Chapter 60: Tamat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Papa," ucap Garry setelah melihat layar.

Clara yang mendengar itu sedikit kecewa, ia tadinya berharap itu dari Larry. Namun, demi menjadi pacar yang baik, ia menyarankan Garry untuk mengangkatnya.

"Hallo, Pa?" ucap Garry tepat setelah mengangkatnya.

"Papa nggak mau basa-basi, cepat katakan apa permintaan kamu untuk mewarisi perusahaan?"

"Kenapa buru-buru, Pa? Ada masalah lain yang—"

"Larry?" potong Papa dari balik telepon, Garry seketika terdiam. "Kalo masalah itu, kamu jangan khawatir, tapi Papa nggak bisa ngasih tau kamu juga. Biarkan dia hidup seperti yang ia mau."

"Jangan bilang kalo Papa yang...." Garry bahkan tak sanggup meneruskan perkataannya.

"Iya, Papa yang akan mengurus Larry selama beberapa tahun ke depan. Kamu cukup jalani kehidupan dan bersiaplah untuk memimpin perusahaan."

"Tapi, Pa!"

"Tidak ada tapi-tapian, itu permintaan dari Larry sendiri."

Telepon berakhir, sang papa memasukkan telponnya ke saku celana. Di balik kaca dinding yang menghadap langsung ke gedung-gedung tinggi, Papa tersenyum miring. Tak lama kemudian, pintu diketuk, seseorang masuk.

Papa menoleh dan berkata, "Mari kita mulai."

"Baik, Pak."

***

"Apa yang Papa kamu bilang, Gar?" tanya Clara setelah telepon berakhir.

"Larry, diurus sama Papa."

Clara menghela napas lega. "Baguslah, Gar, dengan begitu, pasti dia baik-baik aja."

"Itu justru meragukan. Papa nggak pernah suka sama Larry, ia juga tak pernah lunak ke anak-anaknya."

"Jadi, Gar, menurut lo, Papa lo bohong gitu?"

"Gue pun nggak tau."

"Ya sudah, bagaimana kalau kita percayakan Larry ke Papamu?"

"Lo yakin?" Garry tampaknya masih ragu akan hal itu.

Clara mengangguk pasti. "Yakin, Gar."

***

5 tahun berlalu.....

Seorang pria mengemudikan sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Memotong setiap kendaraan yang melaju di depannya. Ia dengan santainya memutar setir dengan cepat. Suara roda mobil yang di rem beradu dengan aspal pun terdengar jelas.

Mobil itu pun terhenti di depan sebuah rumah mewah besar. Ia segera turun setelah sampai. Melempar kunci ke security rumah tersebut kemudian berjalan santai masuk ke dalam.

Setelah sampai di teras rumah, banyak pelayan yang menyambutnya. Ia mengabaikan sambutan itu dan berjalan masuk ke dalam. Para pelayan mengekorinya.

"Pelayan no. 3 barisan paling kiri," ucapnya kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. "Kakimu keram apa lumpuh? Jalan tuh yang bener."

Ia membuka kacamatanya, dengan wajah dingin dan menyebalkan. Para pelayan menunduk, pelayan yang dimaksud pun di dorong pelan oleh yang lainnya. Ia begitu takut untuk maju, bahkan tak bisa berkata-kata.

"Ada apa lagi sih?" Seseorang datang dari atas, ia menuruni anak tangga dengan cepat. "Kamu kebiasaan emang."

Pria itu menoleh. "Emang ada masalah sama kamu?"

"Lagi?" tanyanya dengan alis terangkat kemudian menghela napas panjang.

Segera pria tadi mendekat dan memeluknya dengan erat dan mengangkat tubuh wanita itu.

"Udah ih, aku tuh takut ketinggian loh. Gar, udah ih."

Garry tertawa lebar. "Kamu sih ganggu, padahal aku lagi mencoba meranin majikan sombong."

Ia pun menurunkan kembali tubuh wanita itu.

"Coba itung, udah berapa kali penyakit kamu tuh kumat. Capek aku tuh tiap hari ngelihat kamu akting mulu," keluh wanita tersebut.

"Uh, Sayangku, Clara Amelia, wanita terbaik di dunia."

"Gombal!" balas Clara cepat, sejak pertunangan mereka, Garry jadi sering menggombal kepadanya.

"Dih, biarin, sama ayang sendiri."

"Hei!" Suara berat tiba-tiba mengganggu keromantisan keduanya. "Mesra-mesraan di depan orang, nggak malu apa?"

Keduanya menoleh dan sontak berkata, "Papa?"

Papa berjalan ke arah mereka dengan jas kantor. "Iya, ini Papa kalian."

"Papa kok balik nggak ngabarin?" tanya Clara seketika.

"Papa cuma mampir sebentar kok. Oh iya, Oi, masuk!" perintah Papa ke arah pintu.

Kemudian muncullah seseorang yang tak asing bagi mereka. Seseorang yang sudah keduanya nantikan kehadirannya selama beberapa tahun terakhir.

Orang itu berjalan dengan santai, rambut panjang khasnya masih terasa sama dengan beberapa tahun belakangan. Hanya saja, warnanya berbeda, sekarang berwarna kuning cerah.

"Hallo, everyone."

Ia tersenyum dengan lebarnya. Terkesan cukup canggung diantara mereka. Wajar saja, 5 tahun tak bertemu bukanlah waktu yang sebentar.

"Ini bener Larry kan? Vibe nya beda banget," respons Clara seketika. Ia melihat pria itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Clara, don't look at me like that. Kayak lihat siapa saja."

"Nggak. Masalahnya auramu tuh beda jauh, gitu. Aku sampe pangling."

"Hei!" gertak Garry marah dalam kecemburuan. "Ngomong apa barusan?"

Sontak Larry tertawa lepas. Ia sangat-sangat merindukan adegan itu, selama ini mereka hanya berhubungan lewat video call.

"Dih, ketawa lo? Seneng liat gue cemburuan kek gini?" tanya Garry ketus.

"Ya maaf, habisnya kangen banget aku liat adegan itu."

"Hadeh, parah lo emang."

Papa yang menyimak obrolan mereka juga ikut tertawa.

"Papa ketawa juga? Wah, hebat ya kalian sekarang."

"Lanjutkan obrolan kalian, Papa mau ke belakang. Larry, satu jam ke depan kita lanjut ke client selanjutnya. Oke?"

"Baik, Pa."

Papa meneruskan langkahnya. Pergi ke dalam kamarnya.

"Tunggu, Client? Jadi selama ini, lo?"

Larry mengangguk. "Gue belajar di luar negeri sambil ambil bagian kantor cabang perusahaan Papa di sana."

"Oalah...." Clara mengangguk paham. Selama ini, Larry selalu menutupi pekerjaannya. Ternyata ini jawabannya.

"Oh iya, kamu gimana, Gar? Mimpin perusahaan cabang? Lancarkah?"

"Menurut lo sendiri?"

"Kurang meyakinkan."

"Kurang ajar! Enak aja lo ngomong kek gitu."

Lagi-lagi Larry tertawa lebar. "Lagian nanyanya gitu. Kalo lancar syukurlah, Gar."

"Larry!" Suara Mama datang dengan keterkejutan entah dari mana. Ia berjalan cepat dan memeluk Larry dengan kasih sayang. "Maafin Mama, nak. Mama nyesal udah semena-mena sama kamu."

Larry membalas pelukan Mamanya. "Aku takut, Ma, tapi aku harus jujur. Aku belum bisa terbebas dari penyimpangan orientasi seksual."

"Lakukan seperti yang Mama lakukan, nak." Mama melepas pelukannya, ia menatap dalam-dalam mata anaknya itu. "Berdamailah dengan keadaan, terima diri kamu. Lakukan apa yang membuatmu senang."

Kata-kata yang barusan Mamanya katakan itu benar. Harusnya Larry berdamai dengan diri sendiri, bukan menentangnya.

"Itu benar, kamu harus bisa melakukan hal itu jika sedang tertekan oleh keadaan."

"Iya, Ma, Clara. Makasih atas nasihatnya."

"Sehat-sehat anak Mama."

Lagi-lagi Mama memeluk Larry.

"Larry," panggil Papa dari dalam. "Sorry, tapi ada perubahan jadwal. Kita harus pergi sekarang."

"Baik, Pa." Ia menghadap Mama. "Ma, Larry pergi kerja dulu ya. Sehat-sehat Mama. Makasih masih mau nasehati Larry."

"Sering-sering mampir ke kantor, bakal gue traktir."

"Oke, Gar."

Kemudian keduanya masuk ke dalam mobil. Mesin sudah dinyalakan. Dari teras rumah, Garry, Clara, dan Mama melambaikan tangan. Disambut dengan lambaikan balik dari Larry.

***

THANKS ALL AND THANKS GOD!
AKHIRNYA TAMAT JUGA. NGGAK NYANGKA BISA TAMAT SECEPAT INI, ITU SEMUA KARENA DUKUNGAN KALIAN. THANKS JUGA KEPADA 300days_challenge YANG SUDAH BERSEDIA MENERIMA NASKAH INI SAAT OPEN MEMBER KEMARIN.

AH, NGGAK TAU MAU BILANG APA LAGI.

INTINYA, SUPPORT TERUS AKU YA. TENANG, AKU MASIH LANJUT NULIS KOK. TUNGGUIN CERITA TERBARUKU YA....

SEE YOU NEXT STORY!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro