orang duduk menikmati udara sore. Angin bertiup lembut mempermainkan rambutku. Dapat kubayangkan pada masa lampau, eyang puteri duduk-duduk di gazebo ditemani secangkir teh hangat.

"Benar! Ini adalah tempat kesayangan Ibu. Beliau bahkan sempat menanam pohon di dekat gazebo sebelum ...." Suara Mang Asep seolah tercekat. Dia bergegas menuju dua batang pohon di samping gazebo.

"Ini pohon Tabebuya. Kalau bunga bermekaran cantik sekali. Ibu bilang, dia ingin setiap orang yang datang ke tempat ini akan merasakan keindahan dan kedamaian. Bapak sampai jauh-jauh mencari dan mendatangkan pohon ini."

"Memangnya dari mana pohon ini, Mang?" tanyaku sambil mengelilingi pohon yang saat ini tumbuh tinggi itu.

"Brasil."

Aku langsung tersedak kaget. Luar biasa sekali eyang Aurio. Demi cinta pada eyang puteri, beliau sampai rela jauh-jauh ke Brasil hanya untuk membeli pohon. Sambil terkekeh aku menatap langit yang biru di antara sela daun-daun Pohon Tabebuya.

"Kenapa penginapan ini ditutup, Mang?" tanyaku pelan.

"Bapak nggak tahan melihat penginapan ini beroperasi tanpa Ibu."

Itu hal paling romantis yang pernah aku dengar. Pikiranku langsung mengembara pada cerita cinta yang bersemi lebih dari dua dekade yang lalu. Banyak sekali pertanyaan yang ingin kulontarkan tetapi waktunya bukan sekarang.

"Saya mau lihat-lihat kamar boleh, Mang?"

Pertanyaanku itu tentu saja disambut dengan senyum cerah Mang Asep. Dia berjalan cepat menuju kamar-kamar yang ada di dalam penginapan. Total ada empat kamar di lantai bawah dan enam kamar di lantai atas. Salah satu kamar di lantai bawah adalah kamar eyang puteri. Di kamar-kamar sudah tidak ada perabot, katanya eyang Aurio menyumbangkan banyak perabot untuk penduduk sekitar setelah eyang puteri tiada.

Hanya ada satu kamar yang masih berperabot nyaris lengkap. Kamar eyang puteri. Kamar itu pasti dulunya berwarna hijau lembut. Ada sofa yang jelas terlihat tua dan meja rias. Di kaca meja rias, tertempel banyak foto. Aku menghampiri meja rias untuk melihat foto-foto dengan jelas.

Eyang puteri pastilah memiliki darah seni. Dia menyusun foto di kaca seperti menyusun cerita. Aku tersenyum saat melihat ada Kai di banyak foto. Laki-laki kesayanganku itu memang benar-benar mirip dengan eyang puteri. Lalu pandanganku fokus pada satu foto.

Itu adalah foto eyang puteri, eyang Aurio dan Kai di depan penginapan. Kai pernah ke sini! Aku terkesiap kaget. Kai tahu tempat ini tetapi kenapa dia berpura-pura tidak tahu? Kuperhatikan lagi foto itu dengan seksama. Sepertinya Kai baru berusia lima tahun. Wajar kalau dia tidak ingat tempat ini.

"Boleh kuminta foto ini?" tanyaku pada Mang Asep sambil menunjuk foto yang baru saja kuperhatikan. Begitu melihat anggukan Mang Asep, aku langsung mengambil foto itu. Ada bekas kecokelatan di cermin.

*

"Ramaikah dulu di sini, Mang?"

"Dulu banyak teman Bapak yang ke sini kalau akhir pekan. Sementara di hari biasa, yah kadang ramai tapi nggak jarang juga sepi."

Aku mengangguk mendengar penuturan Mang Asep. Kami sudah selesai mengitari penginapan dan saat ini sedang berada di dapur. Bukan di dapur penginapan melainkan tempat Mang Asep tinggal. Dia tinggal berdua dengan istrinya yang mungil dan manis. Sama seperti Mang Asep, istrinya nyaris menangis saat tahu aku adalah istri dari Kai. Mereka masih mengingat kalau Kai adalah anak yang terlihat manis di luar tetapi pecicilan di dalam.

Selama satu jam aku menikmati kehangatan di antara pasangan suami isteri bersahaja ini. Mereka banyak bercerita tentang masa-masa penginapan masih beroperasi. Juga kenakalan kanak-kanak yang dilakukan Kai kecil saat berkunjung ke sini.

"Satu hal yang tidak kami lupakan adalah bagaimana Ibu terlihat bahagia dan bersinar saat Nak Kai datang. Mereka akan duduk-duduk di gazebo. Nak Kai berbaring dan mendengarkan cerita Ibu."

Aku bisa membayangkan gambaran itu. Udara hangat dengan angin sepoi di gazebo mempermainkan rambut Kai kecil yang sedang berbaring mendengarkan dongeng. Bayangan itu menumbuhkan tekad. Kai harus menerima warisan ini.

Mang Asep dan isterinya melepasku dengan enggan. Mereka berkata kalau akan menungguku kembali bersama dengan Kai. Aku tidak bisa menjanjikan hal itu jadi yang kulakukan hanyalah melambaikan tangan.

Sepanjang perjalanan pulang, aku merenungkan banyak hal. Penginapan itu sepertinya bukan bisnis bagi eyang Aurio. Benar, penginapan itu menerima tamu, tetapi sepertinya tidak terlalu banyak yang datang.

Selain itu eyang Aurio juga membiayai hidup Mang Asep dan keluarganya. Salah satu anak Mang Asep bahkan bekerja di perusahaan eyang. Benakku berputar, sibuk berpikir sampai lupa untuk mengabari Kai.

Aku melihat Kai berdiri di teras rumah sambil bersidekap. Dia mengenakan sweater tipis di atas kaus dan melihat gelagatnya, Kai sepertinya sudah berada di sana untuk waktu yang lama.

Tidak ada senyum yang menyambut kedatanganku. Dengan tenang, aku menyemprotkan disinfektan lalu mencuci tangan. Kai memperhatikan tingkahku juga dalam diam.

"Kamu ke mana saja?" tanya Kai dengan nada dingin.

"Aku pergi keluar. Sudah bilang ke kamu waktu sarapan. Mungkin karena sudah dua hari ini kamu mendiamkanku, jadi kamu tidak merasa penting untuk tahu aku ke mana," sahutku sambil melewatinya masuk ke dalam rumah.

Kai memang dua hari ini kembali irit bicara. Dia hanya membicarakan hal-hal yang menurutnya penting. Walaupun di satu sisi aku senang karenar dia tidak lagi meributkan segala macam hal remeh, tetapi di sisi lain aku juga marah. Merasa tidak diperlakukan adil hanya karena eyang Aurio menitipkan tugas padaku.

"Ila, kalau aku bicara, kamu jangan kaya gini, dong." Kai menarik lenganku.

"Kai, aku capek. Bisa, kan, aku bersih-bersih dulu sebelum dia bicara?" Aku sungguh-sungguh ingin langsung ke kamar mandi dan membersihkan diri.

"Kita ngomong dulu, La. Kamu ke mana?" tanya Kai memaksaku bicara.

"Aku ke tempat warisanmu."

Kai membelalak karena terkejut saat mendengar jawabanku. Dia pasti tidak menyangka kalau aku akan pergi ke penginapan itu tanpa dirinya.

"Ngapain kamu ke sana?" Nada heran itu keluar dari bibir Kai. Dia melepaskan cengkraman pada lenganku.

"Aku melihat alasan kenapa eyang Aurio mewariskan tempat itu padamu, Kai. Nggak peduli kamu akan menjadikannya bisnis atau sampingan. Penginapan itu berkonsep bed and breakfast. Kamu tahu artinya, kan?" Aku bertanya dengan nada berapi-api. Ternyata perempuan kalau capek lebih mengerikan dari singa.

"Aku nggak lihat apa pentingnya tempat itu," gumam Kai sambil memalingkan wajah. Dalam kondisi normal, pasti aku sudah menciumi wajah yang saat ini terlihat begitu lucu dan bingung. Sayangnya kondisi kami saat ini tidak normal.

"Aku melihat ini!" Kuacungkan foto yang tadi diambil dari meja rias.

Kali ini Kai memusatkan perhatiannya. Dia mengambil foto dari genggamanku lalu menatapnya lekat.

"Itu kamu. Dan eyang bilang kalau penginapan itu diwariskan berupa kenang-kenangan dan cinta. Penginapan dengan konsep bed and breakfast berarti pemiliknya tinggal di sana. Eyang puteri pernah tinggal di sana. Tidakkah kamu lihat? Eyang hanya mau ada seseorang yang menjaga kenangan akan cintanya yang pernah tinggal di sana."

Mataku kini mengeluarkan air mata. Sepertinya siklus menstruasiku akan datang mengingat aku sangat sensitif saat ini. Kai menatapku dengan mulut masih terkatup. Aku heran melihatnya bersikeras menolak permintaan eyang.

"Kamu tega menolak permintaan terakhir eyang, Kai?"

Pertanyaan pamungkas itu kukeluarkan tepat pada waktunya. Melihat raut wajah Kai, dia pasti akan memutuskan untuk menerima warisan eyang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro