Chapter 11: Lelah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

_____________
Aku lelah, aku cape. Masalah terus saja datang. Mana solusinya?!
___________
***

Kedua gadis itu kini berada di depan gerbang, dengan Larry diantaranya. Mereka sibuk memandangi indahnya bintang malam yang mengisi kekosongan langit. Harapannya, dengan melakukan ini bisa membuat hidup mereka terasa jauh lebih mudah.

"Kalo gitu, gue pamit ya." Clara membuka obrolan, dia juga bergegas pergi perlahan.

Keduanya hanya mengamati punggung Clara yang berjalan ke lorong gelap yang disinari lampu jalan.

"Ndah, tuh cewek nggak lo ajak pulang?" tanya Larry, menoleh ke Indah.

"Tadi gue tawarin buat numpang, eh dianya malah nolak. Ya udah deh, apa boleh buat."

Indah hendak menginap di sini, tetapi Clara tidak menyetujuinya. Itu sebabnya dia pulang, meskipun harus menghadapi resiko kejahatan di malam hari.

Tin, tinnn!

Klakson mobil terdengar keras, Clara segera menoleh ke belakang dan terlihat cahaya lampu mobil yang menyilaukan. Mobil itu berhenti tepat di depan Clara yang masih memfokuskan matanya.

"Naik!" Si pengemudi berkata dengan entengnya.

Suaranya tampak tak asing, saat Clara menatap dalam, ternyata itu adalah Garry. Dia bahkan tidak berganti pakaian. Masih lengkap dengan jas hitam super mengkilatnya.

"Budeg apa gimana?! Cepetan naik."

"Iya, iya. Sabar dong!" balas Clara yang nada suaranya tak kalah tinggi. Ia menaiki mobil itu tanpa berpikir ke depan.

"Ngapain lo ke rumah?" tanya Garry dengan nada ketus. Mobil pun melaju dengan cukup pelan. Kencangnya angin malam membuat rambut Clara berterbangan.

"Harus banget gue jelasin ke lo?"

"Jelasin, gak?!" Nada Garry memaksa.

Idih! Males banget gue kalo udah ketemu sama nih orang. Kalo bukan terpaksa, gue juga gak bakal mau di anter sama lo!

"Gue mau minta catatan sama Larry," ucap Clara setelah cukup lama terdiam.

"Lemot banget otak lo. Dari tadi kek, jawab pertanyaan gitu doang pake mikir segala."

"Eh, lo kok kek ngajak ribut mulu sih, Gar?! Jadi males tau gak, ngomong sama lo."

Sialan nih, cewek!

"Kenapa lo gak pake perantara gue? Kenapa harus ribet-ribet ke rumah?"

Clara terkekeh. "Serius lo ngomong kek gitu? Lagian ya, gak bakal juga gue mau pake jasa lo."

"Kenapa emang?"

"Yang ada malah Larry lo tonjok kek kemaren. Mana bisa gue biarin hal kek gitu terjadi gegara gue." Clara membalas tak kalah ketusnya.

"Kok lo ngomongnya ketus gitu?!"

"Lah, lo duluan yang mulai!"

Garry menghela napas berat. Dia meng-klakson semua mobil yang berada di depannya. Tak peduli siapapun itu. Meski jadi bahan sumpahan, Garry tetap melakukan hal gila tersebut.

"Garry, berhenti!"

"NGGAK!"

"GARRY!"

Bukannya melambat, Garry malah meningkatkan laju mobilnya, menyalip dengan kecepatan tinggi dan hampir saja menabrak sebuah truk panjang. Clara berteriak kencang dan berharap seseorang menyelamatkannya dari Garry yang sudah tak waras.

Hingga akhirnya mobil itupun terhenti di depan rumah Clara. Wajah gadis itu sudah tak karuan, tenggorokannya kering, bahkan rambutnya mengembang lebar.

"Makasih!" Clara turun sambil menutup pintu mobil dengan kasar.

"Gosah bilang makasih kalo gak ikhlas." Garry protes dari dalam mobil.

"Eh, ngotak dong! Lo yang nganter gue kek nggak ikhlas. Untung aja roh gue gak lepas tadi."

Garry tertawa lepas. "Itu artinya, iman lo tipis. Wkwk!"

"Dah ya, Bye!"

Clara membalikkan tubuhnya dan Garry pun melajukan mobil dengan kecepatan yang tinggi. Setelah mengunci gerbang rumah, ia mendengus kesal dan memasuki rumah yang lampunya sudah menyalah.

Ayah dah pulang.

Clara masuk rumah, tak ada siapapun yang menyambutnya. Ia melepas sepatu dan meletakkannya di rak khusus. Tak lama setelah itu, suara lembut dan halus memanggilnya dari ruangan dapur.

"Clara...."

"Iya?"

"Ayah ingin bicara."

"Clara cape, Yah, besok aja."

"Sebentar saja...."

Clara berjalan dengan berat menuju sumber suara. "Kenapa?"

Terlihat seorang pria berumur dengan kacamata bening. Ia mengenakan kemeja kantor dan ditangannya ada sebuah surat putih. Clara memandangi ayahnya dengan malas.

"Apa?"

"Saat Ayah mau ngebayarin kelas Ekstrakurikuler, pihak sekolah bilang sudah dibayar. Itu benar ya?"

Wow, cepat juga respon si kutub itu. Namun, Clara tetap berusaha untuk tenang. "Clara gak tahu, Yah."

Sang ayah pun menghela napas panjang, ia kembali melihat isi surat pembayaran itu.

"Kamu masih nggak mau jujur sama Ayah ya, Clara? Padahal Ayah kira hubungan kita sudah jauh lebih baik, saat Ayah ajak kamu ke kota. Ternyata-"

"Selamanya tak akan pernah berubah, Ayah." Clara memotong dengan cepat, kini ia memandangi ayahnya dengan serius. "Bahkan Ayah tak akan punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan ini. Biarlah seperti ini selamanya...."

"Baik, tapi setidaknya jangan menyembunyikan tentang pendidikanmu. Itu tanggung jawab orang tua."

"Sejak kapan Ayah bersikap menjadi orang tua yang baik seperti ini? Tetaplah seperti dulu, Clara juga tidak keberatan."

Ayahnya terkejut dengan apa yang anak itu katakan. "Kamu benar-benar berpikir seperti itu? Itulah sebabnya Ayah bersikeras untuk mendapatkan hak asuhmu, Nak. Lihatlah dirimu sekarang, karena ajaran Ibumu yang tidak waras itu, dirimu jadi seperti ini."

Clara mendekat beberapa langkah. "Ayah nyuruh Clara berubah, tapi Ayah sendiri sudah berkaca? Ayah masih dan selaluuu aja nyalain semuanya ke Ibu."

Clara hendak melanjutkan perkataannya lagi, tetapi ia tiba-tiba memiliki untuk mengurungkannya. Percuma, ia sudah berulang-kali berdebat kusir dengan ayahnya yang bahkan tak mengerti apa itu kesalahan. Ayahnya hanya bisa melempar kesalahan kepada orang lain. Tak heran, kenapa keduanya bisa bercerai....

Clara memutuskan pergi dari sana, meski ayahnya sudah memanggilnya berkali-kali. Menutup pintu kamarnya dengan kasar dan menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk bertema Hello Kitty itu.

Matanya mulai berkaca-kaca, hatinya sangat sakit mendengar ayahnya yang masih tidak bisa menerima kesalahannya sendiri. Jika bukan keputusan pengadilan tentang hak asuh anak, Clara jelas lebih memilih tinggal bersama ibunya di desa.

Pintu digedor beberapa kali, cukup pelan. Namun, Clara tak begitu menghiraukannya.

"Sayang, buka pintunya." Sang Ayah berkata dengan lembut. Ia sedikit menyesal telah menyakiti perasaan putrinya yang ia cintai.

Mengetahui jika pintunya tak akan di buka, sang ayah menyerah. Ia ingin memberi Clara sedikit waktu untuk merenungi keadaannya yang jauh berubah.

Ia tau, dia egois dengan memisahkan ibu-anak itu begitu jauh, tetapi apa boleh buat. Jika tidak begini, mantan istrinya itu pasti akan menghasut anak satu-satunya untuk berpaling dari ayahnya sendiri. Ibu macam apa itu?

Untuk menenangkan kepalanya, Ayah Clara menyeduh kopi di meja makan seorang diri. Sekarang bukan saatnya untuk sedih, besok dia akan mendatangi pihak sekolah untuk bertanya mengenai pembayaran tadi. Sang Ayah mengira jika mantan istrinya tau Clara bersekolah di sana....

"Sehat-sehat anak Ayah."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro