Chapter 45: Curhat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Yah," panggil Clara sekali lagi.

Ayah ragu-ragu menatapnya dari spion, kemudian dia berkata. "Ayah cuma ngerasa, kalau kita itu nggak sebanding sama mereka. Derajat kita beda."

Clara menjawab, "Kalo gitu, harusnya derajat Ayah dan Bunda juga beda. Kenapa harus mempermasalahkan hal itu?"

"Tapi kamu lihat sendiri kan nak, hasilnya bagaimana."

"Itu bukan karena derajat, tapi karena Ayah."

Ayahnya tersenyum kecil mendengar respons anaknya. "Ayah tau kok, di matamu, pasti Ayah yang salah, tapi karena kamu sudah cukup dewasa, Ayah pengen kamu memandang permasalahan dari segala sudut."

"Maksud Ayah apa?"

"Lambat laun kamu akan mengerti, nak."

Setelah itu tak ada lagi percakapan diantara mereka. Clara yakin, maksud Ayahnya barusan merupakan hal yang negatif, entah menyuruhnya untuk tidak melanjutkan hubungan itu ataupun hal buruk lainnya.

Mereka telah sampai di rumah, Clara tanpa basa-basi langsung masuk ke kamarnya, meninggalkan Ayahnya yang masih membereskan piring berantakan di meja makan.

Clara mengunci pintu kamarnya, ia segera menelpon Bundanya. Setelah menunggu cukup lama, panggilan itu akhirnya dijawab.

"Bun...," rengek Clara di gawai yang menempel pada telinganya. Ia terduduk di depan meja hias dengan kaca cukup besar.

"Iya, anak bunda tersayang...."

"Pengen curhat," keluhnya panjang, selayaknya anak kecil yang ingin menyampaikan permasalahan hidupnya.

"Wih, sejak kapan kamu kek gini, sayang? Udah ketemu pangeran ya di sana?" tebak Bundanya antusias.

"Ih, bunda!" Clara merengek manja. "Clara kan pengennya Bunda dengerin curhatnya Clara, bukan menggoda kek gini."

Sontak itu membuat Bundanya tertawa lepas, "Maaf ya, maaf sayang, habisnya kamu itu kayak orang putus cinta tau. Kalo nggak salah namanya galau di era sekarang."

"Ih, terserah Bunda deh."

Bundanya kembali tertawa. "Iya, iya, Bunda serius nih sekarang. Yuk mulai curhatnya."

"Bener ya, Bun?"

"Iya, bener kok, apa sih yang nggak buat anak Bunda tersayang."

"Jadi gini, Bunda...."

Clara pun menceritakan semua yang terjadi hari ini, mulai dari pelecehan yang dialami oleh Larry, dilanjutkan dengan pertengkaran Garry dan Ferdi, hingga ucapan Ayahnya yang membuat ia berpikir negatif.

"Jadi gitu, Bun."

Bundanya mengiyakan, terus menyimak kisah putrinya dengan serius. Ia bahkan tak melewatkan satu kata pun.

"Jadi, menurut Bunda gimana?" tanya Clara di akhir ceritanya.

"Ehm. Bunda jadi bingung harus jawab yang mana dulu. Oke, Bunda jawab yang pelecehan dulu ya. Sayang, kata kamu tadi si Larry itu punya orientasi seksual menyimpang kan? Jika mereka melakukannya atas suka sama suka, itu tidak bisa disebut pelecehan, sayang. Beda halnya jika salah satu pihak tidak menyukai hal tersebut dan tersiksa karena paksaan, itu baru disebut pelecehan. Apa sayang mengerti point pentingnya?"

Clara berpikir sejenak. "Paham, Bunda. Singkatnya, jika dilakukan suka sama suka, hal itu tidak bisa disebut pelecehan."

"Benar, nilai 100 untuk kesayangan Bunda. Lanjut ke point selanjutnya ya, sebelum itu, Bunda mau tanya, apa sih yang Clara lihat dari cowok bernama Garry itu?"

"Eh?" Clara terkejut, ia dari tadi memutar-mutar ujung rambutnya. "Clara jadi bingung jawabnya."

"Jawab seadanya aja, sayang."

"Ehm." Clara berpikir sambil membayangkan sosok Garry.

Garry yang sedang menikmati kopinya di pinggir kolam rumah megah itu tiba-tiba terbatuk-batuk.

"Sialan, ini keknya ada yang ngomongin gue nih!"

Kembali ke Clara, ia masih berpikir cukup lama. "Garry nggak bisa disebut pria baik, sikapnya judes, nggak mau kalah, seenaknya sendiri, tapi point plusnya, Garry selalu kasih perhatian lebih ke Clara. Eh, Bunda kira-kira paham nggak penjelasan Clara?"

Bundanya tertawa-tawa. "Paham kok paham."

"Apaan sih, Bun. Clara yakin Bunda sekarang pasti ngejek Clara kan, ngaku nggak?"

Bundanya masih berusaha menetralkan tawanya. "Nggak kok, Bunda serius."

"Tuh kan, masih aja ketawa gitu. Bunda ih, serius dong."

Bunda menarik napas panjang, menghentikan tawan sepenuhnya. "Iya, iya, Bunda serius nih. Emang Ayah bilang kayak gimana tentang hubungan kalian?"

"Ayah membandingkan rumah kita, Clara akui memang rumah kita nggak sebanding, tapi kan hal itu nggak jadi patokan buat ngejalin hubungan dengan seseorang."

"Iya sayang, kamu benar. Rumah nggak bisa jadi patokan." Bundanya mendukung Clara.

"Terus juga, Ayah malah lari ke Derajat. Clara nggak paham sama sekali kenapa larinya ke sana."

"Kamu tahu sendiri kan, Sayang, tingkah Ayahmu memang kayak gitu. Makanya Bunda udah cape ngehadapinnya. Maafin Bunda ya, milih orang kek gitu buat jadi Ayah kamu."

"Nggak papa kok, Bunda, Clara udah cukup senang kok bisa lahir dari rahim Bunda."

Tiba-tiba pintu di ketuk beberapa kali, Clara menoleh dan segera menyadari jika itu ketukkan dari Ayah.

"Bunda sebentar ya, Ayah ngetuk pintu."

Clara segera beranjak dan membukakan pintu untuk Ayahnya. Pria berumur itu berdiri tegap di depan pintu, ia tersenyum canggung ke putrinya.

"Kenapa, Yah?" tanya Clara bingung.

"Nak, kasih telepon ke Ayah, Bunda mau bicara," sela Bunda dibalik telepon.

Ayah menyadari hal itu. "Oh, kamu lagi teleponan? Maaf ya, Ayah ganggu."

Baru saja ia hendak pergi, Clara langsung menyodorkan telepon itu arahnya. "Yah, Bunda mau bicara sama Ayah."

"Eh?" Dia menerima telepon itu, kemudian mendekatkannya ke telinga. "Hallo?"

"Mas bisa menjauh dulu dari Clara nggak? Aku mau ngomongin sesuatu."

Ia melirik Clara yang memperhatikannya sejak tadi. "Oh iya-iya." Ia menutup mic pada gawai itu. "Ayah pinjam HPnya dulu ya, Bunda mau ngomong sesuatu katanya."

Clara mengangguk, mempersilahkan Ayahnya untuk berbicara seperti yang Bundanya mau.

Ia menutup pintu kamar, kemudian merebahkan tubuhnya ke kasur empuk itu. Karena kenikmatan yang ia rasakan saat menyatu dengan kasur, rasa kantuknya datang. Ia menguap, menutup mulutnya dengan tangan, kemudian berpindah ke jidat.

Ia perlahan memejamkan matanya, kesadarannya mulai hilang, Clara tertidur lelap.

Hingga ketika ia perlahan membuka mata, terlihat sinar matahari cerah di sela tirai kamarnya. Ia terperanjat, bangun dengan cepat. Buru-buru ia memegang alarm, benda itu menunjukkan pukul 06.00 pagi.

Sial, Clara ketiduran semalam. Mungkin karena serangkaian peristiwa seharian kemarin, membuatnya lelah dan tertidur pulas.

Terdengar suara ketukkan di pintu luar rumah, Clara menyadarinya dan segera turun dari ranjangnya. Ketukkan terus berlanjut, bahkan saat Clara menjawab ketukkan itu, suaranya masih tetap menggema.

Clara membuka pintu dengan raut wajah kesal, namun saat melihat siapa yang mengetuk pintu, ia terkaget, matanya membulat.

Sesosok wanita paruh baya, berjilbab bulat panjang, pendek, dan wajah yang benar-benar tak asing bagi Clara.

Itu Bundanya! Bagaimana mungkin dia tiba-tiba ada di sini dalam semalaman? Wanita itu segera tersenyum di hadapannya.

"Mana Ayahmu, nak?" tanyanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro