Chapter 42: Pengakuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dara perlahan menggarisbawahi langkah demi langkah yang sudah Salwa tulis di papan. Wali kelas itu hanya memperhatikan, bersedekap sambil mengelus jenggot halusnya. Ia memperhatikan dengan seksama.

Dara berbalik badan, ia mengarah ke wali kelas mereka.

"Oke, sekarang buktikan."

Dara menarik napas panjang sebelum menjelaskan. Ia mengambil napas serileks mungkin, kemudian menjelaskan setiap langkah yang Salwa lakukan. Kenapa ini begini, dan kenapa itu begitu, ia menjelaskan dengan lancar hingga selesai.

Wali kelas itu bertepuk tangan, mengangguk-angguk. "Bagus, nggak heran kalo lo dapat beasiswa unggulan."

"Ma, makasih, Pak."

"Nilai 100 buat lo. Silahkan duduk." Ia mempersilahkan Dara duduk, gadis itu menurut. "Oke, sesuai kesepakatan yang berlaku, gue nggak bakal ngatur-ngatur kalian lagi. Dah!"

Ia melambaikan tangannya ke seisi kelas kemudian berlalu pergi dari ruang kelas.

Seisi kelas memandangi kepergian wali kelas mereka dibalik jendela koridor. Mereka seketika memandangi Salwa dan Dara. Menggeleng pelan dalam diam.

"Kenapa? Mau protes lo pada?!" balas Salwa judes.

"Ya nggak dong," saut Garry menegakkan badannya, ia menghadap ke cewek itu. "Gue cuma mau bilang makasih, tapi lo juga harus tanggung jawab kalo nilai yang lain turun drastis."

"Maksud lo, Gar?"

Cowok itu tersenyum miring. "Maksudnya, kalo wali kelas itu udah nggak peduli dengan kelas ini, mau nggak mau lo yang harus ngasih mereka penjelasan lebih lanjut kalo ada yang nggak ngerti tentang materi."

"Sejak kapan lo peduli soal nilai sih, Gar?"

"Tentu aja sejak putus sama lo. Gue sadar, udah ngesia-siain masa sekolah gue selama setahun."

Salwa memandangnya dengan banyak kerut di dahinya. Ia benar-benar tersinggung dengan apa yang Garry katakan barusan, padahal selama mereka pacaran, Garry bahkan tak begitu peduli dengannya, selalu Salwa yang membuka obrolan dan mengajaknya ke tempat-tempat populer.

Seisi kelas menahan tawa, itu adegan yang mereka tunggu-tunggu selama ini. Melihat Salwa ditolak mentah-mentah oleh orang yang ia bangga-banggakan.

Karena tak tahan dengan suasana yang mengintimidasi, Salwa beranjak dan keluar kelas, ia menahan malu, semua kepala tertuju padanya.

"Salwa, tunggu!" Tak lama, Dara menyusulnya.

"Dar!" panggil Clara, berhasil menghentikan langkah teman kecilnya itu. "Coba biarin dia sendiri dulu."

Dara menoleh ke arah Clara. "Nggak bisa, Ra, gue takut Salwa ngelakuin hal-hal diluar batas. Udah dulu ya, bye."

Dara meneruskan langkahnya, kembali memanggil-manggil nama 'Salwa' di sepanjang koridor. Sementara Clara tiduran lemas, jika hubungan mereka seerat itu, bagaimana caranya ia membebaskan Dara dari Salwa?

Garry menyadari kekhawatiran Clara, ia melempari gumpalan kertas bulat ke gadis itu. Clara terkaget, ia melihat ke arah Garry yang dari tadi memperhatikannya.

Ia mengangguk sekali, sebagai kode.

"Buka!" bisik Garry dari jauh, hanya mulutnya saja yang bergerak tanpa suara.

Clara memahaminya kemudian perlahan membuka gumpalan kertas itu dan membaca tulisan yang ada di dalamnya.

"Gosah khawatir, temen lo bisa jaga diri."

Ia kembali melirik Garry. Mengangkat bahunya tak mengerti. Pria itu menepuk jidatnya, haruskah ia mengatakannya langsung?

"Lo nggak paham?" tanyanya pelan.

Ia mengangguk. Clara segera menulis sesuatu di kertas tersebut, melipatnya, kemudian melemparnya kembali ke Garry.

Ia membukanya dan terdapat satu baris kecil tulisan Clara yang rapih.

"Tulisan lo jelek banget!!!" Disertai dengan emot menangis ala-ala tulisan tangan.

"Sialan lo!" geram Garry setelah membacanya, ia melihat ke cewek itu yang sedang mengobrol dengan Indah.

Sampai sekolah usai, kelas mereka tidak didatangi satu guru pun. Meski begitu, mereka tidak terlalu mengkhawatirkannya, sekolah hanya formalitas saja, pembimbing guru les jauh lebih baik ketimbang para guru di sekolah ini, pikir mereka.

Kelas mulai ditinggalkan, hanya tersisa Garry, Clara, dan Larry. Indah pulang duluan karena dia punya jadwal les siang ini.

"Gimana?" tanya Garry membuka obrolan. Pertanyaan itu ditujukan pada Larry. Ia sengaja tinggal di kelas untuk memberikan jawaban atas tawaran Garry pagi tadi.

"Gue ada di kubu lo, Gar, asal lo sebutin syarat-syaratnya. Setelah itu, baru gue putuskan lagi."

"Oke." Garry beranjak dan memberikannya sebuah amplop coklat. Larry menerima dan membukanya.

5 Syarat yang diberikan Garry:
- Ia tidak akan menggangu kehidupan Garry, dalam hal apapun.
- Larry harus memutuskan hubungan dengan teman-temannya saat lulus sekolah.
- Larry harus berjanji untuk melawan.
- Larry wajib jujur kepada semua orang.
- Terakhir, Larry tidak harus menuruti semua keinginan Mama.

Larry mendongak ke Garry, saudaranya itu meliriknya dengan dagu yang terangkat. Larry tak menyangka jika bentuk syaratnya akan jadi seperti ini.

"Apa hubungan dengan semua ini, Gar?"

"Udah gue duga kalo lo nggak bakal langsung paham."

Garry beralih ke meja duduk terdekat dan duduk di atasnya. Ia sekejap memperhatikan Clara yang masih sibuk membereskan buku-bukunya. Wajah gadis itu begitu cantik saat terkena paparan sinar matahari, bak mutiara. Telinganya di tutupi headset hitam dan sedang memutar lagu girlgroup kesukaannya, SNSD.

"Gue benci ngeliat lo jadi lemah, penurut kek anjing. Kita itu satu, saat ngeliat lo jadi penurut, gue marah sama diri gue sendiri. Gue selalu penasaran, apa hati lo mati sampe sepenurut itu."

"Nggak kek gitu, Gar," selah Larry.

"Stop, gue belum selesai ngomong!" potong Garry cepat. "Lo tau apa yang gue rasain saat tau lo belok? Hancur! Dunia gue benar-benar hancur, semua harapan yang gue susun jadi berantakan karena lo!"

Larry menghela napas panjang mendengarnya, sementara Garry menarik napas sesaat sebelum melanjutkan omongannya.

"Saat lo berterus terang di depan Mama, gue pikir itu semua adalah awal kematian, lo ngakuin hal kek gitu, biar apa? Di support, HAH?!" teriak Garry dengan mata melotot, matanya mulai memerah.

"Lo salah, Gar."

"Hah?!"

Larry menggeleng seraya menutup matanya, menunduk. "Mereka ... mereka nggak pernah peduli, Gar. Mau apapun yang gue lakuin, tetap nggak ada perubahan. Bahkan respon mereka datar banget saat tau gue punya penyimpangan orientasi seksual. Malah Mama memanfaatkan itu buat ngalah sama lo. Padahal gue dari awal nggak pernah peduli soal harta warisan, tapi Mama takut banget kalo warisan jatuh ke tangan gue."

Garry terdiam, ia meneguk salivanya sesekali.

"Juga, gue nggak pengen kek gini, Gar, tapi penyimpangan itu langsung ada di benak gue."

Larry menarik napasnya dalam, ia cukup lega membicarakan hal-hal sensitif ini. Sudah cukup lama ia pendam, saat dibicarakan, rasanya plong. Layaknya teriak kencang di ujung jurang.

"Kalian berdua, mukanya kenapa gitu?" tanya Clara setelah usai membereskan buku-bukunya, ia telah menggendong tasnya.

"Lo nangis ya, Lar?" Ia beralih ke Garry.
"Lo juga sama, Gar?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro